KPK Itu Lembaga Negara atau Lembaga Penguasa?

KPK Itu Lembaga Negara atau Lembaga Penguasa?
Tony Rosyid
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Hajinews.id – Ada kesan di masyarakat, KPK seperti lembaga sandera. KPK dianggap menyandera sejumlah politisi. Mereka yang tidak loyal, jadi tersangka. Yang loyal, dibiarkan meski layak jadi tersangka.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kasus kardus duren, e-KTP, impor garam, dan sejumlah kasus lainnya yang diduga melibatkan beberapa elit partai disimpan untuk kemudian dikeluarkan ketika elit partai itu mulai tidak loyal kepada penguasa. Kesan ini begitu kuat di memori publik.

Pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR), bahkan rencana menggabungkan dua koalisi tersebut dianggap bagian dari konsolidasi berbasis penyanderaan. Siapa yang tidak loyal, kasusnya mulai dimunculkan.

Ketika rencana koalisi besar itu muncul, PKB merespon kurang positif. PKB mengatakan bahwa koalisi besar sulit terwujud ketika akan menentukan pasangan capres-cawapres. Di KIB saja, sampai sekarang belum mampu menentukan capres-cawapres. Meski KIB adalah koalisi yang lahir paling awal. Begitu juga dengan KIR. Di KIR, capresnya Prabowo. Tapi, jika Prabowo mengambil cawapres selain Muhaimin Iskandar (Cak Imin), maka KIR bubar. Sementara Prabowo gak mau didampingi Cak Imin.

Dua koalisi yang ingin digabungkan, masing-masing kesulitan untuk menentukan pasangan capres-cawapres. Apalagi jika digabungkan, maka akan semakin sulit. Persoalan akan semakin kompleks.

Upaya penggabungan dua koalisi menjadi koalisi besar seperti kawin paksa. Ada pihak yang di mata publik terlibat memaksa koalisi ini terbentuk. Menentang, kasus ketumnya muncul. Entah akan jadi negara macam Indonesia ini jika hukum dijadikan sandera terhadap ketum-ketum partai. Ironis!

Setelah ketum lima partai ini diundang oleh Presiden Jokowi ke istana, maka wacana koalisi besar makin santer. Jokowi cukup bilang: “cocok”. Ini sinyal kuat bahwa Jokowi memang menginginkan koalisi besar terbentuk. Kenapa presiden ikut campur soal pencapresan? Bukankah ini justru resisten bagi terselenggarannya pemilu secara jurdil? Memang sih, sebaiknya presiden Jokowi dengan jiwa kenegarawanannya tidak perlu ikut campur terkait urusan pencapresan. Ini akan menjaga kewibawaan Jokowi sebagai kepala negara. Jika kepala negara netral, Indonesia aman dan nyaman. Hilang semua bentuk keterbelahan dan kegaduhan.

Atas kawin paksa ini, PKB membaca bahwa koalisi besar akan semakin kesulitan menentukan siapa capres dan siapa cawapres. Tarik ulurnya akan kencang. Cenderung babaliut dan mbulet.

Setelah PKB menyatakan pendapatnya, muncul kembali kasus “Kardus Durian”. Kasus yang dikait-kaitkan dengan nama ketum PKB Cak Imin itu diungkap kembali. Padahal, kasus ini terjadi di tahun 2012. Sudah 12 tahun lalu. Kalau memang Cak Imin, cucu pendiri NU ini terlibat, kenapa tidak dituntaskan dari dulu? Inilah yang membuat publik menyimpulkan adanya penyanderaan kasus. Dan tidak hanya Cak Imin. Tapi, ada beberapa ketum partai lain yang tersandera dengan kasus yang sengaja dibiarkan. Tidak dituntaskan. Kasihan! Kasihan ketum-ketum partai itu. Kasihan partainya. Yang pasti, kasihan bangsa ini.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *