Diplomasi Tokoh Islam Dalam Rumusan Tauhid Pancasila

IRFAN S. AWWAS
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



DIPLOMASI TOKOH ISLAM DALAM RUMUSAN TAUHID PANCASILA

Oleh : IRFAN S. AWWAS

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pasca hilangnya “tujuh kata” dari sila pertama naskah Piagam Jakarta yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian digantikan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, banyak dari kalangan Muslim mengira sebagai sebuah kekalahan perjuangan Islam di Indonesia. Bahkan kalangan lain lagi menganggap hilangnya tujuh kata tersebut menjadi alasan untuk memvonis Indonesia sebagai negara kafir atau Hizbut Thaghut.

Namun, tidak demikian yang dipahami oleh seorang penulis Kristen bernama IJ Satyabudi. Dalam bukunya berjudul Kontroversi Nama Allah (1994), ia justru mengakui keunggulan diplomasi tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama pancasila tersebut.

Satyabudi menulis: “Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari bapak-bapak Kristen, karena kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu identik dengan ‘Ketuhanan Yang Satu’. Kata ‘maha esa’ itu memang harus berarti ‘Satu’!” Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun sila ini”.

Untuk memahami makna Ketuhanan Yang Maha Esa secara benar dan konstitusional, haruslah kita berpegang pada makna yang dipahami oleh para perumus Pancasila dan dasar negara RI.

Menurut hasil kesepakatan sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, perubahan pembukaan UUD 1945 alinea 4 dan pasal 29 ayat 1 “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Salah seorang anggota PPKI dan kemudian menjadi Wapres RI pertama, Mohammad Hatta, menyatakan dengan jelas tanpa ragu. “Bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Saya sendiri yang mengusulkan kalimat itu dijadikan sila pertama Pancasila, supaya Allah dan Nur-Nya menyinarkan Nur-Nya itu kepada sila-sila yang empat lainnya”.

Kasman Singodimejo, yang terlibat lobi politik atas permintaan Bung Karno mengganti kalimat Piagam Jakarta itu menjadi Ketuhanan YME meyakinkan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah, Allahu Ahad, Allahu Shamad….” (Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimejo 75 Tahun, Bulan Bintang, Jakarta 1982).

Belakangan, makna tauhid dalam sila pertama Pancasila itu juga ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Ahmad Siddiq.

“Kata Yang Maha Esa pada sila pertama Pancasila merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari piagam Jakarta. Sehingga rumusan Yang Maha Esa itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah.

Dalam bukunya ‘Demokrasi Pancasila’ Prof. Hazairin, SH, menulis: “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi sebagai pengakuan Kekuasaan Allah, Kedaulatan Allah.

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pengertian inilah yang membuat kader kader PKI dan kaum Pancasilais munafik marah. Karena itulah mereka berusaha keras membelokkan pengertian ini, termasuk dengan menggemakan Pancasila 1 Juni 1945 versi Bung Karno. Selanjutnya, secara struktural meminta pemerintah Jokowi minta maaf pada PKI. Dan yang terbaru, yang mengindikasikan PKI REBORN, bangkitnya PKI, adalah munculnya RUU Haluan Ideologi Pancadila (HIP) yang dengan sengaja menghilangkan TAP MPRS No. XXV/1966 terkait larangan penyebaran ajaran komunisme, maxisme, leninisme di Indonesia.

Oleh karena itu, RUU HIP yang sekarang dalam pembahasan DPR RI wajib ditolak. Jika tidak, inilah ancaman nyata keutuhan NKRI dan bencana yang lebih mengerikan dari wabah covid 19.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *