Mencari Format PPDB Yang Berkeadilan

Yasmin Muntaz 
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



MENCARI FORMAT PPDB YANG BERKEADILAN

Oleh : Yasmin Muntaz  (Pemerhati Hukum dan Media)

Seleksi jalur zonasi berdasarkan usia yang diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI dikeluhkan orang tua murid karena dianggap merugikan calon siswa yang berusia muda. Hasil seleksi jalur zonasi PPDB DKI menunjukkan bahwa usia terendah calon siswa yang diterima di SMP dan SMA, memang masih cukup tinggi. Pantauan penulis terhadap hasil seleksi jalur zonasi PPDB DKI di tingkat SMP menunjukkan : dari 290 SMP negeri di Jakarta, mayoritas usia terendah calon siswa yang diterima adalah lebih dari 12 tahun 6 bulan. Bahkan di hampir 40 SMP negeri, usia terendah calon siswanya adalah 13 tahun sekian bulan. Siswa berusia 12 tahun ke bawah hanya diterima di 4 (empat) sekolah saja. Sedangkan pantauan penulis terhadap hasil seleksi jalur zonasi PPDB DKI di tingkat SMA menunjukkan : terdapat lebih dari 10 SMA negeri di Jakarta yang usia terendah calon siswanya adalah 16 tahun sekian bulan pada semua jurusannya (Atau jika digabungkan dengan yang hanya pada salah satu jurusannya, maka terdapat kurang lebih 20 SMA negeri). Dari 115 SMA negeri di Jakarta, mayoritas usia terendah calon siswa yang diterima adalah lebih dari 15 tahun 7 bulan. Siswa berusia 15 tahun ke bawah hanya diterima di 1 (satu) sekolah saja.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dengan kata lain : dari 290 SMP di DKI, 286 sekolah memiliki calon siswa berusia terendah di kisaran 12 tahun 6 bulan. Calon siswa yang berusia 12 tahun atau kuramg, hanya dapat ditampung di 4 (empat sekolah). Sedangkan untuk SMA, dari 115 sekolah, hanya 1 (satu) sekolah yang dapat menerima calon siswa berusia 15 tahun ke bawah. Selebihnya (114 SMA di DKI), memiliki calon siswa berusia terendah 15 tahun 7 bulan.

Pasal 25 ayat (1) Peraturan Mendikbud (Permendikbud) No. 44 tahun 2019 tentang PPDB TK, SD, SMP, SMA dan SMK berbunyi : “Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (SMP) dan kelas 10 (SMA) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan” ; ayat (2) berbunyi: “Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota /daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akte kelahiran.” Dari bunyi pasal 25 ayat (1) dan (2) tersebut jelas bahwa : dahulukan seleksi jarak terdekat tempat tinggal calon siswa dengan sekolah, barulah apabila terdapat sejumlah pendaftar yang tempat tinggalnya berjarak sama, maka diurutkan berdasarkan usia yang lebih tua.

Dinas Pendidikan (Disdik) DKI tidak menerapkan seleksi zonasi murni berdasarkan jarak dan (terkesan) menganggap tempat tinggal semua calon siswa berjarak sama terhadap sekolah, sehingga langsung memberlakukan pasal 25 ayat (2) Permendikbud, yakni dengan melakukan seleksi berdasarkan usia. Hal itu jelas tidak tepat, karena faktanya : sebuah sekolah dapat dipilih oleh calon peserta didik dari banyak kelurahan. Bagaimana mungkin semua calon siswa yang tinggal di kelurahan berbeda dianggap berjarak sama terhadap sebuah sekolah? Contoh : seorang calon siswa yang tinggal di kelurahan Pondok Labu Jakarta Selatan, akan lebih dekat dengan sekolah negeri di kawasan tersebut, dibandingkan dengan calon siswa lain yang tinggal di kelurahan Melawai, misalnya. Walaupun, calon siswa yang tinggal di Melawai dapat mendaftar ke sekolah di Pondok Labu. Untuk calon siswa yang tinggal di kelurahan Melawai, maka akan lebih dekat ke sekolah dikawasan Blok M, Jakarta Selatan. Selain itu apabila pasal 25 ayat (2) dibaca dengan seksama, seleksi usia (mestinya) baru dipergunakan untuk pemenuhan kuota (kursi) terakhir. Jadi bukan untuk menyusun ranking. Dengan demikian, Disdik DKI telah menyalahi ketentuan yang diatur dalam Permendikbud.

Tahun lalu PPDB DKI juga tidak memberlakukan sistem zonasi murni dan hanya menjadikan zonasi sebagai batasan sekolah yang dapat dipilih (semacam sistem rayon di masa lalu). Seleksi zonasi, non zonasi dan luar DKI dilakukan berdasarkan nilai ujian nasional (UN). Namun hal itu tidak banyak dikeluhkan, karena sistem seleksi berdasarkan nilai UN masih diharapkan oleh sebagian orang tua murid (walau juga tidak tepat untuk diterapkan pada seleksi zonasi). Dengan sistem seleksi berdasarkan nilai UN tersebut, label sekolah favorit dan non favorit tetap ada dan mengakibatkan seorang calon siswa belum tentu dapat bersekolah di dekat tempat tinggalnya. Padahal, tujuan sistem zonasi adalah agar siswa dapat bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya serta untuk pemerataan kualitas pendidikan dengan meniadakan sekolah favorit dan non favorit. Di DKI tahun ini akan kembali terjadi kondisi dimana ada calon siswa yang rumahnya dekat (bahkan bersebelahan) dengan sekolah, namun tidak dapat bersekolah di sekolah tersebut. Tahun lalu tidak diterima karena nilai UN-nya lebih rendah dari calon siswa lain. Sedangkan tahun ini, tidak diterima karena usianya lebih muda dari calon siswa lain.

Permendikbud pasal 11 membagi jalur PPDB menjadi 4, yakni : zonasi (minimal 50%), afirmasi (minimal 15%), perpindahan tugas orang tua / wali (maksimal 5%) dan jalur prestasi (sisa kuota). Adalah kurang tepat apabila Permendikbud menetapkan kuota minimal zonasi sebesar 50% dari daya tampung sekolah. Hal itu karena, tidak semua daerah di Indonesia memiliki persebaran sekolah yang sama meratanya. Apabila persebaran sekolah tidak merata (atau jumlah dan daya tampung sekolah kurang) di sebuah daerah, maka sistem seleksi zonasi tidak tepat mendapat porsi mayoritas. Karena dapat terjadi kondisi dimana ada calon siswa berprestasi menjadi tidak tertampung di sekolah negeri manapun di wilayahnya (akibat rumahnya ‘kalah dekat’ dengan sekolah terdekat dan ‘kalah’ di seleksi jalur prestasi akibat kuotanya sedikit).

Permendikbud menetapkan batas usia maksimal bagi calon siswa SMP dan SMA. Bagi calon siswa SMP, usia maksimalnya adalah 15 tahun. Sedangkan untuk calon siswa SMA, usia maksimalnya adalah 21 tahun. Kendati batas usia maksimal tersebut dianggap terlalu tinggi (terutama untuk calon siswa SMA), 5 dari 7 calon siswa SMA yang berusia 20 tahun dan diterima melalui jalur zonasi PPDB DKI, adalah merupakan lulusan SMP tahun 2020 atau fresh graduate. Maka akan tidak adil pula apabila ada fresh graduate yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena terbentur usia maksimal (seandainya batas usia maksimal diturunkan). Oleh karenanya penulis berpendapat, untuk.calon siswa SMP dan SMA, yang perlu dibatasi adalah tahun kelulusan, bukan usia.

Penulis juga melakukan pemantauan terhadap calon siswa lulusan tahun lalu yang diterima lewat jalur zonasi PPDB DKI di 15 SMA negeri di Jakarta. Hasil pantauan menunjukkan : terdapat minimal satu orang calon siswa lulusan tahun 2018 dan /atau 2019 yang berada di posisi 5 teratas. Hal yang sama bisa saja terjadi di sekolah-sekolah lainnya dan juga ditingkat SMP. Bahkan di salah satu SMA, total lulusan tahun 2018 dan 2019 yang diterima di jurusan IPS, mencapai 30% dari daya tampung . Kondisi tersebut dapat dikatakan tidak adil untuk calon siswa yang baru lulus. Padahal, lulusan terbaru mestinya mendapat semacam privilege dibandingkan lulusan tahun sebelumnya. Sistem seleksi jalur zonasi berdasarkan usia mengakibatkan dua bentuk ketidakadilan, yakni : ketidakadilan terhadap calon siswa yang berusia muda dan ketidakadilan terhadap calon siswa lulusan terbaru (fresh graduate). Hal itu tidak sesuai dengan pasal 2 Permendikbud yang mensyaratkan ‘berkeadilan’, sebagai salah satu dasar penerapan PPDB. Jalur zonasi PPDB DKI akan berbeda hasilnya, apabila seleksi dilakukan dengan mengutamakan jarak (bukan usia), sesuai yang diatur Permendikbud.

Pasal 20 ayat (1) Permendikbud menyatakan bahwa : jalur prestasi ditentukan berdasarkan nilai ujian sekolah atau UN dan/atau hasil perlombaan dan/atau penghargaan di bidang akademik maupun non akademik, pada tingkat internasional hingga tingkat kabupaten/kota. Permendikbud tidak membedakan jalur prestasi akademik dan non akademik, sehingga pada penerapannya, ada daerah yang lebih menitikberatkan jalur prestasi pada non akademik (memprioritaskan sertifikat), dan cenderung mengabaikan nilai (walau data nilai diminta). Calon siswa dengan nilai akademik tinggi namun tanpa sertifikat, bisa saja ‘kalah’ dari calon siswa yang memiliki nilai akademik rendah namun memiliki sertifikat (penjelasan ini didapat dari salah satu SMA‘ favorit’ di Tangerang Selatan). Penerapan semacam ini jelas kurang tepat. Karena dengan adanya zonasi yang murni berbasis jarak, jalur prestasi berdasarkan nilai akademik tak kalah penting untuk mereka yang tempat tinggalnya ‘kalah dekat’ dengan sekolah (terutama untuk daerah yang jumlah sekolahnya masih belum mencukupi atau belum tersebar merata). Dalam hal ini, kebijakan PPDB DKI untuk membedakan jalur prestasi menjadi jalur prestasi non akademik (yang bermodalkan sertifikat kejuaraan) dan jalur prestasi akademik (yang berdasarkan nilai rapor dan akreditasi sekolah) adalah tepat.

Atas dasar fakta-fakta tersebut di atas, penulis mengusulkan beberapa hal, sebagai berikut :

  1. Sistem zonasi wajib diterapkan secara murni, tanpa kecuali. Artinya, jarak terdekat lebih dahulu, baru kemudian kriteria lainnya (usia, urutan pilihan, kecepatan mendaftar, dan lain-lain). Kriteria lain bersifat sebagai penunjang, dan tidak dapat menggantikan jarak ;
  2. Apabila karena alasan demografi terjadi kendala dalam menentukan titik tempat tinggal calon siswa, pergunakan alamat kantor kelurahan sebagai pengganti titik tempat tinggal ;
  3. Hendaknya tidak menggunakan usia sebagai kriteria utama. Usia sebaiknya hanya digunakan sebagai kriteria pendukung untuk jalur zonasi dan afirmasi. Sedangkan untuk jalur prestasi, usia sebaiknya sama sekali tidak dijadikan sebagai salah satu komponen seleksi pendukung. Apabila tetap digunakan, maka berpotensi merugikan calon siswa berprestasi, khususnya calon siswa berlatar belakang kelas akselerasi ;
  4. Kuota 50% untuk zonasi sebaiknya adalah maksimal, dan bukan minimal. Hal itu karena, persebaran dan daya tampung sekolah di semua daerah tidak sama. Untuk daerah-daerah yang belum merata, maka kuota jalur zonasi dapat diturunkan dan dialihkan ke jalur prestasi atau afirmasi. Sehingga, komposisi antara jalur zonasi dan prestasi / afirmasi dapat berimbang ;
  5. Seleksi jalur prestasi sebaiknya dibuat terpisah antara akademik dan non akademik serta perlu dibuat kuota minimal. Pemisahan jalur dan kuota masing-masing perlu diatur dalam Permendikbud ;
  6. Jalur penerimaan untuk calon siswa lulusan tahun lalu, perlu dibuat terpisah dengan lulusan terbaru (fresh graduate). Misalnya : dengan membuat jalur zonasi umum (untuk lulusan terbaru) dan zonasi khusus (untuk lulusan tahun sebelumnya). Kuota untuk lulusan tahun sebelumnya berkisar antara 5 sampai 10 % dan maksimal tahun lulus perlu dibatasi dalam Permendibud. Sedangkan jalur prestasi (akademik dan non akademik), sebaiknya hanya untuk fresh graduate ;
  7. Batas usia maksimal dan minimal hanya untuk mendaftar ke jenjang TK dan SD. Sedangkan untuk mendaftar ke jenjang SMP dan SMA, batas maksimalnya adalah tahun kelulusan (bukan usia). Dengan demikian, batas usia maksimal dalam Permendikbud perlu dihapus.
banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *