Rizal Ramli: Kondisi Ekonomi Sekarang Lebih Parah dari Krisis 1998

Rizal Ramli (Foto: istimewa)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Ekonom senior Rizal Ramli menilai kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih parah dibandingkan krisis yang terjadi pada 1998 karena diperparah dengan pandemi COVID-19 yang memukul berbagai sektor.

Rizal menyebut krisis pada 1998 aktivitas ekonomi masih bergeliat khususnya di luar Pulau Jawa. “Secara ekonomi, ini seperti krisis ’98 plus, plus, plus. Sebab ’98, yang terpukul yang besar-besar. Di daerah-daerah pada saat rupiah jatuh dari Rp3 ribu ke Rp15 ribu, di daerah (masih) ramai ekspor cokelat, vanili,” ujar Rizal dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/8/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Rizal mencermati kondisi Indonesia dalam menghadapi krisis seperti sekarang tidak sekuat seperti dulu. Salah satu indikatornya adalah soal nilai ekspor yang belum memuaskan. “Dengan cara penanganan yang amatiran, dengan kelemahan kepemimpinan dan visi, bisa-bisa krisis ini akan lama lagi. Bisa satu setengah tahun. Saya yakin rakyat tidak siap,” kata dia.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu mengungkapkan bahwa solusi untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia saat ini yaitu dengan meningkatkan daya beli masyarakat.

Rizal lantas mencontohkan, saat dirinya menjabat diminta Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menaikkan gaji aparatur sipil negara, TNI- Polri, dan juga pensiunan. “Begitu mereka ada uang, dia belanja semua. Akibatnya sektor retail hidup, ekonomi hidup,” terang Rizal yang ketika itu juga sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan.

Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Q2 2020 kontraksi 5,32 persen. Anjloknya pertumbuhan ini, salah satunya disebabkan kontraksi konsumsi rumah tangga di kisaran 5,51 persen. Komponen ini memegang porsi 57,85 persen dari PDB. Pada Q2 2019 lalu pertumbuhannya masih 5,18 persen. “Semua komponen terkontraksi cukup dalam. Konsumsi rumah tangga negatif 5,51 persen,” kata  Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (5/8/2020).

Pengamat ekonomi Indef menangkap sinyal ancaman kelaparan dari kontraksi konsumsi rumah tangga yakni minus 5,51 persen pada kuartal II 2020. “Yang dahsyat adalah pada kuartal II ini masyarakat sudah mengurangi untuk pengeluaran konsumsi makan minuman. Artinya apa, ini ada ancaman bahaya kelaparan, pemenuhan kebutuhan hidup mereka secara basic-nya (dasar) sudah mulai dikurangi,” kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, Kamis (6/8/2020). (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar