Dewan Pengawas: Revisi UU KPK Bertujuan Melemahkan

Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris (Foto: Tribunnews)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsuddin Haris menyatakan bahwa UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK yang merevisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK memang bertujuan untuk melemahkan lembaga penegak hukum tersebut.

“Memang tujuannya melemahkan, saya hadir di situ (sebagai Dewan Pengawas) dengan niat seperti juga anggota Dewas lain karena punya komitmen yang sama yaitu menahan laju pelemahan KPK,” kata Syamsuddin dalam peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Kamis (23/1/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Revisi UU KPK itu cenderung melemahkan KPK, oleh karena itu publik harus mengawasi, jangan sampai pelemahan itu berujung pada hilangnya kemampuan KPK dalam memberantas korupsi. Dalam hal ini kami Dewas ya berupaya KPK itu bukan diperlemah tapi justru diperkuat,” ungkap Syamsuddin.

Bagaimana cara Dewas mencegah pelemahan KPK tersebut? Menurut Syamsuddin caranya dengan mengerjakan tugas Dewas seperti dalam UU No. 19 tahun.

Tugas pertama adalah melakukan pengawasan terhadap tugas dan kewenangan KPK; kedua, memberi izin atau tidak memberi izin untuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan; ketiga menyusun kode etik bagi pimpinan dan pegawai KPK; keempat menerima pengaduan publik mengenai kode etik; kelima, menegakkan kode etik dan keenam mengevaluasi pimpinan dan pegawai KPK.

“Nah melalui kewenangan dan tugas yang dimiliki Dewas itu kami berusaha menahan laju pelemahan KPK, menahan laju pelemahan KPK yang diupayakan oleh partai-partai politik sebagaimana yang sudah kita ketahui selama ini,” ucap Syamsuddin menegaskan.

Syamsuddin menuturkan, meski Dewas memperpanjang birokrasi penindakan KPK, tapi menurut Syamsuddin dibalik tujuan pembentukan Dewas adalah untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja penindakan KPK.

“Supaya apa? Supaya jangan asal geledah, supaya jangan asal sadap, supaya jangan asal sita sebab selama ini juga banyak keluhan publik terhadap hal itu. Jadi Dewas itu mengawal kinerja KPK supaya lebih profesional, supaya lebih akuntabel, dan yang paling penting tentu saja sesuai dengan hukum,” ujar Syamsuddin menjelaskan.

Selanjutnya Dewas, kata Syamsuddin masih merampungkan kode etik pimpinan.

“Mengenai kode etik kita sedang memfinalkan karena memang belum selesai tapi masih ada kode etik yang lama, selama kode etik yang ditugaskan UU belum selesai disusun tentu kita menggunakan yang lama,” ungkapnya.

Saat ini, sambung dia, pihaknya menyusun SOP (standard operating procedure) yang sifatnya pengawasan berkala selama 3 bulanan. Jadi, ada mekanisme pengawasan berkala beserta evaluasi kinerja secara berkala yang disepakati antara Dewas dengan pimpinan KPK secara 3 bulanan.

Sebelumnya, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai UU No.19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan DPR beberapa waktu lalu merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia.

“Kami melihat bahwa satu moment yang kemudian menjadi krusial bagi tahun 2019, ini adalah moment pelemahan KPK,” kata Direktur Centre for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam acara dikusi di Jakarta, Sabtu (21/12/2020).

Wijayanto menyebut, UU hasil revisi UU KPK nomor 30 tahun 2002 tersebut membuat KPK kini kehilangan fungsi kerjanya. Ditambah lagi beberapa prosedur seperti penyadapan harus seizin Dewan Pengawas.

Serupa dengan LP3ES, Indonesia Corruption Watch ( ICW) menilai klaim Presiden Joko Widodo yang ingin memperkuat KPK lewat revisi Undang-Undang KPK hanya delusi. “Narasi untuk memperkuat dengan revisi UU KPK itu adalah sesuatu yang delusi, tidak benar,” kata peneliti ICW Donal Fariz saat dihubungi, Sabtu (14/9/2019).

Donal menilai, sikap Presiden Jokowi atas revisi Undang-Undang KPK sebenarnya tak berbeda jauh dari draf yang disusun DPR. Ia menyimpulkan Presiden dan DPR sama-sama ingin merevisi UU untuk melemahkan KPK. “Kalau DPR itu drafnya sangat melemahkan, presiden kadarnya lebih kecil dari DPR. Itu saja. Poinnya tetap bertemu untuk memperlemah,” tegas Donal.

Misalnya, soal keberadaan Dewas KPK. Presiden dan DPR sama-sama setuju KPK harus diawasi dewan pengawas. Namun, Jokowi ingin anggota Dewas KPK dipilih langsung oleh presiden, sementara DPR juga ingin terlibat dalam pemilihannya.

“Dewan pengawas yang diusulkan DPR dan presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis izin penyadapan KPK,” kata Donal.

Konsekuensinya, kata dia, penyadapan oleh KPK akan menjadi lambat. KPK bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap. Penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika dewan pengawas tidak memberikan izin. “Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis,” tegasnya. (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar