Serangan Fajar, Wong Cilik, dan Jawa

Serangan Fajar
Serangan Fajar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Kita masih ingat, akhir 2023 lalu, tatkala kasus masyarakat adat di daerah Rempang, Provinsi Kepualauan Riau mendadak menjadi isu nasional, mereka menolak Proyek Stategis Nasional dengan pemindahan lokasi, terutama makam leluhur mereka. Di Jawa, ada pepatah sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, yang secara harfiah bermakna satu sentuhan kening, satu jari luasnya bumi bertaruh nyawa, menunjukkan bahwa akar fundamen penting yang prinsipiil dalam kosmologi Orang Jawa kaitan antara ‘kehormatan’, ‘tanah’, dan ‘moral’ adalah yang akan dibela mati-matian sampai titik darah penghabisan.

Pengertian dari martabat adalah upaya bersama penghormatan pada diri dan orang lain, dengan orang Jawa untuk menghormati semesta dengan sepatutnya. Kematian dipertaruhkan bukanlah pembelaan atas benda-benda, dalam hal ini adalah makam, tanah dan lokasi tertentu; namun sebuah kompleksitas nilai-nilai yang dijunjung atas sejarah, orang-orang yang wafat dalam kemuliaan sebagai leluhur serta ada komitmen menjaganya sampai raga terpisah kelak.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam konteks ini, serangan fajar dalam melangkah di KPPS nanti dan mencoblos di bilik suara, ingatan atas falsafah ojo milik barang kang melok (Jangan tergiur barang-barang mewah), yang jika kita menimbang bukanlah hal yang mewah dengan nilai tak seberapa jumlahnya uang dan sembako yang ditawarkan, seyogyanya ditolak.

Bukankah yang mewah saja kita semestinya berhati-hati dan waspada, apalagi tak seberapa nilainya dan mengakibatkan penyesalan nantinya? Maka, frasa lain menyusul yang seterusnya adalah konsep Ojo mangro mundak kendo (jangan mudah berubah pikiran agar tidak menyesal), yang bisa dijelaskan maknanya sebagai jangan mudah tergoda dengan segala sesuatu yang tampak indah, yang membawa kehancuran dan penyesalan.

Pada akhirnya, penulis terpikat pada frasa falsafah Orang Jawa sebagai pernyataan akhir penutup sebuah Debat Capres beberapa waktu lalu, yakni tatkala Anies Rasyid Baswedan menyampaikan bahwa sura dira jaya ningrat (Keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kenikmatan), lebur dening pangastuti (kalah dengan kasih sayang dan kebaikan).

Sebuah penutup yang elok, tatkala kita gamang menghadapi persoalan kebangsaan dan bernegara yang hari demi hari mengalami fase menurun oleh angkara murka. Bagaimana pun, mengutip falsafah Orang Jawa tadi bahwa sejatinya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan. Sifat keras hati, picik, dan kemarahan bisa dikalahkan dengan sikap lembut dan sabar.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *