Menyambut Pilkada: Dinasti Politik dan Klientelisme

Menyambut Pilkada
Pilkada 2024
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.idLINIMASA hajat demokrasi Indonesia masih akan berlanjut. Usai pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan parlemen (Pileg), masyarakat Indonesia akan segera menyambut pemimpin daerah (Pilkada) pada November 2024.

Sebagai pengingat, Terlepas dari kegembiraan dan euforia, demokrasi lokal menghadapi paradoks yang bukan lagi rahasia: dinasti politik dan klientelisme.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Lukman Hakim (2024) soroti kemunduran praktik demokrasi di Indonesia, khususnya di daerah. Otonomi daerah yang seharusnya mampu menjaga stabilitas demokrasi (dan demokratisasi), justru menghadapi kontradiksi: mulai dari terbentuknya elit lokal baru hingga munculnya dinasti politik yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia.

Fenomena demikian menguatkan sinyalemen bahwa laju demokrasi Indonesia hingga saat ini masih beredar di poros prosedural–ketimbang substantif seperti yang dicita-citakan (Hakim, 2024).

Perspektif kritis tersebut diperkuat studi lain. Secara kasuistis, penelitian Yuliartiningsih dan Adrison (2022) terkait perhelatan Pilkada di rentang waktu 2017-2020, mengkontraskan eksistensi dinasti politik yang tersebar di banyak daerah di Indonesia.

Beberapa temuan penting dari studi ini, antara lain: pertama, dari total sebaran 508 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di rentang waktu 2017-2020, terdapat 247 (48,6 persen) kabupaten/kota yang terindikasi muatan dinasti politik.

Kedua, persentase kemenangan kandidat dinasti politik di arena Pilkada sangat signifikan. Kesimpulan tersebut berbasis temuan pertarungan Pilkada di 170 dari 247 kabupaten/kota terindikasi dinasti politik (69 persen) berbuah kemenangan.

Fragmen realitas politik tersebut lebih dari cukup untuk memvalidasi keberadaan dinasti politik. Bahwa ia bukan rumor atau isapan jempol. Bukan pula anomali.

Alih-alih, dinasti politik semakin mapan berpola: dioperasikan dan dilegitimasi melalui arena elektoral. Tepat bila Prof. Siti Zuhro menyebutnya sebagai neo-patrimonial (Kompas, 2023). Politik keluarga gaya baru. ‘Rasa’ monarki di tengah konstruksi demokrasi.

Dinasti politik yang menjalar di banyak daerah di Indonesia berkait kelindan dengan praktik klientelisme.

Dalam skema elektoral, pelanggengan kekuasaan di lingkup keluarga tidak akan terjadi tanpa pemenuhan syarat-syarat prosedural.

Sekurang-kurangnya, ada dua syarat penting, yaitu (1) partai politik sebagai instrumen kontestasi politik dan (2) pemilih yang menentukan kemenangan di arena Pilkada.

Pola klientelisme yang mensyaratkan relasi patron-klien (tuan dan hamba: pen) terbentuk di dua aras tersebut. Pola relasi demikian tentu saja timpang dan semu.

Aktor dinasti mewakili pihak yang memiliki keberlimpahan: akses, modal, kuasa, dan lainnya. Sementara, aktor di luar pusaran dinasti mewakili pihak yang lemah dan subordinat.

Sehingga, ketimbang partisipatif, konsekuensi yang tercipta adalah relasi transaksional yang dimulai sejak awal. Transaksi itu bisa dalam bentuk beragam, entah distribusi jabatan, proyek, atau siraman uang untuk ‘membeli’ suara.

Pembangunan semu, korupsi, dan jerat kemiskinan

Sjaf (2024) menegaskan, kerugian terbesar dari situasi tersebut adalah hilangnya peluang tanggung-gugat terhadap kepala daerah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar