Ta’lim K.H. Prof. Dr. Didin Hafidhuddin: Tafsir Surat Ash-Shaffat Ayat 113-117

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Disarikan oleh Bustanul Arifin

 

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Kita sudah memsuki hari ke-10 Bulan Ramadhan, terasa beitu cepat. Mudah-mudahan Allah SWT menerima amal-ibadah kita yang sudah kita lakukan, yang sedang kita lakukan dan yang akan kita lakukan.

Mudah-mudahan Allah SWT juga senantiasa memberikan kesehatan dan kekuatan, agar kita mampu menyelesaikan Ibadah Ramadhan ini dengan baik. Kita lanjutkan Tafsir Surat Ash-Shaffat Ayat 113-117.

Tarjamah-nya adalah sebagai berikut: “Dan Kami limpahkan keberkahan kepadanya (Nabi Ibrahim AS) dan kepada Ishak. Dan di antara keturunan keduanya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang terang-terangan berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Dan sungguh, Kami telah melimpahkan nikmat kepada Musa dan Harun. Dan Kami selamatkan keduanya dan kaum keduanya dari bencana (kebingungan) yang amat dahsyat, dan Kami tolong mereka, sehingga jadilah mereka orang-orang yang menang (mengalahkan musuh-musuhnya). Dan Kami berikan kepada keduanya Kitab (Taurat) yang sangat jelas (yang terang benderang, yang menjelaskan yang haq dan yang bathil), dan Kami tunjukkan keduanya jalan yang lurus”.

Ayat-ayat ini menjelaskan tentang kisah-kisah orang hebat, para nabi yang sangat konsisten dalam berdakwah, dalam menyebarkan aqidah islamiah, yang mendapat tantangan yang tidak ringan dari kaumnya, bahkan dicoba dibunuhnya.

Ingat bagaimana Nabi Musa AS dan para pengikutnya berada dalam suatu masa atau kehidupan dalam kebingungan yang dahsyat, ketika tiba di tepi Laut Merah, dikejar-kejar oleh Firaun dan tentaranya, tapi di depannya adalah Laut Merah yang amat luas. Kemudian Allah SWT memberikan pertolongan yang membuat Laut Merah terbelah menjadi daratan, sehingga dapat dilalui Nabi AS dan pengikutnya dan menenggelamkan Firaun dan tentaranya.

Demikian kita dalam berdakwah dan menyebarkan syiar islam, kita perlu konsisten, istiqamah dalam iman dan amal shalih, dalam berdakwah, seseai dengan bidangnya masing-masing, walau sebera pun berat cobaan dan tantangan, insya Allah pertolongan Allah SWT akan segera datang.

Tidak ada kebaikan kecuali menghadapi tantangan. Allah SWT akan menyelamatkan muslimin, mukhlisin dalam melakukan kebaikan, berbuat baik untuk orang banyak. Bulan Ramadhan melatih kita menjadi orang istiqamah, menjadi mukmin-muslim yang baik.

Kita dilatih menahan lapar dan haus di siang hari, mengerjakan shalat konsisten di awal waktu, mendidik anak dan keluarga untuk terus istiqamah beribadah, berbuat baik kepada sesame, berinfaq kepada yang berhak, dan lain-lain. Manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Dakwah dan syiar islam harus terus jalan, apa pun kondisinya. Ramadhan kali ini kita tidak bertemu muka secara langsung, tapi kita jalankan melalui media.

Media ini kita pergunakan untuk menyebarkan kebaikan dan kepentingan dakwah. Insya Allah ujungnya akan diselematkan oleh Allah SWT. Menghadapi Covid19 yang amat dahsyat ini, kita terus meningkatkan keimanan, berlatih untuk sabar, dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.

Misalnya, jika karena Covid19 ini sampai menyebabkan kematian, kita perlu menyikapinya dengan sabra, mealakukan ikhtiar dan tawakkal. Sabda Kematian mendadak yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, bagi muslim adalah rahmah atau keindahan, dan bagi orang kafir merupakan suatu adzab atau siksaan.

Ketika ada yang positif, kita dituntut untuk sabar, melakukan ikhtiar secara manusiawi, kemudian memasrahkan atau tawakkal semuanya kepada Allah SWT, insya Allah pertolongan Allah akan segera datang. Ingat ketika Rasulullah SAW pernah bersabda,

“Saya bangga terhadap kaum muslimin dan kaum mukminin, karena memiliki dua pakaian yang utama: sabar dan syukur.  Ketika mendapatkan ujian dan cobaan, senantiasa berasabar, dan ketika mendapat kenikmatan, senantiasa bersyukur”.

Pertama, sabar adalah pakaian yang utama. Pakaian rohani kaum muslimin. Ketika mendapat ujian dan tantangan besar dalam melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan, kaum muslim dituntut untuk sabar.

Kedua, dalah syukur. Ketika mendapatkan kenikmatan, harta yang berlimpah, kaum muslimin dituntut untuk senantiasa bersyukur. Kita memanfaatkan fasilitas yang diberikan Allah SWT, kita diberikan ilmu oleh Allah SWT, kemudian kita bersyukur dan memanfaatkan ilmu tersebut untuk kemaslahatan.

Harta yang diperoleh dengan cara yang benar dan dibelanjakan dengan cara yang benar, maka harta akan menolong kita dalam berhadapan kepada Allah SWT.  Pertanggung jawaban muslim di hadapan Allah SWT tentang harta setidaknya ada dua hal:

Bagaimana harta itu diperoleh dan bagaimana harta itu dimanfaatkan. Caranya benar, halal, yang sesuai dengan cara yang diridhai Allah SWT, dan dengan cara mualamat yang ditegaskan dalam syariat Islam, insya Allah harta itu akan menjadi penolong seoranh muslim, ketika berhadapan denan Allah SWT. Demikian juga kekuasaan.

Ketika kekuasaan dimanfaatkan untuk menolong orang, untuk berbuat baik, maka kekuasaan itu akan menjadi penolong bagi kaum muslimin kelak ketika berhadapan dengan Allah SWT.  Syukur bagi pemilik kekuasaan itu adalah memanfaatkan kekuasaan itu untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.

Pelajaran kedua dari ayat-ayat dalam Surat Ash-Shaffat yang kita baca tadi adalah tentang keturunan (dzurriyat) Nabi Ibrahim AS. Di antara keturunannya itu ada yang menjadi orang-orang hebat, tapi sebagian lain yang menjadi orang yang dzalim pada dirinya sendiri.

Ayat-ayat lain yang menjelaskan maksud frase di atas misalnya dapat dijumpai di dalam Alquran Surat Fathir Ayat 32.  “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang dzalim terhadap (atau menganiaya) diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”

Di sana terdapat kata “dzalimun linafsihi”. Dzalim pada dirinya sendiri, yang sama dengan ayat dalam Surat Ash-Shaffat tadi. Dari keturunan itu bermacam-macam perangainya.

Pertama, ada muslim yang mengaku sebagai orang beriman, yang tersinggung ketika agama islamnya diganggu, keimanannya diganggu. Tapi, mereka tidak melaksanakan hakikat keimanannya itu, tidak melaksanakan perintah Allah, tidak melaksanakan ibadah, tidak menjauhi larangan Allah dan lain-lain.

Pertanggung jawaban muslim di hadapan Allah adalah pertanggung jawaban individu, bersifat pribadi. Baik yang baik, maupun yang tidak baik. Di dalam bulan Ramadhan ini adalah kesempatan yang amat baik bagi kita yang mungkin terlanjur dzalim pada diri sendiri, banyak berbuat dosa dan kesalahan, untuk bertaubat dalam bulan Ramadhan.

Kesempatan dan peluang untuk bertaubat ada di dalam Bulan Ramadhan. Ada hadist Rasulullah SAW yang sering kita dengar pada bulan Ramadhan ini, “Barang siapa berpusa dalam bulan Ramadhan dan menghidupkan malam-lamanya dengan penuh keimanan dan berhadap ridha Allah, maka akan dihapuskan dosa-dosa yang diperbuat sebelumnya”.

Arti kata harfiah Ramadhan adalah dari ramadha-yarmadhu, maknanya membakar. Berpuasa Ramadhan ini maksudnya adalah membakar sifat-sifat buruk, sifat kikir, tidak peduli kaum dhuafa, dan lain-lain, seharusnya akan “terbakar” semua di dalam bulan Ramadhan.

Jika semua amalam seorang muslim diterima selama bulan Ramadhan, atau jika seorang benar-benar mendapatkan berkah dan pahala Ramadhan, maka ia akan dinaikkan derajatnya pada level kedua, yaitu “muqtashid”, atau kelompok pertengahan. Kelompok kedua ini lebih baik, lebih tinggi tingkatannya dari kelompok pertama yang dzalim pada diri sendiri.

Tapi, kelompok ini agak labil, masih setengah-setengah. Misalnya, ia melaksanakan salat, tapi tidak di awal waktu, walau pun ia tahu bahwa salat di awal waktu adalah yang terbaik. Jika shalat dzuhur, ia sering mengerjakannya setelah pk 13. Salat Ashar sering dikerjakan menjelang maghrib dan seterusnya.

Kalau beramal-amal, kelompok ini juga setengah-setengah. Berinfaq pun sering dilakukan ala kadarnya, sekadar berinfaq. Namun, sekali lagi, kelompok kedua ini masih lebih baik dari orang muslim yang termasuk kelompok kedua, dzalim pada diri sendiri. Kelompok ketiga adalah kelompok tertinggi “sabiqun bil khairat”, orang muslim yang responsif dan cepat menuju kebaikan.

Bulan Ramadhan adalah sarana untuk berlatih mencapai tingkatan muslim yang tertinggi ini. Jika mendengar adzan, ia langsung ambil pergi shalat, berjamaah. Jika bekerja di kantor, ia senantiasa disiplin, datang di pagi hari, melaksanakan tugas secara baik, dan berupaya menjadi yang terbaik.

Jika menjadi dosen, ia mengajar dengan baik, penuh dedikasi dan tanggung jawab. Dosen yang memperhatikan kondisi dan prestasi dari mahasiswanya, apalagi pada masa-masa sulit seperti ini. Jika menjadi peneliti, ia berusaha menghasilkan karya ilmiah yang terbaik, bukan sekadar menulis artikel di jurnal atau menghasilkan buku, tapi ala kadarnya.

Ia akan menghasilkan karya ilmiah yang bermanfaat untuk kemaslahatan ummat. Jika menjadi pedagang, ia jujur, berbuat maksimal, tidak pernah menipu dan berbuat zalim kepada pelanggannya. Jadi, pada kelompok ini, tingkatannya sudah amat tinggi sampai menjadi muhsinin (oran-orang ihsan) dan mukhlisin (orang-orang ikhlas).

Para sahabat Rasulullah SAW semuanya telah menapai derajat muhsinin dan mukhlisin ini. Muhsinin itu adalah orang-orang muslim yang senantiasa berbuat baik yang maksimal, walau tidak ada orang yang melihatnya. Beribadah kepada Allah seakan-akan mereka melihat Allah.

Mereka tahu bahwa Allah SWT akan senantiasa melihatnya. Mukhilisn itu adalah orang-orang muslim yang ikhlas, memiliki tanggung jawab pada profesinya, karena mereka yakin Allah SWT akan memberikan balasan, pahala, dan rezeki yang setimpal.

Mereka ihsan semua, mencapai tingkatan tertinggi. Jika muslim ihsan semua, berbuat baik yang maksimal, maka akan lahir kekuatan umat, akan lahir izzah umat, keyakinan dirinya.

Tapi, jika umat Islam ini malas, ibadahnya kurang, mualamat kurang, asal-asalan dalam mengerjakan sesuatu, maka tidak akan mendapatkan kekuatan atua izzah ummat. Kita ini diperintahkan mengerjakan sesuatu dengan ihsan.

Dalam Alquran Surat Al-Mulk dijelaskan bahwa “Allah yang menciptakan kematian, menciptakan kehidupan, agar Allah menguji kalian semua, siapa saja yang paling baik amalnya”.

Jika ia memiliki harta, apakah ia berbuat maksimal dengan hartanya. Jika ia berilmu, apakah maksimal dalam mengamalkan ilmunya. Jika ia berkuasa, apakah maksimal dalam memanfaatkan kekuasaannya untuk kebaikan.  Kita harus menjadi muslim yang maksimal, bukan minimal. Amal yang maksimal.

Bulan Ramadhan adalah bulan pendidikan, bulan keberkahan, yang akan mempengaruhi semangat dan etos kerja muslim dalam berbuat baik, memberikan infaq dan lain-lain.

Bulan Ramadhan seharusnya mampu menempa diri seorang muslim yang senantiasa berupaya meningkatkan derajatnya sedemikian rupa, setidaknya melewati tiga fase dalam kelompok di atas, dari “dzalimun linafsihi” (dzalim pada diri sendiri) menjadi “muqtashid” (pertengahan) sampai menjadi “sabiqun bil khairat” (responsif menuju kebaikan), dengan izin Allah SWT.

Semoga Allah menjadikan kita pada tingkatan muhsinini dan mukhlisin.  Puncaknya adalah muslim yang berpuasa Ramadhan akan mencapai derajat taqwa atau kelompok muttaqin, yang disebut mencapai kemenangan dan keberkahan.

Semoga kita semua diberikan kesehatan dan kekuatan untuk mampu menyelesaikan ibadah Ramadhan ini dengan baik, memberikan perlindungan dan keselamatan kepada kaum muslimin.

Subhanakallahumma wa bihamdika, astaghfiruka wa atubu ilaika.(*)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *