Pemberantasan Korupsi Melemah di Bawah Kepemimpinan Jokowi

Pemberantasan Korupsi Melemah
Pemberantasan Korupsi Melemah di era jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.idProgram pemberantasan korupsi Jokowi pada periode keduanya dinilai lebih kisruh dari sebelumnya. Indeks persepsi korupsi di Indonesia sudah kembali ke nol.

Beberapa lembaga antikorupsi menegaskan, program pemberantasan korupsi akan semakin terpuruknya pada periode kedua Presiden Joko Widodo. Di akhir masa jabatannya, Jokowi disebut-sebut telah kembali ke titik nol dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keadaan tersebut tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terpantau pada tahun 2022-2023 dengan nilai stagnasi skor sebesar 34.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dulu, waktu Pak Jokowi baru menjabat itu, skor IPK ada di angka 34, dan hari ini kembali pada skor tersebut,” tutur peneliti Transparency International Indonesia (TII) Izza Akbarani kepada detikX pekan lalu.

Catatan serupa diberikan Indonesia Corruption Watch dalam laporan hasil pemantauan tren korupsi 2023 yang dirilis pekan lalu. Riset itu menunjukkan jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun sejak periode kedua Jokowi. Jumlahnya melonjak nyaris tiga kali lipat dari hanya 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus pada 2023.

Potensi nilai kerugian negara dari kasus-kasus ini juga ikut melambung. Dari hanya Rp 8,4 triliun pada 2019 menjadi Rp 28,4 triliun pada 2023. Bahkan pernah mencapai Rp 42,7 triliun pada 2022.

Peneliti ICW Diky Anindya mengatakan amburadulnya tren pemberantasan korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara memberikan hukuman berat kepada koruptor. Itu terlihat data tren vonis bagi para koruptor pada 2020-2022, yang hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan.

Negara, lanjut Diky, juga masih tidak punya taring untuk memiskinkan para koruptor. Terlihat dari perbandingan hasil vonis kerugian negara dengan nilai uang yang bisa dikembalikan pada 2020-2022.

Pada 2020, dari total Rp 56,7 triliun kerugian negara, yang bisa dikembalikan hanya Rp 19,6 triliun. Lalu pada 2021, dari Rp 62,9 triliun, pengembalian hanya Rp 1,4 triliun. Kemudian pada 2022, dari Rp 48,7 triliun kerugian negara, hanya Rp 3,8 triliun yang bisa dikembalikan.

“Jadi calon pelaku itu akan menghitung probabilitas atau manfaat yang dia dapat ketika melakukan korupsi itu akan jauh lebih besar ketimbang beban atau cost yang akan dia tanggung ketika dia tersangka,” jelas Diky saat berbincang dengan detikX melalui konferensi video pada Selasa, 21 Mei 2024.

Tren buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi juga tecermin dari kinerja instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri, yang belakangan dianggap kian melempem. Kejagung, misalnya, beberapa tahun terakhir memang banyak menangani kasus dengan potensi kerugian negara yang besar. Namun pengembalian uang negara dalam kasus-kasus itu masih terbilang minim.

Sebut saja kasus PT Asuransi Jiwasraya, yang merugikan negara Rp 16,81 triliun. Pengembalian uang negara dalam kasus ini baru sekitar Rp 3,1 triliun. Kemudian kasus korupsi base transceiver station (BTS), yang merugikan negara Rp 8,32 triliun. Pengembalian uang negaranya baru sekitar Rp 1,7 triliun.

Minimnya pengembalian uang negara dalam kasus korupsi yang ditangani Kejagung ini tidak ditampik Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana. Ketut mengakui Kejagung masih membutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan kerugian uang negara dalam setiap kasus yang ditangani.

“Perlu penelusuran, pendataan, asset tracking (pelacakan aset), dan lain-lain,” terang Ketut melalui pesan singkat.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *