Oleh : Abdurrahman Lubis, Pemerhati Keislaman
Hajinews – Kadang kita mengatakan moral, satu saat mental, satu saat kita sebut akhlaq. Mana yang paling defenitif ? Manusia yang tak memiliki moral disebut a-moral, artinya, ia tak bermoral dan tak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Moral, adalah sikap hati, lebih bernilai etika. Di tempat pelacuran pun ada etika, di meja judi pun ada etika. Bahkan di komunitas permalingan pun ada etika.
Padahal dalam parameter akhlaq, itu, pelacuran dan judi, maling, sudah maksiat besar. Kalau tak taubat sebelum mati, dipastikan pelakunya masuk neraka. Moral dan etika tak dapat membela mereka.
Nah, jika dilihat realitasnya, kenapa umat tak menyerahkan urusannya kepada partai-partai Islam. Bukankah partai politik produk hukum berkekuatan “juridis formal” ?
Bukankah mereka penuh janji-janji politik ? Mungkin masyarakat tak lagi memilih mereka, dengan beragam alasan, tidak aspiratif, sudah bergeser maksud, terlalu menonjolkan kepentingan kelompok.
Kenapa orang seperti IB HRS yang sekarang diidolakan, mengalahkan semua tokoh besar atau ketua partai mereka ? Padahal mereka sudah habis banyak uang untuk sebuah kursi, sedang IB HRS tak pakai duit, malah menolak kursi dan jabatan.
Mereka menyebut, moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tak bisa sosialisasi. Moral di zaman ini punya nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral, itu, dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ingin dihormati sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari budaya masyarakat setempat. Moral juga disebut sebagai perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang saat interaksi dengan manusia. Bila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat dan diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka ia dinilai memiliki moral baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya. Setiap budaya memiliki standar moral berbeda sesuai sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama, di suatu tempat.
Jadi defenisi moral masih dikaitkan dengan budaya suatu komunitas. Artinya hasil kreasi manusia pada suasana tertentu di wilayah tertentu.
Maka, situasi dan kondisilah yang menentukan baik buruknya seseorang. Kalau budayanya barat ya moralnya kebarat-baratan, kebaikannya adalah menurut takaran barat. Demikian juga kalau budayanya timur. Akan ikut moral ketimuran. Tak ada standard akurat.
Nah, mental adalah sikap Jiwa dalam makna psykologis. Mental seorang bila normal, mental takut salah, mental takut berkominasi. Ada juga mental lemah, mental stres, menghadapi suasana “simalakama”. Dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu.
Sedang akhlaq jauh beda. Akhlak adalah bentuk (sosok) manusia seutuhnya, lahir batin.
Allah SWT yang menciptakan akhlaq.
Diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW
وانك لعلى خلق عظيم
Sesungguhnya milikmu Muhammad akhlaq yang agung
وانك يا محمد لعلى ادب عظيم
Dalam tafsir disebutkan, “Sesungguhnya milikmu Muhammad adab yang agung”. Adablah akhlak.
Tanpa adab manusia akan tak beradab untuk selanjutnya biadab.
Adab lah cara hidup Muhammad Saw satu kali 24 jam.
Akhlak itu kesempurnaan Adab, yakni Imaniyah, ubudiyah (adab kepada Allah) , muamalah dan mua’syarah (adab kepada manusia dan makhluk lain).
Imaniayah adalah kesempurnaan iman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ubudiyah adalah kesempurnaan ibadah (solat, puasa, zakat, haji).
Mu’amalah kesempurnaan perniagaan, jual beli, simpan pinjam, tak riba, tak mengurangi timbangan, tak mengurangi ukuran (halalan thoyyibah).
Mu’asyarah adalah hubungan sesama makhluk, manusia dengan manusia, manusia dengan ciptaan Allah Swt yang lain. Kesempurnaan antara imaniyah dan ubudiyah (hablun min Allah) dengan mu’amalah dan mu’asyarah (hablun min Annas), itu, disebut akhlaq.
Jadi seseorang tidak ujug-ujug berakhlaq. “Oh, ia akhlaqnya baik, sering memberi saya hadiah, walau tak salat”.
Jadi kebaikan tidak diukur dari banyaknya seseorang memberi hadiah, melimpahnya harta benda dan jabatan, semua itu akan bernilai, kalau hubungannya baik kepada Allah Swt. Segala sesuatu harus dikaitkan, itulah adab kepada Allah, baru bernilai baik. Itulah adab dan akhlaq.
Jadi, revolusi akhlaq dengan revolusi mental tidak sama. Bahkan bertolak belakang.
Revolusi Mental adalah upgrade kejiwaan. Bisa jadi kumpulan orang – orang stres. Bisa jadi post power Syndrome (takut kehilangan jabatan).
Dan, “Hanya sanya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” (al Hadis). Bukan sempurnakan moral, bukan sempurnakan mental. Bukan revolusi mental.
Yang haq adalah “revolusi akhlaq”…..
Mari kita bergabung ambil bagian.