Ulama, Pengemban Peran Profetik Para Nabi

Ulama
Muhibuddin Hanafiah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Karena posisinya di luar kancah perseteruan kursi politik, sehingga suara dan nasehatnya mengandung aura netralitas, suara hati ke ulamaan yang ia berikan, bukan suara hati berdasarkan kepentingan terbatas (partai, organisasi dan sekat-sekat pembatas lainnya)

Namun bila posisinya sudah sama-sama sebagai pemain atau sudah menjadi ulama politisi, gezah ke ulamaannya dikhawatirkan kurang diperhitungkan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Berwawasan Politik

Perjalanan waktu dan kiprah yang ditunjukkan oleh para ulama yang kini sedang memimpin partai politik (beridentitas agama), atau berada sebagai pengurus partai politik, atau menjadi politisi di legeslatif sebagai perwakilan partai politik tertentu mulai dari level pusat sampai daerah.

Sebagian besar mereka—untuk tidak mengatakan semuanya—tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan menjadi lebih bertabat terhadap kejayaan umat Islam di negeri ini.

Sebaliknya, justru semakin menyedihkan dan terpuruk rata sagoe sebagai akibat dari resiko politik yang justru yang dirasakan oleh umat Islam, seperti perpecahan semakin menajam di tengah umat yang menjauhkan umat dari ukhuwah.

Contoh konkrit seperti antara NU dan Muhammadiyah yang tidak pernah sejalan, dan masing-masing berjalan dengan egonya sendiri.

Demikian juga simbol-simbol keagamaan yang dipakai sebagai identitas politik mengalami distorsi makna yang parah.

Misalnya, simbol Ka’bah yang sejatinya sebagai bangunan suci dan kiblat shalat umat Islam berubah menjadi simbol dan identitas partai politik yang sepak terjangnya tidak sejalan dengan kesucian Ka’bah tersebut.

Ironi yang terlihat, semakin banyak ulama yang bermain politik praktis, semakin banyak partai politik yang beridentitas agama belum juga mampu menghadirkan janji-janji manisnya pada musim kampanye tiba.

Jangankan untuk memenuhi semua lapisan masyarakat, untuk konstituennya saja masih berebutan alias tidak berkecukupan.

Singkatnya, menurut saya posisi ulama dalam konteks carut marut kancah politik di Indonesia hari ini bukanlah tempat yang kondusif.

Idealnya, posisi ulama tidak tepat sebagai pemain melainkan sebagai wasit. Ibarat wasit di lapangan sepak bola, walaupun posisi ini tidak menjanjikan kenyamanan dan keamanan bagi ulama, karena boleh jadi akan dikejar dan dihamok oleh pemain yang kalah, tetapi paling tidak masih mampu menjadi pengendali keadaan, bukan perusak keadaan.

Jika ulama ikut bermain, lalu siapa lagi orang yang layak dijadikan wasit. Bila semua elemen masyarakat sudah terjun ke dunia politik dengan mengantongi masing-masing kepentingan golongan dan partainya, maka persoalan masyarakat sebagai korban kebengisan politik hendak disampaikan kemana.

Lihat saja sekarang dari jajaran eksekutif mulai dari presiden sampai kepala desa merupakan titipan partai politik tertentu. Demikian juga di level legislatif (MPR,DPR, DPD dan seterusnya) merupakan duplikat partai politik dan mereka semua akan membela dan memperjuangkan kepentingan partai dan pendukungnya saja.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *