Ancang-Ancang Koalisi Besar Prabowo

Koalisi Besar Prabowo
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Koalisi besar sejatinya pernah digagas Presiden Jokowi kala bertemu Ketua Umum Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP pada April 2023. Kelima partai itu bersamuh di kantor DPP PAN untuk menyatukan dua koalisi, yakni Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Jokowi bilang, koalisi besar itu cocok. Ia kemudian menyerahkan keputusan kepada para ketua partai. Saat itulah Jokowi disebut sebagai kingmaker. Namun, wacana bergabungnya KKIR dan KIB gugur di tengah jalan usai PKB hengkang gegara ketua umumnya, Muhaimin, memilih menjadi cawapres Anies Baswedan, dan PPP merapat ke PDIP mengusung Ganjar.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kini, wacana koalisi besar muncul lagi. Seorang sumber di internal Gerindra menyatakan, suasana batin perencanaan koalisi besar mengedepankan persatuan demi kepentingan bangsa. Sementara sumber lain di elite partai itu tak menampik adanya kekhawatiran program pemerintah Prabowo “tertahan” di parlemen tanpa sokongan koalisi besar itu.

Namun, Waketum Golkar Erwin Aksa menepis kecemasan itu. Menurutnya, mayoritas rakyat Indonesia menginginkan pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk urusan makan siang gratis, sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Koalisi besar dinilai politisi PKS Mardani Ali Sera tidak sehat untuk demokrasi, sebab demokrasi yang sehat memberi ruang bagi berkembangnya kekuatan oposisi demi terjadinya mekanisme checks and balances.

Namun internal Gerindra menyebut fungsi pengawasan tetap bisa berlangsung di DPR meski ada koalisi besar. Apalagi, menurut Erwin Aksa, DPR mendatang diprediksi bakal dipenuhi anak-anak muda. Bagaimanapun fungsi pengawasan tetap berjalan di DPR sesuai aspirasi masyarakat, kalau tidak mereka bakal dihukum oleh para pemilih 5 tahun mendatang.

“Upamanya kalau sudah diputuskan satu program besar, yang laksanakan menteri, dirjen, kan harus diawasi kementeriannya. Diawasi pelaksanaannya, lembaga pengguna anggaran negara diawasi, selain anggaran kebijakannya juga,” tutur Erwin di kantornya, Menara Karya, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (7/3).

Pakar politik Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, preseden koalisi rasa oposisi memang pernah terjadi. Misal pada saat PKS menjadi koalisi pemerintahan SBY sesekali partai itu menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.

Begitu pula PDIP kini yang jadi partai pemerintah. Partai banteng bermoncong putih tak segan-segan mengkritik menteri-menteri melalui fraksinya DPR.

“Tapi menurut saya oposisi itu harus diformalkan. Kalau partai pemerintah ya enggak bisa enggak loyal [ke pemerintah]. Kalau enggak ada oposisi ya kacau ini,” kata Pangi. Ia berseloroh, sekalian saja seluruh partai bergabung pemerintah adapun peran oposisi bakal diambil alih oleh para pengamat.

Saking pesimisnya, Pangi menilai semua partai yang kini mengajukan hak angket dugaan kecurangan pemilu—yang digadang bakal jadi oposisi ke depan—mungkin menyeberang ke koalisi besar pemerintah. Itulah sebabnya meski sudah diwacanakan melalui interupsi di rapat paripurna ke-13 di masa persidangan IV lalu, nasib angket masih dinilai maju-mundur.

Pangi menilai, tidak ada parpol yang kuat menjadi oposisi di Indonesia, sebab mereka bakal menjadi partai ‘duafa’ tanpa program dan kebijakan. Sudah begitu, upaya menjadi oposisi juga tak berbuah reward atau insentif dipilih dari masyarakat. Mardani sepakat, itu sebabnya banyak parpol yang akhirnya memilih mendekat ke kekuasaan.

“Harusnya partai yang konsisten oposisi, PKS dikasih hadiah oleh masyarakat, kan sudah kering 10 tahun. Apa yang terjadi? Suara PKS turun 2 kursi,” ujar Pangi.

Tak cukup berhenti di koalisi besar di pusat, bahkan kasak-kusuk elite politik ada yang mewacanakan munculnya koalisi besar yang bersifat permanen dan menjalar ke daerah. Format ini mengadopsi koalisi Barisan Nasional yang terjadi dari beberapa parpol mewakili berbagai etnis di Malaysia.

Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP M. Romahurmuziy sempat mendengar adanya kasak-kusuk koalisi permanen itu yang disebut bakal dimotori oleh Golkar. Karenanya Golkar sedang diupayakan untuk mendapat kursi lebih banyak di parlemen. Pria yang akrab disapa Gus Romy itu menambahkan, ada skenario yang menyebut kemudian Jokowi menjadi Ketua Dewan Pembina koalisi itu.

Namun, Waketum Golkar Erwin Aksa menyatakan koalisi parpol di Indonesia tidak bisa disamakan dengan Malaysia yang sistem pemerintahannya parlementer. Pun jika alasannya koalisi besar permanen dan hingga daerah demi kesinambungan dalam hal program, itu juga tidak dapat dipersamakan. Apalagi daerah punya APBD dan program masing-masing.

Skenario koalisi besar hingga ke daerah juga dianggap Gus Romy bakal menentukan bagi-bagi kursi pencalonan pilkada. Jika semisal Golkar dikalkulasi memiliki kontribusi sekitar 1/3 dari jumlah kursi koalisi 02 di parlemen, maka ia juga dianggap berhak menentukan kepala daerah di 1/3 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.

Erwin Aksa menyebut skenario itu tidak bisa dilaksanakan sebab demokrasi bakal mundur jika koalisi besar turut mengatur-atur penentuan kepala daerah. Menurutnya, biarkan saja masing-masing kandidat kepala daerah dan parpol berkompetisi untuk mendapat tiket ambang batas 20% dari hasil pilkada lalu.

Senada, Pangi Syarwi menilai koalisi besar hingga ke daerah tidak akan bisa berjalan lantaran kepentingan antara pusat dan daerah berbeda. “Saya enggak yakin semulus itu karena masing-masing daerah punya kepentingan,” imbuhnya.

Sumber: kumparan

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *