Politik Dinasti, dan Celah Demokrasi

Politik Dinasti dan Celah Demokrasi
Politik Dinasti dan Celah Demokrasi Foto: Cover Tempo
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Ch.H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

Hajinews.co.id – Majalah Tempo 2 minggu berturut-turut dalam Opininya (13 dan 20 November 2023) habis-habisan mengkritisi keluarga Istana. Baca saja judul opini Tempo 13 Nov. 2023, halaman 21, berjudul “ Anak Haram Konstitusi” dan edisi 20 Nov. 2023, dengan judul opini “ Tersebab Ambisi Ibu Negara”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam opini edisi 13 Nv.2023 tersebut, alinea pertama dibuka dengan kalimat “ Gibran Rakabuming Raka kehilangan legitimasi sebagai calon wakil presiden. Perubahan Pasal 169 huruf q, Undang Undang Pemilihan Umum yang membuat ia cukup syarat nenjadi pendamping Prabowo Subianto cacat secara formil. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menilai para hakim kostitusi yang menguji pasal ini melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan.

Kita rangkaikan dengan opini Majalah Tempo 20 November 2023, dialinea pertama juga “ Ungkapan “di balik pria sukses ada wanita hebat di belakangnya” hari hari ini tampaknya harus dikoreksi. Mengetahui sepak terjang Ibu Negara Iriana Joko Widodo dalam mendorong anaknya Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden, kalimat itu layak diubah menjadi “di balik dinasti keluarga, ada ibu sebagai sutradaranya”.

Kedua opini Tempo itu, dengan penggalan alinea pertamanya sudah dapat memberikan gambaran kepada kita, betapa pengaruh keluarga itu sangat besar untuk menentukan masa depan perjalanan politik kekuasaan di Indonesia. Bukan di DPR, bukan di MPR, bukan di Kabinet, tetapi satu kalimat “keluarga”.

Kondisi ini sebenarnya sudah menggambarkan bahwa demokrasi yang kita bangun selama ini lupa membentengi soal peran keluarga. Memang ada TAP MPR tentang Larangan KKN, tetapi model KKN sekarang ini sudah bermetamorfosa sedemikian juga, mengisi celah-celah demokrasi yang sudah ditetapkan dalam Konstitusi.

Kita mulai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat “ final dan mengikat” merupakan suatu bentuk Keputusan yang paling tinggi dan bersifat absolut. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan enteng megatakan “kita boleh tidak suka, boleh tidak senang, boleh protes, tetapi keputusan itu tetap berlaku dan diberlakukan”.

Keputusan “final dan mengikat” ibarat pisau bermata dua. Jika keputusan itu adil, dan memberikan kenyamanan bagi masyarakat banyak, maka negara ini semakin tenteram, tetapi jika keputusan itu kontroversial, menabrak rasa keadilan, menyalahi etik dan norma yang berlaku. Masyarakat menjadi kacau, terbelah, dan konflik berkepanjangan di tengah masyarakat, bahkan bisa menjadi instrumen untuk menggolkan kepentingan penguasa yang sedang berkuasa, seperti yang terjadi sekarang ini.

Indonesia memang ingin menjadi negara yang menjunjung Demorasi. Namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perjalanannya dibentuklah Mahkamah Konstitusi sebagai garda pengawal Konstitusi. Para hakimnya mestinya negarawan, yang harus sudah teruji bebas dari konflik kepentingan. Oleh karena itu pada diri seorang Hakim itu integritas, martabat, harga diri, jujur, ahli, profesional harus sudah terekam secara digital sewaktu di bahas di DPR untuk menguji para hakim itu. Dalam pelaksanaannya seleksinya sudah jauh melenceng. Kepentingan politik dan kekuasaan lebih mendominasi.

Uraian Majalah Tempo, sungguh dasyat bagaimana jaringan keluarga itu bisa meruntuhkan Mahkamah Konstitusi oleh Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, karena adanya keinginan keluarga untuk menggolkan aturan yang memberikan karpet merah untuk Gibran. Keputusan Majelis kehormata MK, merupakan fakta juridis yang menetapkan Ketua Majelis Hakim Anwar Usman melanggar etik sehingga diberhentikan sebagai Ketua Majleis Hakim, dan tidak boleh turut menyidangkan perkara yang berkaitan dengan Pemilu.

Bagi Anwar Usman menjalankan keputusan keluarga Istana, karena posisi yang bersangkutan sebagai adik ipar Jokowi, untuk meloloskan syarat bagi Gibran yang terhalang dengan sarat umur, sehingga nekat menambahkan norma baru “pernah sebagai kepala daerah” mungkin bukan merupakan suatu beban. Secara mental mungkin Anwar Usman ini mempunyai nilai sendiri dalam menempatkan dirinya sebagai hakim. Istilah negarawan baginya tidak berlaku,.

Publik sebenarnya sudah mulai was-was, dengan sepak terjang Anwar Usman yang mengawini adik Presiden, dimintakan mundur sebagai Ketua Majleis Hakim. Anwar tidak peduli dan meyakinkan tidak ada konflik kepentingan. Tapi hari hari ini fakta hukum membuktikan ada konflik kepetingan. Bagi Anwar Usman seolah sudah pasang badan untuk dicopot dari Ketua MK, dari pada dicopot sebagai adik ipar Presiden, dan keluar dari lingkaran Istana. Begitulah dasyatnya pengaruh kekuasaan. Orang bisa kehilangan akal sehat.

Masyarakat tidak menyangka, Ibu Negara iriana yang berpenampilan kalem, jarang tampil di publik, sederhana, rupanya terpendam keinginan untuk menjadikan anaknya Gibran mejadi Wakil Presiden. Keinginan itu menurut lingkaran kedua (versi majalah Tempo) kurang bijak, dan sebaiknya mengikuti anak tangga. Selesaikan dulu Walikota Solo, kemudian menclonkan diri sebagai Gubernur, dan seterusnya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *