Utang Luar Negeri BUMN Melonjak 16% Setahun

Ilustrasi utang luar negeri Indonesia. (Shutterstock)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Bank Indonesia merilis Utang Luar Negeri (ULN) BUMN pada akhir tahun 2019 naik 16,1% (yoy) dibanding posisi akhir tahun 2018. Dari sisi jumlah, porsi utang BUMN mencapai 26,2% dari total utang swasta. Jumlah tersebut meningkat dibanding posisinya pada Desember 2018 yang hanya 24,1%.

Peningkatan utang luar negeri BUMN ini disebabkan oleh meningkatnya utang luar negeri BUMN non-lembaga keuangan yang mencapai 19,6% (yoy).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Total utang BUMN Indonesia per akhir Desember 2019 mencapai US$ 52,8 miliar atau setara dengan Rp 739,2 triliun (kurs Rp 14.000/US$). Sementara posisi utang BUMN tahun 2018 sebesar US$ 45,5 miliar. Artinya, utang BUMN naik dobel digit secara tahunan dalam satuan persen.

Kenaikan utang luar negeri BUMN tersebut jauh lebih tinggi dari kenaikan utang luar negeri swasta Indonesia sebesar 6,5%.

Kenaikan utang luar negeri BUMN RI paling tinggi disumbang oleh perusahaan non lembaga keuangan yang mencatatkan utang sebesar US$ 41,5 miliar dari sebelumnya di tahun 2018 yang hanya US$ 34,7 miliar. Artinya dalam satu tahun utang BUMN ini naik 19,6% (yoy).

Untuk utang luar negeri lembaga keuangan BUMN yang mengalami kenaikan adalah lembaga perbankan. BUMN Bank mencatatkan total utang luar negeri per Desember 2019 mencapai US$ 7,55 miliar, naik US$ 625 juta dibanding tahun sebelumnya atau bertambah 9%(yoy).

Sementara itu utang luar negeri untuk lembaga keuangan bukan bank (LKBB) milik BUMN justru malah mengalami penurunan. Posisi utang luar negeri LKBB BUMN per Desember 2019 mencapai US$ 3,75 miliar. Padahal pada Desember 2018 nilai utangnya mencapai US$ 3,86 miliar. Artinya, utang luar negeri berkurang US$ 116 juta atau 3% (yoy).

Ada beberapa faktor yang membuat utang luar negeri BUMN membengkak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Pertama adalah proyek-proyek pemerintah terutama pembangunan infrastruktur yang diperuntukkan untuk BUMN sehingga perusahaan-perusahaan pelat merah membutuhkan pendanaan untuk menggarap proyek tersebut.

Untuk persoalan kenapa lebih memilih berhutang keluar ketimbang di dalam negeri karena setidaknya ada dua hal. Pertama adalah tingkat suku bunga luar negeri yang masih lebih rendah di banding suku bunga domestik dan kapasitas perbankan domestik yang mengalami likuiditas ketat seperti pada 2019.

Ketatnya likuiditas perbankan ini tercermin dari penyaluran kredit yang ekspansif sementara penerimaan dari dana pihak ketiga (DPK) yang pertumbuhannya tak bisa menyamai pertumbuhan kredit.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan DPK di angka 7% di akhir tahun 2019 sementara kredit tumbuh di atas 10%. Ketatnya likuiditas juga masih akan terasa di 2020.

LPS memperkirakan di tahun 2020 DPK perbankan diproyeksikan tumbuh 8,4% padahal kredit diramal tumbuh 12,1%. Itulah faktor yang membuat BUMN meminjam keluar.

Apakah pertumbuhan utang luar negeri ini berbahaya? Jawabannya tergantung. Bisa menjadi berbahaya jika pertumbuhannya signifikan tetapi tidak diimbangi dengan pendapatan BUMN yang mencukupi.

Dalam hal ini BUMN harus terus mencermati rasio keuangannya terutama rasio profitabilitas seperti rasio balik modal (ROE), rasio solvabilitas seperti rasio utang terhadap permodalan (DER) dan interest coverage rasio (ICR).

Selain itu dalam mencari pendanaan BUMN juga harus mulai mencari alternatif pendaan alternatif selain instrumen utang yang lebih kreatif, sehingga diharapkan tak terlalu menekan kinerja keuangan perseroan karena harus terbebani dengan utang dan bunganya. (rah/cnbcindonesia)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *