UAS Galang Kekuatan, Bantu Masyarakat Rempang-Galang yang Kini Dalam Kesusahan

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Bentorkan antara aparat dengan masyarakat dalam konflik yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau disoroti Ustaz Abdul Somad (UAS).

Dalam status instagramnya @ustadzabdulsomad_official pada Rabu (13/9/2023), UAS pun mulai menggalang kekuatan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam postingannya, dirinya mengunggah sebuah spanduk berukuran besar yang baru saja dicetak.

Spanduk tersebut bertuliskan ‘Dapur Umum Kemanusiaan Rempang Galang’.

Melengkapi postingannya, Ustaz Abdul Somad mengunggah sebuah artikel Hj. Azlaini Agus berjudul ‘KONFLIK PULAU REMPANG’.

Artikel itu mengulas tentang sejarah panjang masyarakat Rempang, Galang dan Bulang.

Mereka disebutkan merupakan keturunan dari prajurit-prajurit Kesultanan Riau Lingga sejak masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I tahun 1720 M.

“Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite),” tulis UAS.

Beranak pinak, Hari ini jumlah penduduk Pulau Rempang diperkirakan 5.000 Jiwa (tidak termasuk Galang dan Bulang), bermata-pencaharian pada umumnya sebagai nelayan dan berdagang,” jelasnya.

Dalam perjalanan, investor pun melirik Pulau Rempang, Galang dan Bulang.

Wali Kota Batam, Nyat Kadir kemudian menandatangani MOU dengan investor dari Group Artha Graha, yakni PT MEG pada tahun 2004.

Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut diterlantarkan.

Akibatnya, sejumlah pendatang masuk dan bermukim.

Mereka membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah-buahan di Pulau Rempang.

Wali Kota Batam, Nyat Kadir kemudian menandatangani MOU dengan investor dari Group Artha Graha, yakni PT MEG pada tahun 2004.

Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut diterlantarkan.

Akibatnya, sejumlah pendatang masuk dan bermukim.

Mereka membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah-buahan di Pulau Rempang.

“Pada tahun 2023 ini PT MEG menggandeng investor dari Cina dengan investasi disebutkan sebesar Rp 381 Trilyun. Masuknya investor dari Cina ini adalah hasil kunjungan Presiden RI ke Cina akhir2 ini,” tulis UAS.

“Masuknya investor Cina bersama PT MEG akan membangun megaproyek yang disebut REMPANG ECO CITY, dan untuk itu BP Batam mengalokasikan tanah seluas 117.000 Hektare,” bebernya.

“Untuk itu seluruh penduduk Pulau Rempang yang berdiam di 16 kampung tua, akan dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain, yang sampai saat ini tempat relokasi itu sama sekali belum dibangun,” ungkap UAS.

 

A. REMPANG TANAH BERTUAN.

Dikutip dari Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit2 /Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau2 tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Salam Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah (salah seorang Pahlawan Nasional).

Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.

Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik- Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga, yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman, yang diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.

Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga.

Salam Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah (salah seorang Pahlawan Nasional).

Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.

Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik- Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga, yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman, yang diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.

Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga.

Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun.

Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite).

Jadi adalah keliru jika penguasa Negara Indonesia menganggap Penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang.

Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini.

Pada umumnya mereka beragama Islam.

Hari ini jumlah penduduk Pulau Rempang diperkirakan 5.000 Jiwa (tidak termasuk Galang dan Bulang), bermata-pencaharian pada umumnya sebagai nelayan dan berdagang.

 

B. MASUKNYA INVESTOR.

Masuknya investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam (Nyat Kadir) dengan investor dari Group Artha Graha, yakni PT MEG.

Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap (diterlantarkan).

Lalu masuklah sejumlah orang2 dari luar Rempang yang membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah2an dll, mereka adalah pendatang yang menempati bagian darat dari Pulau Rempang.

B. MASUKNYA INVESTOR.

Masuknya investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam (Nyat Kadir) dengan investor dari Group Artha Graha, yakni PT MEG.

Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap (diterlantarkan).

Lalu masuklah sejumlah orang2 dari luar Rempang yang membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah2an dll, mereka adalah pendatang yang menempati bagian darat dari Pulau Rempang.

Sedangkan penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdianm di bagian pesisir di 16 kampung tua Pulau Rempang.

Selama 19 tahun ditelantarkan seharus Hak atas Lahan sudah dicabut oleh Pemerintah sesuai dengan UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960).

Pada tahun 2023 ini PT MEG menggandeng investor dari Cina dengan investasi disebutkan sebesar Rp 381 Trilyun.

Masuknya investor dari Cina ini adalah hasil kunjungan Presiden RI ke Cina akhir2 ini.

Masuknya investor Cina bersama PT MEG akan membangun megaproyek yang disebut REMPANG ECO CITY, dan untuk itu BP Batam mengalokasikan tanah seluas 117.000 Hektare.

Berarti seluruh pulau Galang yang luasnýa 116.000 Hektare, ditambah dengan pulau2 di sekitarnya (seperti Pulau Galang dll).

Untuk itu seluruh penduduk Pulau Rempang yang berdiam di 16 kampung tua, akan dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain, yang sampai saat ini tempat relokasi itu sama sekali belum dibangun.

 

Ustaz Abdul Somad Tegas Soal Konflik Rempang

Dalam postingan sebelumnya pada Minggu (10/9/2023), UAS menyatakan dukungannya kepada masyarakat Pulau Rempang, Batam.

Berbeda dengan postingannya yang lain, dalam potret itu wajah Ustaz Abdul Somad terlihat masam.

Dirinya pun mengutip pernyataan dari Prof. Dr. Dato’ Abdul Malik, M.Pd, masyarakat Pulau Rempang disampaikan merupakan keturunan prajurit kesultanan Riau-Lingga.

Para prajurit itu sudah mendiami Pulau Rempang sejak masa KesultananSulaiman Badrul Alam Syah I sejak tahun 1720.

Selanjutnya, mereka pun ikut berperang bersama Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782 hingga 1784.

Begitu juga dalam Perang Riau II bersama Sultan Mahmud Riayat Syah pada tahun 1784 hingga 1787.

“Penduduk asli Rempang-Galang dan Bulang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Pada Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah. Dan, dalam Perang Riau II (1784–1787) mereka prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah,” tulis Ustaz Abdul Somad.

“Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud,” bebernya.

Kala itu, pasukan Belanda dan Inggris yang sudah menguasai Nusantara tak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga.

Para prajurit itu disampaikan Ustaz Abdul Somad menjaga Pulau Rempang dan bermukim hingga saat ini.

“Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun,” ungkap Ustaz Abdul Somad.

“Pada Perang Riau itu nenek-moyang mereka disebut Pasukan Pertikaman Kesultanan. Nukilan itu ada ditulis di dalam Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Semoga mereka senantiasa dilindungi Allah SWT,” jelasnya.

Dalam statusnya itu, Ustaz Abdul Somad turut mengutip pernyataan Tokoh Masyarakat Melayu Serantau yang tidak disebutkan identitasnya.

Dalam seruan tersebut, Ustaz Abdul Somad meminta masyarakat Melayu untuk membantu masyarakat Pulau Rempang.

“Yang ada jabatan, tolong dengan kuasa. Yang sanggup berteriak, tolong dengan suara,” tulis Ustaz Abdul Somad.

Postingan Ustaz Abdul Somad pun disambut ramai masyarakat.

Sebagian besar menyatakan sepakat dan mendukung masyarakat Pulau Rempang.

Sebagian lainnya menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

 

Bantu Warga Rempang, Suku Melayu dari Berbagai Daerah Mulai Berdatangan ke Batam

Konflik yang terjadi di Pulau rempang pada pekan lalu disambut dengan penolakan masyarakat melayu.

Sejumlah keturunan Melayu dari berbagai daerah datang ke Kota Batam untuk menunjukkan solidaritas kepada warga Rempang yang dipaksa meninggalkan kampungnya.

Mereka turut menyampaikan protes melalui aksi demonstrasi di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, pada Senin (11/9/2023).

Dikutip dari Tribun Batam, turut hadir beberapa tokoh masyarakat serta aliansi dan komunitas dari berbagai daerah lain seperti Kalimantan Barat, Lingga, Karimun, dan Siak.

Dikutip dari Tribun Batam, turut hadir beberapa tokoh masyarakat serta aliansi dan komunitas dari berbagai daerah lain seperti Kalimantan Barat, Lingga, Karimun, dan Siak.

Masing-masing perwakilan dari berbagai daerah ini menyampaikan orasinya di depan kantor BP Batam.

Bahkan ada sosok dari pelaku kesenian di Batam, yaitu Tarmizi dari Komunitas Rumah Hitam, yang menyampaikan syair panjang melalui pengeras suara.

Sejumlah orator menyatakan, aksi hari ini merupakan aksi damai, dan mengimbau massa untuk tidak melakukan tindakan anarkis dan kekerasan.

“Kita hari ini aksi damai!” seru salah seorang orator.

 

Aparat Bentrok dengan Masyarakat, Gas Air Mata Ditembakkan

Aksi damai yang digelar pun pecah.

Aparat Kepolisian dan warga saling serang dalam aksi damai yang digelar di depan kantor BP Batam pada Senin (11/9/2023).

Massa melempari kantor BP Batam dan pihak Kepolisian yang tengah melakukan penjagaan dengan batu.

Membalas serangn massa, aparat Kepolisian menembakkan air dengan menggunakan mobil watercannon.

Mereka pun menembakkan gas air mata untuk memecah massa yang anarkis.

Sebelum demo ricuh, Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi bertemu dengan para pendemo.

Dalam kesempatan tersebut dirinya mengaku memiliki keterbatasan kewenangan terkait konflik di Pulau Rempang.

Rudi juga mengajak perwakilan pendemo untuk menemui Menteri terkait rencana relokasi 16 kampung tua di sana.

“Sejak demo pertama, saya menyampaikan jika saya adalah perwakilan pemerintah pusat. Mari bapak ibu sekalian kita ke Jakarta untuk bertemu dengan Menteri yang mengambil keputusan,” ujarnya.

Massa sebelumnya mendatangi Massa memadati depan gedung BP Batam meski salah satu aliansi membatalkan rencana turun ke jalan.

Kali ini, turut hadir beberapa tokoh masyarakat serta aliansi dan komunitas dari berbagai daerah lain seperti Kalimantan Barat, Lingga, Karimun, dan Siak.

Masing-masing perwakilan dari berbagai daerah ini menyampaikan orasinya di depan kantor BP Batam.

Bahkan ada sosok dari pelaku kesenian di Batam, yaitu Tarmizi dari Komunitas Rumah Hitam, yang menyampaikan syair panjang melalui pengeras suara.

Sejumlah orator menyatakan, aksi hari ini merupakan aksi damai, dan mengimbau massa untuk tidak melakukan tindakan anarkis dan kekerasan.

Sejumlah orator menyatakan, aksi hari ini merupakan aksi damai, dan mengimbau massa untuk tidak melakukan tindakan anarkis dan kekerasan.

Namun, aksi damai berubah ricuh.

Aparat Kepolisian dan pendemo saling serang.

Pasca kericuhan yang terjadi, aparat menangkap sebanyak 43 orang saat unjuk rasa menolak pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco City, di depan kantor BP Batam, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (11/9/2023).

 

Anies Soal Konflik Rempang: Kalau Investasi Malah Memicu Penderitaan Rakyat, Ini Perlu Ada Koreksi

Bakal calon presiden (Bacapres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies BAswedan angkat suara soal konflik yang terjadi di Rempang dan Galang, Batam, Kepulauan Riau.

Dirinya menilai langkah koreksi harus dilakukan terkait kericuhan yang terjadi.

Ditegaskannya, investasi senyatanya bukan hanya untuk memperkaya para investor.

Makna investasi sebenarnya adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

“Kita bicara investasi, maka sesungguhnya investasi tujuan akhirnya bukan sekadar memperkaya investor! tapi meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat,” tegas Anies di DPP PKS, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Selasa (12/9/2023).

“Itulah tujuan utama ketika kita membuka Indonesia, membuka kesempatan untuk ada investasi,” ungkapnya.

Oleh karena itu, pemerintah katanya harus mengedepankan prinsip keadilan dalam situasi apapun.

Sebab, selain adanya beragam tantangan dalam pelaksanaan, tujuan investasi senyatanya untuk kesejahteraan rakyat, bukan kalangan investor.

Karenanya, segala bentuk investasi yang mengatasnamakan pembangunan namun menyengsarakan rakyat ditegaskannya harus dikoreksi.

“Nah kalau kegiatan investasi justru memicu penderitaan, justru memicu kondisi yang tidak sehat di dalam kesejahteraan rakyat, ini perlu ada langkah-langkah koreksi,” ungkap Anies.

Merujuk pengalamannya memimpin DKI Jakarta, Anies mengaku melihat besarnya penderitaan masyarakat yang menjadi korban penggusuran pemerintahan DKI Jakarta sebelumnya.

Penderitaan mendalam itu diungkapkan Anies terjadi saat kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Ketika itu, warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan digusur pemerintah karena rumah mereka terkena proyek normalisasi Kali Ciliwung.

Masyarakat yang terluka katanya berhasil dibuatnya tersenyum.

Anies mengaku membangun rumah susun bagi warga korban penggusuran proyek normalisasi Kali Ciliwung.

“Kami merasakan pengalaman di Jakarta ketika ada tindakan-tindakan kekerasaan yang menyangkut penggeseran-penggusuran itu luka sosialnya lama,” ungkap Anies.

“Teman-teman mungkin ingat di Jakarta pada masa di mana kampung-kampung di buldoser, kampung-kampung digeser, itu lukanya lama, saya datang ke tempat-tempat yang saya bangunkan rumah misalkan masyarakat di bukit duri,” bebernya.

Trauma atas penggusuran ketika era kepemimpinan Ahok katanya juga tak hanya dialami warga Bukit Duri, tetapi warga Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara.

Mereka yang terdampak reklamasi di pesisi Jakarta Utara itu katanya mengalami luka mendalam imbas penggusuran.

“Sekarang kita bangunkan rumah susun di sana, itu kalau (saya) datang mereka tidak pernah lupa anak-anak itu atas pengalaman traumatik atas yang mereka lewati atas kekerasan yang terjadi,” ungkap Anies.

“Kampung Aquarium kita datang ke sana, kita ketemu mereka yang memiliki luka yang amat dalamm” tambahnya.

Berbekal pengalaman tersebut, Anies menilai pendekatan yang terbaik adalah berdialog dengan masyarakat terdampak pembangunan.

Mereka katanya harus diajak duduk bersama dan bermusyawarah soal rencana pemerintah dalam pembangunan jangka panjang.

“Nah kami melihat pendekatan yang penting adalah pendekatan dialog, bicarakan baik-baik, apalagi ketika kita berbicara tentang projek yang jangkanya amat panjang. Kalau proyek yang jangkanya amat panjang itu rada diberikan tambahan waktu untuk proses pembicaraan itu berjalan dengan tuntas,” ungkap Anies.

“Jadi lebih baik dilakukan-dibicarakan dengan rumit, panjang, ribet tapi melibatkan semua dan sampe pada kesimpulan yang diterima baru kemudian eksekusi. Dengan cara seperti itu, maka kita akan merasakan pembangunan yang prosesnya dirasakan sebagai proses yang baik dan benar,” jelasnya.

Oleh karena itu, Anies mengajak kepada semua pihak untuk menahan diri.

 

Sebab, apabila pemerintah melakukan pendekatan berkeadilan, diyakininya suasana yang sejuk dan kondusif akan tercipta.

Tidak seperti konflik Rempang yang kini justru diwarnai dengan perlawanan dari masyarakat.

Masyarakat Melayu bahkan beradu jotos dengan aparat karena merasa terzolimi.

“Kita yakin bahwa pendekatan mengandalkan keadilan itu dijalankan dengan benar, kami yakin itu maka ketenangan keteduhan akan hadir. Jadi kami melihat penting sekali untuk mengedepankan proses yang damai, proses yang melibatkan semua dan beri waktu ekstra, sehingga proses dialog itu berjalan dengan baik,” ungkap Anies.

“Kami melakukan bahyak sekali pengalaman di Jakarta ketika kita harus berdialog dengan warga itu panjang prosesnya. Melalui fasilitas yang tidak sebentar tapi begitu tercapai kesepakatan, jalan ke depannya itu mudah sekali karena semua merasakan manfaatnya,” bebernya.

 

Konflik di Pulau Rempang, Mahfud MD Tegaskan Bukan Penggusuran, Tapi Pengosongan Lahan

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD menekankan bahwa insiden bentrokan antara aparat gabungan TNI-Polri dan warga Pulau Rempang, Batam, pada Kamis (7/9/2023) bukanlah hasil dari upaya penggusuran, tetapi merupakan proses pengosongan lahan oleh pemegang hak.

“Harapannya agar kasus ini dipahami sebagai pengosongan lahan dan bukan penggusuran, karena lahan tersebut memang akan digunakan oleh pemegang haknya,” kata Mahfud saat diwawancarai di Hotel Royal Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Jumat (8/9/2023).

Mahfud menjelaskan bahwa pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan dengan bentuk hak guna usaha.

Sebelum investasi dimulai, tanah tersebut tidak digarap dan tidak pernah dikunjungi. Kemudian, pada tahun 2004 dan seterusnya, keputusan diambil untuk memberikan hak baru kepada pihak lain untuk menghuni lahan tersebut.

Namun, Mahfud menekankan bahwa Surat Keterangan (SK) haknya telah dikeluarkan pada tahun 2001-2002 secara sah.

Mahfud juga mengomentari kesalahan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Pada tahun 2022, ketika investor hendak memulai proyeknya, pemegang hak datang ke lokasi dan menemukan bahwa tanahnya telah dihuni,” ungkap Mahfud MD.

“Issue yang saat ini menjadi penyebab konflik adalah proses pengosongan lahan, bukan hak atas tanah atau hak guna usaha,” tambahnya.

Menurut Mahfud MD, kesalahan yang dilakukan oleh KLHK adalah mengeluarkan izin penggunaan tanah kepada pihak yang tidak berhak.

“Jika saya tidak salah, ada sekitar lima atau enam keputusan yang dinyatakan batal karena terbukti melanggar dasar hukum,” jelas Mahfud.

Mahfud MD mengusulkan agar pemegang hak dan warga setempat berdiskusi bersama untuk menyelesaikan masalah ini.

“Sekarang, yang diperlukan adalah diskusi mengenai solusi, mungkin bantuan sosial, bukan kompensasi karena mereka sebenarnya tidak memiliki hak. Ini adalah tindakan belas kasihan, dan bagaimana cara memindahkan mereka, dan ke mana mereka akan dipindahkan,” ungkap Mahfud MD.

“Menurut saya, ini adalah solusi terbaik,” tegasnya.

Sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *