Politik untuk Anak, Anak untuk Politik

Politik untuk Anak
Seto Mulyadi dan kembarannya
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Seto Mulyadi, Ketua Umum LPAI; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma; Mantan Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham RI

Hajinews.co.id DENGAN komitmen bahwa Indonesia berdemokrasi, maka semestinya tidak perlu ada ketakutan pada partai politik dan pada kampanye politik.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Namun berkaca pada belasan bentuk pelanggaran hak anak yang berlangsung pada masa kampanye kali ini, sebagaimana diumumkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tampak betapa pada kenyataannya parpol dan aneka kegiatan berbasis massa yang diadakan oleh parpol justru menjadi momok yang perlu dijauhi oleh anak-anak.

Pernyataan KPAI juga mendatangkan dua implikasi lainnya. Pertama, seolah anak dan politik tidak memiliki pertalian historis apa pun.

Kedua, politik dan anak adalah dua dunia yang harus disekat seketat-ketatnya. Dua tafsiran sedemikian rupa memerlukan koreksi besar-besaran.

Pertama, benarkah Indonesia tidak memiliki catatan sejarah tentang masuknya anak-anak ke dunia politik?

Menukil buku-buku biografi Sukarno, berserak kisah tentang bagaimana Sukarno sejak usia anak-anak telah dikondisikan sedemikian rupa oleh guru politiknya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, agar melek politik.

Tidak sebatas dihadirkannya murid-murid senior di rumah kos-kosannya, serta deretan buku di sekolahnya, Tjokroaminoto juga sering mengajak Sukarno berkeliling melakukan kampanye-kampanye politik dari satu lapangan ke lapangan berikutnya.

Laiknya rapat akbar, pasti di situ hadir lautan manusia. Di bawah terik matahari pula. Apalagi jika pidato-pidato Tjokroaminoto disimak baik-baik. Isinya tak jauh-jauh dari propaganda untuk menumbuhkan jatidiri keindonesiaan sekaligus tantangan terhadap Pemerintah Belanda.

Jika dipadankan dengan diksi hari ini, maka barangkali perkataan-perkataan Tjokroaminoto kala itu mengandung “ujaran kebencian”.

Lukisan tentang peran anak-anak di belantara politik juga ada pada masa November 1945. Surabaya, yang akan membara dalam perang, semestinya dikosongkan. Orang lanjut usia, perempuan, dan anak-anak diarahkan untuk mencari tempat aman.

Namun sekian banyak anak-anak berusia remaja memilih ikut berlaga. Mereka bergabung ke dalam laskar-laskar perjuangan dengan gagahnya.

Kalangan yang hari ini nyinyir, bila dilontarkan mesin waktu ke masa pascakemerdekaan di Surabaya saat itu, mungkin akan menyebut situasi anak-anak itu sebagai pelibatan anak-anak dalam kekerasan.

Bergeser ke tahun enam puluhan, pasca pemberontakan G30S/PKI, kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintahan Sukarno tumbuh subur.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *