Oleh: Ustaz Umar Faqihuddin S.Pdi
Dahulu, kisah epik nan indah ini di mulai. Kisah tauhid, tentang seorang ayah, bunda dan putra yang lama menghiasi. Untuk sebuah pelita hidup, dari generasi ke generasi.
Kisah tentang Ibrahim, ‘Alaihissalam sang bapak tauhid, yang begitu menggetarkan hati. Dan kisah Bunda Hajar serta putranya Ismail ‘Alaihissalam yang layak dihayati.
Ketika datang perintah suci. Melalui perantaraan mimpi. Bahwa, ia di perintah Allah untuk menyembelih putranya, yang menjadi mutiara hati.
Lama berpisah, rindu yang belum terobati. Namun datang sebuah perintah yang menakar hati. Cinta kepada Allah pun di uji. Dengan yang sangat di rindu hati.
Adapun hati, ya hanya hati. Tanpa lentera hidayah ilahi. Akan memilih, abaikan perintah yang sulit, dan di luar jangkauan terima, setiap hati. Karena seseorang menerima perintah dengan hati, adapun tubuh kepadanya mentaati.
Namun, percik hidayah menerangi. Ialah Allah, tak mungkin salah memilih titah, sekalipun bermedia mimpi. Bukankah, dariNya semua di mulai ? Dan kepadaNya semua kembali ? Dan Allah, kuasa mengganti. Di setiap transaksi.
Mengenal Allah, membuat jelas jalan, yang bakal ditapaki. Mengenal kemampuan Allah, membuat hati tenang di seluruh perintahNya menjalani.
Apapun dan berapapun dalam transaksi, menjadi tak berarti. Di bandingkan sepenuh nikmat yang setiap hamba menikmati. Menjadi murah, di banding yang di siapkan sebagai pengganti.
Dan Maha Benar Allah, dengan segala perintah punya arti. Sekiranya bukan perintah menyembelih seorang putra, tentu akan tumpul makna, menembus hati.
Syariat qurban, tentu akan gagal membumi. Namun begitulah kisah mengarah pasti. Ke arah pesan mendalam yang menembus setiap hati, menyentuh nurani.
Hewan qurban terlihat mata yang di sembelih, kecintaan selain Allah sesungguhnya yang di sembelih secara arti. Ketaqwaan pun, kembali mendominasi.
Semoga di setiap perintah Allah kita memahami. Mengunduh taat, sekalipun awalnya butuh lentera menerangi hati. (*)