Perempuan, Mahluk Paling Antiintelektualisme

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Muhammad Khasbi Minannurrohman

 

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SEBUAH esai berjudul Bahaya Laten Anti Intelektualisme (Joko Priyono: 2019) telah berhasil mencerahkan saya kala dibuat gelisah oleh keadaan. Antiintelektualisme di sini berarti menolak segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan dunia intelektual; yang kritis dan analitis.

Sayangnya, dalam essai tersebut belum menyentuh sisi gender, dalam arti kontruksi budaya antara laki-laki dan perempuan. Melihat dimensi yang belum tersentuh tersebut, saya melihat perlunya menambahkan pembahasan antiintelektualisme perempuan sebagai pelengkap pembahasan.

Asumsi dasarnya adalah terkait stigma bahwa perempuan adalah mahluk irasional. Mahluk irasional ini adalah sebuah kondisi di mana perempuan menjadi produksi iklim antiintelektualisme dan ketidakrasionalitasan. Inilah yang menjadi dasar untuk menganalisis secara kritis posisi perempuan dan antiintelektualismenya.

Lalu benarkah demikian? Perempuan dan ketidakrasionalitasan adalah keniscayaan. Mengakui perempuan sebagai mahluk yang tidak rasional memang sebuah kewajiban, namun menjadi penting dan perlu ditegaskan di sini bahwa tidak semua perempuan itu irasional.

Perempuan justru mahluk yang sangat rasional. Terbukti dengan selektifnya perempuan dalam memilih pasangan hidupnya. Perempuan akan memilih laki-laki yang mapan, ganteng dan cerdas. Tentu ini salah satu bukti kerasionalitasan perempuan.

Sekarang mari kita belajar memahami apa itu anti intelektualisme. Mengutip essai Antiintelektualisme (Rinto Pangaribuan: 2016), contoh kasus antiintelektualisme bisa kita lihat dari benturan antara agama dan penemuan ilmiah.

Pada tahun 1973, The American Psychiatric Association (APA) mengeluarkan pernyataan bahwa LGBT bukanlah penyakit. Hal senada juga diikuti oleh The American Pscychological Assosiation (APA) pada tahun 1975. Keputusan ini juga diikuti oleh WHO pada 17 Mei 1990. Kemudian, 24 September 2014, Komisi HAM PBB menyatakan dukungan dan pengakuan terhadap LGBT. Dua organisasi pertama adalah sebuah lembaga riset. Artinya ada penelitian yang ilmiah di balik pernyataan mereka.

Sontak saja temuan ini menghasilkan dua respon yang berbeda. Kaum LGBT menyambut baik keputusan ini. Mereka yang selama ini diperlakukan diskriminatif, akhirnya punya legitimasi untuk mempertahankan haknya. Apalagi karena dasar pertimbangan ilmiah di atas, beberapa negara di dunia akhirnya melegalkan pernikahan sejenis.

Tapi di sisi lain, kecaman dan penolakan keras datang dari mereka yang anti pada LGBT. Mereka biasanya datang dari kelompok agamawan (walau ada juga yang bukan). Fitrah manusia digunakan sebagai alasan utama. Tuhan, kata mereka, tidak pernah menciptakan orientasi seksual yang lain selain hetero. Oleh karena itu LGBT harus dikutuk karena melawan ajaran agama.

Contoh pertama ini menunjukkan kepada kita ciri antiintelektualisme. Penemuan ilmiah justru diresponi dengan dogma agama. Di hadapan agama, penemuan ilmiah yang demikian adalah hampa dan bahkan berbahaya.

Alih-alih menjawab secara ilmiah, argumentasi penolakan LGBT justru dihadapkan dengan keyakinan agama. Sementara, khususnya dalam konteks Indonesia, agama memiliki otoritasnya sendiri. Agama tidak bisa bertarung “head to head” dengan sains seperti yang lazim di Eropa.

Sekarang mari kita memahami kondisi terkini bagaimana perempuan menjadi sangat antiintelektualisme kendatipun mereka rasional.

Dengan memahami antiintelektualisme seperti contoh di atas, kita akan menemukan beberapa kelompok dan komunitas perempuan di Indonesia yang terjebak di dalam anti intelektualisme.

Adalah mereka yang menggunakan niqab dan penutup kepala sebagai seolah-olah kewajiban syar’i. Kondisi ini ditimbulkan karena para anggota komunitas perempuan pecinta niqab ini menjadikan dogma atau dalil agama sebagai dasar untuk melakukan pergerakannya. Padahal penelitian ilmiah mengatakan hal sebaliknya, bahwa niqab misalnya, hanyalah produk budaya Arab.

Tapi apakah para anggota komunitas ini kemudian percaya? Tidak, sama sekali. Mereka justru membuat gerakan besar-besaran dengan menolak ide dasar dari penelitian ilmiah tersebut, yaitu feminisme. Mereka kemudian menjadi manusia yang sangat antiintelektualisme.

Sementara jika melihat essai Membawa Tubuh Perempuan ke Pasar Tuhan (Ruth Indiah Rahayu: 2019) diketengahkan terkait persoalan hubungan anti ntelektualisme dengan keterjebakan pada dunia neoliberalisme.

Perempuan menjadi sasaran empuk bagi arus neoliberalisme yang sangat halus itu. Dalam essainya ia menuliskan, Religiusitas Perempuan kelas menengah–dengan penanda jilbab/niqab/burqa–dijadikan role model bagi perempuan kelas pekerja, dan alhasil perempuan kelas pekerja dengan sukarela merujuk pada mereka yang dianggapnya sebagai barometer religiusitas.

Ia kemudian menambahkan bahwa kesalahan perempuan melekat pada busananya, kepatuhan dalam perkawinan dan pemroduksi anak.

Lalu bukan tidak mungkin jika perempuan selalu menjadi korban dalam hal ini karena antiintelektualismenya yang sangat over. Bahkan yang lebih tragis, posisi perempuan adalah sama dengan antiintelektualisme itu sendiri, sebab di zaman sekarang, tak banyak muncul para ilmuwan ataupun intelektual yang berjenis kelamin perempuan.

Bukankah terbukti di dalam sejarah filsafat, nama-nama yang senantiasa disebut adalah nama filsuf berjenis kelamin laki-laki? (*)

 

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *