Mengapa Muhammadiyah dan NU Berbeda Ketika Awal Ramadan?

Muhammadiyah dan NU Berbeda Ketika Awal Ramadan
Muhammadiyah dan NU
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.idAwal puasa Ramadan di Indonesia seringkali berbeda-beda, apalagi ditentukan oleh organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Perbedaan ini sudah menjadi kejadian umum yang terjadi setiap tahunnya.

Belum lama ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan awal puasa Ramadan pada tahun 2024. Organisasi Islam yang dipimpin oleh Haedar Nashir ini memulai puasa bulan Ramadan 1445 Hijriah pada Senin, 11 Maret 2024.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Muhammad Sayuti, Sekretaris PP Muhammadiyah, mengatakan penetapan 1 Ramadan 1445 H sebagai awal puasa didasarkan pada hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipimpin oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Sementara itu, organisasi Islam NU belum menetapkan kapan mengawali puasa Ramadan. Namun, Ketua Lembaga Falakiyah PBNU KH Sirril Wafa memprediksi awal puasa Muhammadiyah dan NU akan berbeda.

“Untuk awal Ramadan tahun ini, dengan memperhatikan posisi hilal baik tinggi maupun elongasinya, secara pengalaman atau tajribah, hilal tak mungkin dapat dirukyat pada Ahad sore 10 Maret,” kata Kiai Sirril dikutip dari NU Online, Selasa (27/2/2024).

“Jadi langkah ikmal/istikmal Syaban sebagaimana tertulis di almanak PBNU sudah benar. Insya Allah fix 1 Ramadan 1445 H bertepatan dengan 12 Maret 2024 M,” terang ulama ahli Falak ini.

Ada kemungkinan awal puasa Ramadan Muhammadiyah dan NU tahun ini berbeda. Lantas, mengapa kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini sering terjadi dalam menetapkan awal bulan Hijriyah?

Penyebab Berbeda

Menurut peneliti dari Kementerian Agama RI, Suhanah, penyebab perbedaan penetapan awal Ramadan dapat ditinjau dari aspek metodenya. NU menggunakan metode rukyat (mengamati hilal secara langsung), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan).

“Kedua kelompok ini sulit disatukan karena mempunyai alasan fikih masing-masing yang berbeda satu sama lainnya. Bagi masyarakat yang ada di wilayah Kota Semarang, perbedaan tersebut banyak menimbulkan keresahan bagi kalangan masyarakat awam,” katanya dikutip dari Jurnal Harmoni.

Muhammadiyah dengan Metode Hisab

Mengutip laman resminya, Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dalam penentuan awal bulan qamariyah memiliki dasar yang kuat juga.

Pakar Falak Muhammadiyah Oman Fathurrahman menyebut dalam beberapa isyarat ayat Al-Qur’an ditemukan kata kunci hisab yang berarti perhitungan. Misalnya, QS Ar-Rahman ayat 5 yang berarti matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.

Kemudian QS Yunus ayat 5 yang artinya, “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”

“Penetapan awal bulan itu bisa dengan hisab dengan perhitungan. Kalau kita memahami bahwa bulan dan matahari beredar menurut perhitungan, maka kita bisa memprediksi, mengukur, menentukan dengan pasti, dengan akurat,” kata Oman.

NU dengan Metode Rukyat

Melansir NU Online, penentuan awal bulan qamariyah dengan metode rukyat didasarkan atas pemahaman bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta’abbudiy.

Ada nash al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah rukyat, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 185 tentang perintah berpuasa Ramadan dan QS. Al-Baqarah ayat 189 tentang penciptaan ahillah.

Selain itu, ada setidaknya 23 hadist yang menjadi dasar tentang rukyat, yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, dan lain-lain.

NU berpandangan bahwa dasar rukyat tersebut dipegangi oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in, dan empat madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Dampak Perbedaan Awal Ramadan dan Syawal

Perbedaan tidak hanya pada awal Ramadan, tapi juga Syawal. Perbedaan Ramadan dan Syawal memberikan dampak psikologi yang dirasakan oleh masyarakat umum.

Hasil penelitian Suhanah tahun 2012, dampak psikologi yang dialami masyarakat antara lain malam takbiran tidak semarak, masyarakat yang masih menunggu keputusan dari pemerintah menjadi gelisah, dan hubungan dalam keluarga dan kerabat dekat yang cenderung berbeda tidak harmoni.

Peneliti Suhanah merekomendasikan agar dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal ormas-ormas Islam melepas atributnya demi kemaslahatan umat. Kemudian pemerintah tegas dalam menyikapi perbedaan ini untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Sumber: liputan6

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar