Jakarta, hajinews.id,- Ketua Komisi Dakwah MUI KH
Cholil Nafis menyatakan tak setuju dengan usul Presiden Joko Widodo yang
mengganti istilah radikalisme menjadi manipulator agama. Cholil menilai kedua
istilah tersebut sebagai dua hal yang berbeda.
Menurut Nafis, manipulator itu orang yang tahu
kebenaran kemudian dia memanipulasi, membohongi. Sementara radikalisme itu
paham yang mendalam tentang sesuatu dan paham itu jadi ekstrem.
Dia berpendapat orang dengan paham radikal tak bisa digeneralisir sebagai manipulator agama. Sebab, para pelaku teror pun ada yang dalam kondisi tidak paham atau tidak tahu agama.
“Orang yang jadi teroris itu bukan manipulator tapi dia tertipu. Manten-manten itu orang yang tidak paham lalu diberi agama oleh seseorang yang kemungkinan memang dia tidak tahu agama,” ujarnya.
Soal radikalisme kerap dikaitkan dengan kelompok yang mengusung ideologi khilafah. Cholil mengatakan khilafah bukanlah sistem pemerintahan yang paling Islami. Dia mengatakan Islam tidak mengharuskan sistem pemerintahan suatu negara menggunakan khilafah. Dia mengatakan Islam hanya mewajibkan negara memastikan tegaknya keadilan, ketenteraman sosial, dan kebebasan beragama (fur/dtk).