Pemberantasan Korupsi Melemah di Bawah Kepemimpinan Jokowi

Pemberantasan Korupsi Melemah
Pemberantasan Korupsi Melemah di era jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Di Polri, persoalannya bukan tentang pengembalian uang negara, melainkan profil tersangka korupsi yang ditangkap. Polri selama ini hanya berani menangkap tersangka korupsi di level pejabat pelaksana. Nyaris tidak ada tokoh besar tersangka korupsi yang ditangani Polri dalam lima tahun terakhir kecuali mantan Ketua KPK Firli Bahuri. Itu pun kasusnya masih tidak jelas kabarnya sampai sekarang.

Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa mengakui sebagian besar kasus korupsi di Polri memang masih menjangkau pejabat level pelaksana. Penyidik kepolisian, kata Arief, masih butuh pengembangan kemampuan untuk menyentuh koruptor dengan level satu atau pejabat setingkat menteri. Perlu juga dilakukan restrukturisasi organisasi agar Polri lebih berintegritas dan terintegrasi dalam penanganan kasus korupsi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Hal ini perlu dilakukan mengingat karena korupsi sebagai kejahatan white collar, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan intervensi, baik secara politik maupun ekonomi,” ungkap Arief melalui pesan singkat pada Rabu, 22 Mei 2024.

Tidak ubahnya dengan Polri dan Kejagung, penegakan tindak pidana korupsi di KPK juga kian layu. Sepanjang 2019-2023, lebih sering terdengar berita terkait KPK lantaran sejumlah masalah di lingkup internalnya sendiri ketimbang pengungkapan kasus-kasus korupsi. Meminjam istilah ICW, ini menunjukkan bahwa KPK sekarang seolah lebih mengedepankan kontroversi daripada prestasi.

Juru bicara KPK Ali Fikri tidak menampik soal adanya kontroversi di lingkup internal lembaganya. Ali justru mengapresiasi kritik yang disampaikan ICW tersebut. Ali bilang pihaknya bakal melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kontroversi maupun kekurangan yang ada dalam lembaganya selama beberapa tahun terakhir.

“Bersih-bersih terhadap oknum di internal, kami tegas lakukan itu sebagai bagian menjaga marwah dan kepercayaan masyarakat,” ungkap Ali melalui pesan singkat kepada detikX pekan lalu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Muhammad Nur Ramadhan menganggap buruknya situasi pemberantasan korupsi seperti yang dipaparkan TII dan ICW ini adalah buah dari disahkannya revisi Undang-Undang KPK pada 2019. RUU ini telah mencerabut independensi KPK dengan menempatkannya di bawah rumpun eksekutif.

Aturan ini, kata Ramadhan, membuat KPK, yang punya kewenangan supervisi dalam penanganan kasus korupsi untuk dua instansi lain, malah kehilangan taji. Sebaliknya, penempatan KPK di bawah rumpun eksekutif justru menjadikan lembaga antirasuah ini semakin mudah disetir oleh kekuasaan.

Ini menunjukkan betapa Jokowi sebetulnya tidak punya kemauan politik untuk menegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Melainkan justru ingin mengendalikan semua lembaga penegak hukum berada di bawah ketiaknya.

Nihilnya kemauan politik Jokowi untuk agenda pemberantasan korupsi juga terlihat dari gelagatnya yang seolah abai terhadap desakan Koalisi Masyarakat Sipil terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. DPR dalam persoalan ini juga setali sepenanggungan dengan Jokowi karena belum pernah mengagendakan pembahasan RUU tersebut dalam sidang-sidang di parlemen.

“Undang-Undang Perampasan Aset juga menjadi indikator buruknya penilaian pemerintahan Jokowi terhadap isu antikorupsi,” terang Ramadhan saat berbincang dengan detikX pada Rabu, 21 Mei 2024.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, dan Staf Khusus Presiden Dini Purwono tidak menjawab pesan dan telepon singkat detikX ketika dimintai tanggapan terkait kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil tersebut. Adapun Wakil Komisi III DPR RI Habiburokhman mengapresiasi kritik yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil kepada lembaganya.

Habiburokhman mengatakan pihaknya bakal menyerap masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk masuk dalam pertimbangan DPR dalam upaya pemberantasan korupsi. Meski begitu, Habiburokhman mengingatkan tidak semua masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil mungkin dapat diterima oleh DPR. “Namanya aspirasi, sering kali beragam dengan berbagai argumentasinya. Jadi tidak bisa semua masukan diterima karena banyak aspirasi masyarakat lainnya,” pungkas Habiburokhman.

Sumber Berita: detik X

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *