Amnesty Internasional: Integritas dan Kredibilitas Pemilu Indonesia Dipertanyakan

Kredibilitas Pemilu Indonesia Dipertanyakan
Pemilu
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.idDirektur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai peristiwa Sidang ICCPR Komite Hak Asasi Manusia PBB pekan lalu di Jenewa, Swiss, merupakan dinamika yang patut diwaspadai pemerintah.

Sebab, lanjutnya, dunia internasional selama ini menilai Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu yang bebas, jujur, dan adil sebagai implementasi dari Kovenan Hak Sipol.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dengan adanya pertanyaan Komite HAM, maka pemilu Indonesia mulai dippertanyakan integritas dan kredibilitasnya,” kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Senin (18/3/2024).

Pemilu Indonesia, kata dia, meski tidak sempurna cenderung selalu diukur dengan ada tidaknya kejanggalan atau ketidakberesan dalam tiga hal.

Pertama, kata dia, apakah setiap tindakan, prosedur, dan keputusan Pemerintah terkait proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum.

Kedua, lanjut dia, pemilu melindungi atau memulihkan hak pilih.

Ketiga, kata dia, negara memungkinkan warga yang meyakini hak pilih mereka telah dilanggar masih dapat secara bebas mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.

“Nah, Indonesia mulai memiliki tantangan serius pada pada Pemilu 2019 ketika terjadi kekerasan dan penggunaan kekuatan aparat yang eksesif di depan Bawaslu,” kata dia.

“Tantangan terbaru adalah di Pilpres 2024 di mana banyak sarjana dan pengamat mulai mengkhawatirkan netralitas Polri dalam pemilu, artinya pemilu diduga tidak berjalan sesuai dengan asas bebas, jurdil,” sambung dia.

Dipertanyakan Anggota Komite HAM PBB

Dilansir dari Kompas.com, Anggota Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden tahun 2024 dalam sidang ICCPR di Jenewa pada pekan lalu.

Ia menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melanggengkan jalan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mengikuti kontestasi pilpres.

Putusan dimaksud yakni putusan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di mana MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan tersebut.

Ndiaye mengatakan kampanye calon presiden dan calon wakil presiden terjadi usai putusan tersebut keluar.

“Kampanye terjadi setelah keputusan pengadilan pada menit-menit terakhir yang mengubah kriteria kelayakan yang memungkinkan putra presiden untuk ikut serta dalam Pemilu,” kata Ndiaye dalam Sidang ICCPR Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss pekan lalu, dikutip dari UN Web TV pada Senin (18/3/2024).

Ndiaye juga mempertanyakan langkah apa yang diambil Indonesia untuk memastikan pejabat tinggi, termasuk Jokowi tidak memberikan pengaruh atau intervensi yang berlebihan terhadap proses Pemilu.

Ia juga bertanya apakah Indonesia sudah melakukan penyelidikan untuk mengusut dugaan-dugaan itu.

“Langkah-langkah apa yang diterapkan untuk memastikan bahwa pejabat tinggi termasuk presiden dicegah untuk memberikan pengaruh yang berlebihan terhadap proses Pemilu,” kata dia.

Saat diberikan kesempatan, Indonesia yang diwakili Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan Ndiaye.

Tri justru menjawab masalah Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya, seperti soal kasus aktivis Haris dan Fathia yang belum lama dinyatakan bebas hingga kasus Panji Gumilang.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *