Disway: Salat Diskon

Salat Diskon
mekah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dahlan Iskan

Hajinews.co.id – HATI selalu ingin salat di dalam masjid Al Haram. Kenyataan sering menempatkan saya salat di tengah jalan raya. Di atas aspal. Jauh di luar masjid.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jumlah manusia menuju masjid memang tak terkirakan. Dari segala arah. Kalau azan sudah dikumandangkan belum sampai di masjid pun harus berhenti.

Di situlah salat. Di trotoar. Di emperan hotel. Di koridor mal. Dan di tengah jalan raya.

Komandonya tetap satu: dari imam yang ada nun di dalam masjid.

Tidak jarang di depan saya sederet orang salat di atas aspal tanpa sajadah. Mereka tidak melepas sepatu. Atau sandal.

Kamis lalu empat anak muda salat di depan saya seperti itu: dengan tetap bersepatu kets.

Perhatian saya pun terpecah ke sepatu itu: bagaimana nanti mereka bisa melakukan gerakan simpuh terakhir. Apakah bisa bersimpuh (tahiat) akhir dengan pakai sepatu.

Ternyata sepatu kets itu sangat fleksibel. Terlihat lebih nyaman melakukan itu.

Ada yang sandalnya dicopot. Lalu berdiri di atas sandal. Di gerakan simpuh mata kaki kirinya menekan aspal. Tentu sakit. Saya pun pernah mengalami.

Di Makkah ini kian sering saya melihat orang salat pakai sepatu. Di luar masjid Al Haram. Saya bayangkan, suatu saat masjid bisa seperti gereja: yang sembahyang tidak perlu melepas sepatu.

Kan persoalannya di najis: apakah sepatu itu kotor atau tidak –kotor dalam pengertian najis: ada kotoran binatang atau manusia menempel di sepatu.

Di desa-desa kemungkinan sandal terinjak kotoran ayam sangat besar. Ayam berkeliaran di desa. Pun kambing dan kerbau.

Di kota, kemungkinan itu kecil. Apalagi di kantor-kantor. Di kompleks elite. Dari rumah, setelah pakai sepatu mereka langsung naik mobil. Turun dari mobil sudah di depan lobi kantor. Dari karpet ke karpet. Tanpa najis.

Makkah pun terus berubah.

“Tahun lalu salat tarawihnya sudah dipersingkat,” ujar Bajuri, pemilik travel haji-umrah Bakkah.

Tarawih adalah salat yang hanya dilakukan di setiap malam di bulan puasa.

“Tarawihnya sudah didiskon separo,” ujar Bajuri. “Tidak lagi 20 plus 3 rakaat. Sudah menjadi 10 plus 3 rakaat,” tambahnya.

Rakaat adalah satu siklus rangkaian gerak dalam salat. Satu siklus itu terdiri dari tujuh gerakan: berdiri tegak, ruku, tegap lagi, sujud, duduk, sujud lagi, berdiri lagi.

Dulu, di Masjidil Haram, setiap malam, di bulan puasa, harus salat tarawih 23 kali siklus rangkaian itu. Lama sekali. Baru selesai pukul 23.30. Malam sekali. Terlalu malam. Apalagi doa di rakaat terakhirnya panjang sekali.

Tahun lalu, kata Bajuri, pukul 22.00 sudah selesai. Lebih singkat 1,5 jam. Puasa sekarang ini pun tarawihnya sudah tinggal 10 rakaat.

Bajuri tidak tahu mengapa tarawih didiskon 50 persen. Di Saudi sulit mendapat penjelasan seperti itu. Kalau majelis ulama sudah memutuskan –atas dorongan yang berkuasa– jadilah. Tidak ada perdebatan. Atau bantahan.

Bagi jamaah umrah dari luar negeri diskon itu menarik. Terutama bagi mereka yang tiba di Makkah malam hari. Jamaah yang baru tiba bisa segera masuk hotel.

Dulu, bus mengangkut jamaah harus tertahan di jalan. Sampai jam 12 malam. Bus baru boleh masuk setelah tarawih selesai. Jalan-jalan sekitar Masjid padat. Sesak. Macet.

Mengapa bukan dipersingkat menjadi 8 rakaat plus tiga? Seperti banyak dilakukan di Indonesia?

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *