Mengapa Felix Siauw Lebih Disukai Ketimbang Ulama

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



HAJINEWS.ID,- Artikel ini asalnya berjudul *KENAPA FELIX SIAUW DISUKAI?*. Redaksi sengaja memuatnya dari medsos, karena sebagai jawaban atas kritik terbuka seorang “alim” yang kebetulan pengurus salah satu ormas Islam ternama. Dia adalah KH Ishomudin. Kritiknya dinilai netizen  cenderung mempermalukan secara terbuk daripada memberi saran secara bijak hanya karena kesalahan membaca salah satu ayat Alquran surat Alhujurat.

Pertanyaan dalam judul di atas terlontar dari seorang remaja Nahdliyyin kepada saya dalam sebuah obrolan ringan di Asrama UI. Ia heran dengan popularitas Felix Siauw sebagai penceramah agama, yang mampu melampaui para alim. Padahal dari kualitas keilmuan, pemahaman Felix belumlah dalam. Tapi kenapa ceramah-ceramahnya disukai anak muda?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pertanyaan anak muda ini menarik untuk ditanggapi. Ia tampaknya mencoba memahami sisi lain dari sebuah fenomena yang tidak dilihat secara hitam putih. Pemahaman orang muda perkotaan terhadap sebuah fenomena memang sangat khas. Orang muda perkotaan cenderung melihat persoalan dengan mengesampingkan kelaziman.

Fenomena Felix Siauw memang tidak bisa dilihat dari kacamata doktrin keilmuan agama. Dari sisi ini, Felix sebenarnya sadar bahwa penguasaannya terhadap ilmu agama sangat minim. Ia juga tahu bahwa ia tidak akan bisa menjawab pertanyaan tentang hikmah ditempatkannya isim maf’ul dan isim fa’il secara bersamaan di akhir surat al-fatihah. Tapi, perlu untuk dicatat di sini, Felix tahu apa yang tidak begitu diperhatikan para pengkritiknya.

Felix Siauw merupakan representasi dari fenomena gerakan kalangan modernis untuk menjadikan Islam sebagai sumber pembicaraan masa depan. Islam pada masa depan (the future Islam) adalah Islam yang bukan saja menjadi komplemen dari panggung kontestasi politik global tapi menjadi penguasa panggung itu sendiri.

Sampai di sini, yang dijadikan sebagai modal adalah keberanian dan kesanggupan untuk bertarung, bukan pembacaan yang tuntas terhadap turats. Felix Siauw, dan begitu juga dengan kalangan modernis lainnya, mempunyai modal tersebut.

Pembicaraan tentang masa depan Islam memang akan selalu menjadi pembicaraan yang mengundang ketertarikan umat Islam. Pembicaraan tentang “the future Islam” ini menjadi semacam obat bagi umat untuk keluar dari persoalan yang membelenggu mereka selama bertahun-tahun.

Jika kalangan modernis lain menggambarkan masa depan Islam itu dalam bentuk penguasaan atas lembaga-lembaga kekuasaan, Felix Siauw–bersama HT–mensimplifikasi Islam masa depan itu melalui gambaran tentang khilafah islamiyah yang membentang dari Maroko hingga Merauke.

Bombastis? Ya memang bombastis. Mustahil? Memang mustahil. Felix Siauw, Ismail Yusanto, dan bahkan Taqiyuddin Nabhani pun mengakui ide khilafah bombastis dan mustahil secara manusiawi. Tapi persoalannya tidak berhenti di situ. Persoalannya terletak pada bagaimana isu-isu yang dilempar itu mampu melahirkan posisi tawar (bargaining position). Untuk keperluan itu, strategi marketing menjadi sangat dibutuhkan dibandingkan melakukan penguatan epistemologi.

Maka dari itu, kita bisa lihat bagaimana Felix Siauw begitu piawai memainkan komunikasi marketing ketika menyampaikan visi the future Islam. Setiap narasi yang dikemukakannya selalu mengundang ketertarikan orang muda. Felix berbicara tentang semua yang berhubungan dengan kebutuhan orang muda, mulai dari bisnis, membangun relasi, hingga mencari jodoh. Paparan-paparan yang disajikannya dianggap selalu memberi solusi atas kebuntuan yang dihadapi orang muda perkotaan. Secara substansi, bahasan-bahasan yang diangkat Felix tidak berbeda dengan bahasan yang diangkat Gus Miftah. Hanya dalam soal strategi marketing dan packaging tim manajemen Felix Siauw lebih unggul daripada tim manajemen Gus Miftah.

Jika Felix dan HTI-nya mampu “menjual” tema masa depan Islam, lalu isu apa yang akan “dijual” oleh para muballigh NU? Sekali lagi ini tentang marketing. Sampai hari ini, belum ada rumusan marketing yang jelas dari NU sebagai jama’ah ketika akan berbicara di tengah masyarakat perkotaan.

Fokus pembicaraan Nahdliyyin tentang dakwah masih berkutat pada nostalgia alam pedesaan yang damai dan tenang, karomah kiai, dan pengalaman semasa mondok. Islam dalam pembicaraan kalangan muballigh Nahdliyyin adalah Islam yang berhenti pada abad ke-5 Hijriyyah atau yang berhenti pada masa para kiai pendiri NU. Hingga saat ini belum terdengar pembicaraan tentang the future Islam versi muballigh Nahdlatul Ulama. Padahal, untuk ke arah sana NU mempunyai resources yang sangat berlimpah.

Sumber berita:
FB KH. Abdi Kurnia Djohan

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *