Nasib Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk, Quo Vadis?

Nasib Demokrasi Indonesia
Jokowi dan Prabowo
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id – Dalam diskursus akademik ilmu politik dikenal istilah “otoriterisme kompetetif”. Konsep tersebut muncul sebagai respons atas berbagai fenomena politik dunia pasca perang dingin yang ditandai dengan menjamurnya apa yang disebut oleh para ahli ilmu politik sebagai rezim hybrid. Sebuah rezim yang secara sederhana bisa kita artikan sebagai praktik politik-pemerintahan yang di satu sisi nampak mengadopsi aturan demokratis, tetapi pada sisi yang lain gaya otoritarianisme tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh pemerintahan.

Dengan kata lain, rezim hybrid mempraktikkan demokrasi dan otoritarianisme sekaligus. Pada dekade 1990-an, sebagian besar negara-negara di Afrika, kemudian di Asia (seperti Malaysia dan Taiwan) dan juga Amerika Latin dianggap mempraktikkan rezim politik tersebut.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam banyak analisis, umumnya para ahli menyebut fenomena rezim hybrid di atas dengan istilah seperti “rezim demokrasi yang tidak komplit (regimes as incompete), semidemokrasi, dan sebagainya. Ada juga peristilahan yang menunjukkan sebuah sikap optimistik seperti fase transisi demokrasi, yang artinya rezim hybrid adalah bagian dari perjalanan menuju pendemokrasian.

Dua ilmuwan politik papan atas dunia, yakni Steven Levitsky dari Harvard University dan juga Lucan A. Way yang kini menjadi akademisi di Toronto University melalui tulisannya “The Rise of Competitve Authoritarianism” (2002) menyoroti secara tajam berbagai label dan istilah yang digunakan oleh para ahli secara umumnya, karena berbagai istilah tadi dianggap tidak lagi memadai untuk menjelaskan perkembangan fenomena politik yang terjadi.

Bagi Levitsky dan Way (2002), secara umumnya pandangan-pandangan para ahli kebanyakan tadi mengandung dua kelemahan penting, yakni: Pertama, banyak penelitian mengandung bias demokratisasi; keduanya, penyebutan istilah ‘semidemokratis’, ‘sebagian bebas’ dan sebagainya, sering digunakan sebagai kategori residual dan cenderung menutupi perbedaan-perbedaan penting di antara tipe-tipe rezim. Bila saya tafsirkan lebih lanjut, keduanya seolah ingin mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah kegagalan proyek demokrasi di berbagai negara tersebut yang sulit diakui oleh para ilmuwan politik sehingga menyembunyikannya dengan berbagai istilah-istilah di atas.

Bagi keduanya, hal paling penting adalah membongkar rezim politik sesungguhnya yang dipraktikkan di berbagai negara. Keduanya sendiri mengembangkan sebuah konsep khusus dalam diskursus rezim hybrid, yakni otoriterisme kompetitif. Menurut Levitsky dan Way (2002), apa yang dimaksud sebagai rezim otoriter yang kompetitif, yakni kekuasaan yang memandang lembaga demokrasi formal sebagai sarana utama untuk memperoleh dan menggunakan otoritas politik, akan tetapi pemerintah (ataupun petahana), sering melanggar aturan-aturan demokrasi, yang bahkan rezim tersebut gagal memenuhi standar minimum konvensional dalam demokrasi.

Oleh sebab itu, rezim otoriter kompetitif ini, tidak bisa dikatakan tengah berada pada masa transisi demokrasi, karena yang terjadi justru bergerak ke arah otoriterisme atau bahkan sudah secara nyata mempraktikan otoriterisme. Lalu bagaimana praktik demokrasi di Indonesia setelah 25 tahun reformasi?

Secara teoretis, seharusnya kita berada dalam tahapan konsolidasi demokrasi, terlebih lagi pasca amandemen UUD 1945. Namun ironisnya, gejala-gejala belakangan menunjukkan demokrasi kita tidak kunjung naik kelas, dan bahkan ada berbagai indikasi mengarah pada apa yang disebut sebagai otoriterisme kompetitif. Kita seolah mundur lagi ke beberapa dekade ke belakang. Lalu mengapa dikatakan ada indikasi rezim politik kita mengarah pada otoriterisme kompetitif?

Quo Vadis Demokrasi Indonesia?

Ada banyak kalangan terdidik cendikia yang belakangan menyuarakan mengenai kekhawatiran demokrasi Indonesia yang akan mencapai titik nadirnya. Meskipun kalau saya pribadi, saya menganggap bahwa fenomena belakangan hanyalah “puncak gunung es”. Artinya, sebenarnya masalah yang menunjukkan bahwa demokrasi kita jauh dari kata ideal, dan bahkan bisa disebut sebagai demokrasi illiberal bisa kita baca sejak awal. Terutama bila kita melihat dari struktur ekonomi politik yang bekerja. Penjelasan ini bisa kita baca dalam “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004)”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar