SBY Berkibar, Prabowo Nyungsep

Prabowo Subianto saat bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Suara Foto)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



(Catatan pinggir di awal tahun)

Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Institute.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SBY rebound! SBY come back! Benarkah?

Belakangan ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menjadi pusat berita sejak dua tulisannya menghiasi publik. Tulisan pertama adalah refleksi akhir tahun lalu, 2019. Tulisan refleksi itu mengkritik Presiden Jokowi tentang perekonomian nasional yang buruk, seperti jumlah pengangguran total –terbuka dan tertutup– sangat besar, serta penerimaan pajak yang hancur.

Tulisan pertama itu juga menceritakan situasi dunia yang tidak menentu, baik kegelisahan sosial politik di hampir 35 negara, bangkitnya populisme dan nasionalisme sempit serta berbagai ketegangan baru di dunia.

Selanjutnya kemarin, dua hari lalu, SBY melontarkan kritik langsung ke jantung Jokowi. SBY mempertanyakan apakah Jokowi menggunakan uang rampok Rp 13 triliun kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya untuk kemenangan pilpres 2019? Ini adalah keberanian luar biasa dari seorang “public figure”, yang beda tipis dengan keberanian Rizal Ramli, misalnya, dengan isu serupa.

Sikap kritis SBY ini dapat diduga dengan bermacam alasan. Ada yang mengkaitkan bahwa SBY tidak berhasil menempatkan anaknya di kabinet Jokowi, namun ada pendapat lain bahwa memang SBY kembali pada jati diri keunggulannya.

Pendapat yang mengaitkan SBY dengan kegemilangannya di masa lalu memang melihat SBY sebagai tentara unggul dalam percaturan tentara dan politik di Indonesia. Sebagai militer, di masa lalu, Orba, SBY menjadi bintang selama 10 tahun terakhir tanpa mempunyai hubungan kedekatan ke Soeharto. Bahkan, SBY menjadi tentara Indonesia yang mempunyai hubungan ke berbagai tentara internasional, karena kemampuannya dalam berbagai penugasan PBB.

Jati diri SBY pasca-meninggalnya istri beliau, yang diketahui mempunyai kemampuan dominasi terhadap SBY, bisa jadi merupakan situasi baru yang mengantarkan SBY sebagai sosok yang malah lebih murni dan baru.

Jika SBY mampu mempertahankan sikap kritisnya terhadap rezim Jokowi, yang menurut sampul Tempo terbaru terkait Jokowi, “100 hari defisit harapan” dan cover sebelumnya “pinokio”, maka rakyat akan mempersepsi SBY jauh lebih baik dari Jokowi dalam mengelola negara.

Bagimana Prabowo?

Setelah Prabowo mengkhianati para pendukungnya, khususnya umat Islam, dan masuk menjadi menteri Jokowi, rakyat menunggu langkah “second best” Prabowo. Langkah “second best” adalah langkah ketika Prabowo tidak menjadi presiden namun menjadi menteri dan penguasa Gerindra. Apakah dengan kewenangan itu Prabowo konsisten dengan jejak digital ucapan ucapannya selama ini?

Pertanyaan konsistensi ini penting untuk membuat orang-orang yang dulu mendukung Prabowo benar-benar merasa tidak menyesal pernah mendukung dia atau memaafkan Prabowo yang lari meninggalkan gelanggang.

Apa ucapan Prabowo dulu?

1) Kebocoran Uang Negara. Hal ini selalu menjadi “trade mark” Prabowo. “Bocor, bocor dan bocor” adalah kata-kata Prabowo dalam mengejek Jokowi atau situasi negara yang lemah dalam mengontrol kekayaannya. Dalam bukunya yang paling dia banggakan, “Paradoks Indonesia”, Prabowo menggambarkan kejijikannya dengan ribuan triliun rupiah uang negara dikorupsi, baik langsung, maupun “by legal”.

Lalu bagaimana respons Prabowo yang mengontrol sebuah partai yang besar karena didukung umat Islam itu? Ternyata sampai saat ini tidak satu kata pun dari Prabowo mengintruksikan partainya dan DPR-RI menyelidiki perampokan harta negara di Jiwasraya, dan lain-lain.

Kelihatannya Prabowo juga seperti menjadi manusia baru, yang sudah tidak perduli lagi dengan perampokan harta-harta negara.

2) Kedaulatan Natuna. Dalam hal gangguan kedaulatan Indonesia dari RRC dalam kedaulatan di Natuna, Prabowo juga santai-santai saja. Padahal dia sebagai menteri pertahanan dan mengontrol menteri kelautan serta pimpinan parpol, dapat mengeluarkan ultimatum untuk mengutuk RRC atas aksinya di Natuna.

3) Soal Uighur. Prabowo juga tidak punya perhatian soal solidaritas kesedihan umat Islam pendukungnya selama ini terhadap pembantaian bangsa Uighur. Umat Islam yang membantu perolehan suara Gerindra atas nama jihad bersama ketika masih sejalan beroposisi, adalah umat yang merasa pembantaian bangsa Uighur itu adalah masalah kemanusian dan keumatan sehingga mereka berharap Prabowo dan partainya melakukan upaya agar China menghormati agama orang-orang Uighur.

Dari tiga hal ini saja, terlihat bahwa konsistensi Prabowo ketika dahulu didukung umat Islam berbeda dengan Prabowo yang sekarang menjadi menterinya Jokowi.

Hal ini akan bersifat segera membuat dukungan dan perasaan umat Islam terhadap Prabowo menghilang sempurna.

Poros SBY, Mungkinkah?

Ketidakkonsistenan Prabowo dalam kehidupan dan kejuangannya belakangan ini akan menghilangkan kebesaran nama Prabowo. Sebaliknya, SBY akan muncul sebagai figur “Old Soldier Never Die” menggantikan Prabowo di mata rakyat.

Dalam situasi seperti ini, SBY harus konsisten membangun poros politiknya. SBY tidak boleh terkesan pragmatis. Melainkan, dia harus menjadi sosok baru yang ikut menghantarkan kebangkitan kembali kejayaan bangsa kita ke depan.

Jika rumors mengatakan bahwa Prabowo akan berpasangan dengan Puan Maharani sebagai capres/cawapres 2024, SBY sebaliknya harus fokus pada agenda kebangsaan dan kerakyatan saja. Itulah “poros SBY”, sebuah poros yang harus dikembangkan untuk menciptakan politik baru di Indonesia, yakni, politik agenda bukan figur. SBY harus mampu menggalang kekuatan yang menghalau penghamba dan pengemis-pengemis jabatan atau kekuasaan masuk dalam barisan perjuangannya.

Penutup

Tulisan ini masih merupakan respons awal yang melihat SBY dan beberapa anak buahnya, Andi Arief dan Rachland Nashidik, yang coba kembali masuk dalam dominasi politik waras. Yakni politik mengurus bangsa.

SBY mempunyai peluang besar untuk “rebound” dengan berbagai upaya keras meyakinkan rakyat bahwa langkah kritisnya bukanlah sekadar pragmatisme belaka.

Sejarah SBY yang tidak pernah memusuhi atau meninggalkan umat Islam (baca: 212) memungkinkan SBY akan kembali populer sebagai tokoh bangsa.

Ketika Prabowo nyungsep dalam genggaman Jokowi, rakyat berharap ada penggantinya. “Old Soldier Never Die”. Mungkinkah SBY muncul kembali? Wallahu a’lam (*)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *