Neno Warisman: Apa yang Menjadi Milik-Nya, Berhak Diambil Kembali Pemilik-Nya

Rumah Neno Warisman di kawasan Ulujami yang tenggelam diterjang banjir awal 2020. (Ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Setelah 3 bulan sejak September pernikahan putri saya Maghfira, saya dan sekandung 6 keluarga belum pernah berkumpul lagi maka kami sepakat mengambil kesempatan menginap di rumah saya di Ulujami, Jakarta Selatan.

Tanggal 31 Desember sore kami berdatangan. Tidak henti bersyukur karena cuaca terang.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di rumah yang 33 tahun lalu saya bangun saat orang tua masih ada, baru saja saya lakukan renovasi menyeluruh dan sedang membangun musala kecil.

Ulujami pernah mengalami banjir besar tapi tidak pernah banjir atau masuk air lagi, apalagi sampai setinggi kali ini, walau tepat di samping rumah ada rawa milik BUMN lumayan besar.

Pukul 01.00 malam kami istirahat dan beberapa orang masih ngobrol sampai pukul 3 pagi. Kangen saudara, kata mereka. Dari merekalah saya tahu air mulai masuk tergenang di rumput halaman.

Pukul 04.00 pagi semua terbangun dan bergerak karena rumah yang posisinya sudah tinggi sudah mulai tergenang. Hanya 1 jam.

Pukul 05.30 barang-barang naik ke atas . Posisi air di halaman sudah hampir mencapai pintu gebyok.

Barang-barang yang bisa ditumpangi di meja-meja yang lebih tinggi saya lihat seperti sedang menunggu. Entah apa tapi saya katakan pada diri saya, kalau air meleburkan mereka, asal kan sudah usaha.

Pukul 06.00 saya sudah memiliki perasaan harus menyukupkan usaha menyelamatkan barang-barang, utamanya menutup semua setop kontak.

Pukul 06.30 perasaan saya mengatakan ini harus disudahi. Lalu saya mulai meminta setiap orang mengambil barang terpenting yang akan dibawa keluar. Saya katakan jangan ada yang menyayangi barang-barang apapun karena saya pemilik rumah telah merelakan semua.

Yang penting, semua menyelamatkan diri. “Keluar semua, keluar dari sini,” teriak saya kepada sekitar 20-an anggota keluarga besar termasuk ada anak kecil putra Khadimah. Air di halaman sudah sebetis.

Air masih bisa dibendung oleh pagar yang baru saja saya beton kembali sekitar sebulanan lalu itu. Dan sekitar pukul 07.00 pagi evakuasi bertahap mulai dilakukan. Memanjat pagar dan menembus air sebatas pinggang orang dewasa.

Untuk mencapai daratan yang lebih tinggi harus jalan sekitar 100 meter setelah melompati pagar rumah yang masih membatasi air di luar yang lebih tinggi.

Di bawah hujan semua kuyup menerjang air yang sudah lewat sepinggang.

Sekitar pukul 8.00 semua sudah berhasil keluar di tengah hujan yang terus mengguyur . Berhenti menunggu mobil yang sudah diselamatkan lebih dulu oleh kakak sulung saya yang sangat sigap yang terus menerus bekerja karena dia berpengalaman dengan banjir selama beberapa tahun dulu.

Sejak 5 tahun ini tidak pernah ada air masuk lagi. Itu sebabnya saya renovasi dan saya tanam tanami dengan berbagai bunga dan pohon yang menambah keasrian dan harmonis dengan gebyok-gebyok ukiran yang sudah berumur ratusan tahun.

Deras hujan masih. Para tetangga yang sudah membangun lantai tingkat dua atau tiga masih memilih tetap di rumah mereka. Kami semua kuyup dan kedinginan. Ada sisa korma kami bagi bagi.

Tinggal 2 orang yang belum sampai, termasuk kakak sulung saya yang menjadi mandor renovasi rumah selama ini.

Benar saja!
Seseorang berlari dari hujan dan dengan takut mengatakan bahwa pagar beton jebol dan air menerjang kaca-kaca gebyok yang selama 33 tahun ini tangguh. Sekitar pukul 08.30 itu.

Pakde di dalam rumah!! Putri kakak saya langsung menangis dan mau menghambur menyusul kembali ke rumah. Air sudah bertambah tingginya.

Alhamdulillah putra sulung saya, Giffari, yang sangat kuat fisiknya menjadi pahlawan pertama. Saya haru melihat putra saya tanpa diminta siapapun menerjang air menuju ke rumah kembali.

Saya pandang bahunya.
Saya berbisik kepada Allah,”Yaa Allah… anakku pahlawan dia. Dia berani menempuh bahaya untuk selamatkan nyawa orang lain. Selamatkanlah dia. Kembalikan dengan selamat namun Jika sampai terenggut nyawanya karena ini, jadikan putra saya pangeran surga ya Allah! Jerit hati saya.

Khawatir tapi percaya dan berdoa terus sepanjang menunggu mereka. Ya, kita tidak pernah bisa memprediksi apapun.

Dalam waktu hampir bersamaan putra kakak saya berhambur kembali menerjang air yang sudah melewati pinggang. Saya pun berdoa dan berdoa.

Kami semua tegang. Saya mengajak semua berdoa. Dalam basah kuyup dan air mata semua berdoa.

Sekitar 1 jam terasa sangat lama.. kemudian kami lihat dari kejauhan dua orang yang dipapah dengan susah payah. Tangis anak perempuan kakak saya pecah melihat ayahnya yang sudah berusia lebih dari 60 tahun itu.

Putra saya memapah Pakdenya yang sudah sangat payah dan anaknya juga sama, terluka.

Pertolongan oksigen yang kebetulan dibawa oleh kakak saya yang sering sesak diberikan. Kaki sobek dan kondisi nyaris pingsan . Kakak saya tergulung terjangan air dan tersangkut di antara sofa dan apalagi entah karena terjangan air dari tanggul yang sempat dibuat Ahok dulu tapi ditinggalkan.

Sempat saya sampaikan ke gubernur sekarang, di hari pernikahan putri saya September lalu, “Mas Anies, tanggul panjang Kali Pesanggarahan dari arah pemakaman Tanah Kusir sudah tinggal 1 kilometer lagi selesai. Kalau diteruskan dapat menolong banjir di wilayah sepanjang kali.”

Tapi belum sempat saya sampaikan data-data tanggul yang mangkrak ini kepada beliau. Dan sekarang terjadi air melampaui tanggul.

Pukul 09.30-an pagi kakak dibawa oleh adik bungsu saya untuk mendapat pertolongan dan Alhamdulillah tertolong.

Sekitar pukul 12.30 saya tiba di rumah anak-anak di Depok , di Tugu Asri. Bertetangga dengan bang Valentino dinsi.

Ada kiriman gambar dan video yang kemudian saya kirim kepada beberapa kawan termasuk Uda Yan Harlan. Gambar itu di-posting di Saling Sapa. Afwan.

Pagi ini putri saya bilang semua bendungan sudah siaga satu. Walau kita di Depok tinggi tapi kita tetap harus waspada. Dan dia serta kakaknya (Putri saya yang baru menikah) menanyakan pada saya, ingin membantu orang orang rescue yang bekerja seperti kawan saya Kang Adhe dari tim Dompet Duafa.

Kang Ahde kemarin sempat saya minta bantuan mengevakuasi kami tapi saya batalkan karena saya dan keluarga sudah bisa melakukan sendiri. Agar tenaganya dapat diberikan bagi orang lain yang lebih kesulitan.

Alhamdulillah
Rumah besar dengan tamannya yang penuh bunga sangat indah itu sekarang sudah tenggelam. Tapi ada sedikit lagi yang perlu diceritakan.

Kemarin, lepas dzuhur, putra saya Mas Giffari sang pahlawan saya, memeluk saya dan menahan tangisnya.

Kenapa, nak sayang? Tanya saya.
“Kasihan bunda… sudah bekerja sangat keras untuk orang lain. Untuk masyarakat. Dan bunda cuma punya rumah itu satu-satunya. Bunda membuat rumah itu menjadi sangat nyaman sangat indah buat semua orang . Sekarang tenggelam. Kenapa bukan mereka yang jahat itu saja,” tuturnya sembari memperat pelukannya pada ibunya.

“Semua milik Allah, bukan? Bunda tidak berat. Semua dan kita juga akan kembali pada Allah. Kita gak punya apa apa. Sedang mereka yang jahat memang dibiarkan Allah. Istidraj, nak. Diulur waktu sampai tiba nanti Allah akan mengazab mereka dengan sangat pedih,” jelas saya meneguhkan keimanannya.

Saya balas pelukan sang pahlawan muda yang tegap (hasil gym yang kuat ) dan mengatakan padanya bahwa ini menjadi peringatan bagi semua, untuk lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Lebih khusyuk dan tepat waktu salat. Sedangkan benda-benda, pada hakikatnya hanya dua saja: hilang atau rusak. Itulah dunia, kata saya.

“Bundamu tegar sekali,” komentar kakak saya yang mengulas kejadian setelah sore ketamuan dari Bogor. “Ketenangannya malah bikin saya tambah sedih,” tambahnya.

Saya katakan,”Kita masih diizinkan tetap hidup sekarang adalah anugrah terbesar. Pakde masih tertolong. Coba kalau Pakde wafat tergulung arus. Jadi yang dari Allah semua baik. Yang membuat kerusakan adalah manusia. Terutama para pemimpin yang zalim.

Saya juga sempat berdoa untuk penduduk Kampung Bayam dan kampung-kampung miskin lainnya yang pasti mengalami hal yang lebih berat dari apa yang saya alami. Sungguh mereka yang hidup berhimpit selama ini adalah yang paling berhak kita kasihi.

Juga saya lihat di medsos. Hotel Sultan tergenang lobby-nya, pool taksi tenggelam mobil-mobil mengambang dan ribuan berita lain.

Sekitar pukul 11.00 saya mendapatkan foto dan video dari TKP, rumah cantik di Ulujami itu tetap tegar berdiri di sana dengan kain terpal biru seperti mengucapkan selamat tinggal pada saya.

Saya sempat agak kesal ketika para ahli bangunan yang sedang menurunkan genting , menggantikan dengan terpal warna biru yang dalam pandangan mata saya kemarin, membuat cantik rumah itu terganggu. Tapi karena sedang diganti gentingnya, saya mengalah.

Rupanya warna terpal biru itu menjadi penanda saat fotonya diambil. Seolah ada yang ingin disampaikan sebelum akhirnya kini tenggelam.

Foto dan video yang diambil jam 11.30 tanggal 1 januari 2020 itu saya ambil sebagai pelajaran . Inilah peringatan bagi saya dan keluarga, untuk lebih lagi meyakini bahwa semua milik Allah.

Apa yang menjadi milik-NYA berhak diambil kembali oleh yang memilikinya. Kita pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa.Semua ini bahkan nyawa ini hanyalah milik-NYA semata. Kita bersiap menunggu panggilan-NYA sambil terus bekerja berusaha berjuang menegakkan kalimat suci-NYA, membela umat Muhammad, sampai akhir usia Allah memanggil.
“Yaa Ayatuhannafsul Muthmainnah,….”

Semoga kami dan kita semua yang membaca ini termasuk di dalamnya.
Aamiin yaa Allah…

Menjadi kaum orang-orang yang mendapat keridhoan Allah.
Aamiin.

Allahummasholli ala Muhammad
Wa ala ali Muhammad!

*Catatan kecil dari rumah kami di Ulujami.

(Kisah Mbak Neno Warisman yang rumahnya tenggelam diterjang banjir)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *