Siaran Terakhir Ichan Loulembah

Siaran Terakhir Ichan Loulembah
Ichan Loulembah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Selulus SMA di Bandung, ia pulang kampung, menamatkan kuliah, merantau ke Jakarta, dan dengan cepat menghidupkan kembali jejaring lamanya, para eks aktifis HMI dari banyak daerah yang berbondong mencari penghidupan dan memburu karir di ibukota.

Perjuangan untuk survival melemparnya ke sebuah pabrik peti mati — “banyak peti yang bergerak-gerak sendiri di malam hari”, katanya — sebelum ia menemui takdir profesionalnya sebagai penyiar di Trijaya FM. Aktifitas penyiaran sudah mulai digelutinya semasa ia remaja di kampungnya, dengan mendirikan “radio amatir” alias siaran radio gelap, sekadar sarana pergaulan dan menjalankan hobi memutar lagu-lagu pop terbaru.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di Trijaya ia mengerahkan seluruh bakat komunikasinya, dengan modulasi vokal yang enak didengar dan artikulasi yang sangat baik. Pendengar siarannya tak akan bisa menebak kampung asalnya, karena artikulasinya yang tanpa aksen tak menunjukkan jejak wilayah manapun. Ia seratus persen Indonesia.

Ia memberi sumbangan penting dalam mematangkan semangat Reformasi di tahun-tahun menjelang 1998 melalui acara bincang pagi yang diasuhnya di radio itu. Setiap hari mulai pukul 7 ia rajin mengontak banyak narasumber, termasuk akademisi kita yang sedang belajar di luar negeri, untuk diajaknya berbincang tentang situasi mutakhir Indonesia. Ia selalu mampu merumuskan pertanyaan tajam dan provokatif dengan kalem dan seakan tanpa emosi.

Kadang keberaniannya menyentuh isu-isu politik yang sensitif mengejutkan, membuat pendengarnya  kuatir akan keselamatan fisik maupun profesionalnya. Ia bisa dipecat setiap saat, sebagai karyawan yang berposisi nyaris nol berhadapan dengan para bos perusahaan, yang rentan ditekan penguasa. Ia mengaku sering gentar juga dalam menjalankan tugas jurnalistik yang sangat dicintainya itu.

“Tapi bos-bos saya mendukung dan melindungi saya,” katanya. Ia sendiri kadang heran dengan sikap protektif mereka, yang diketahui bersahabat dengan keluarga Cendana — sasaran utama kritiknya, meski dengan cara yang tak selalu langsung.

Sejak berhenti dari radio itu ia terus berusaha kembali ke dunia broadcasting. Semua kesibukan lain — termasuk menjadi anggota DPD, beberapa posisi pengawas atau penyanyun di sejumlah lembaga atau menjalankan bisnis konsultasi — seakan hanya transisi, selingan untuk persiapannya kembali mengarungi gelombang radio. Hampir sepuluh tahun ia membina “Perspektif Indonesia”, perbincangan offline di tempat umum, yang disiarkan di beberapa puluh stasiun radio di seluruh Indonesia.

Setahun lalu ia berhasil meyakinkan investor untuk mendirikan “Good Radio”, serentak dengan media online (ini obsesinya yang lain). Sebelumnya ia beberapa kali gagal dalam upaya ini. Tapi ia terus maju — di tengah komentar banyak kawan bahwa ia mengidap optimisme naif karena masih saja menggandrungi radio, media yang sudah ditinggalkan banyak pendengar.

Ia justeru menunjukkan bahwa di era digital ini membangun bisnis radio lebih mudah, dengan kualitas suara jauh lebih baik dan jangkauan siaran global. Ia mempelajari siaran-siaran radio di seluruh dunia untuk rujukan bagi radio barunya. Tiga pekan lalu ia mampir ke rumah saya dan menunjukkan cara terbaik menangkap siaran-siaran itu dengan aplikasi internet di layar TV.

“Siaran radio di seluruh dunia juga makin meriah dengan memanfaatkan teknologi digital, termasuk Spotify,” katanya. “Dan orang masih mendengarkannya — misalnya di dalam mobil di tengah kemacetan.” Siaran radio, tambahnya, bisa diakses dengan mudah dan murah, dan mampu memberi informasi yang ringkas dan gamblang, selain menyajikan lagu-lagu. Ia selalu punya alasan yang masuk akal untuk pilihannya tentang sesuatu.

Saya harus stop reportase ini di sini, Chan. Kalau kau, seperti biasa, mau memuat tulisan ini di media online milikmu dan kawan-kawan, tolong beri catatan: laporan ini ditulis dengan menangis.

Penulisnya benar-benar merasa kehilangan. Ia belum kunjung percaya bahwa Muhammad Ichsan Loulembah, 57 tahun lebih 3 bulan, sahabatnya selama tiga puluh tahun, dan selalu menyajikan persahabatan hangat yang menyenangkan, tiba-tiba pindah ke tempat lain. ***

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *