Menghafal Al-Qur’an dalam 10.000 Jam

Menghafal Al-Qur’an dalam 10.000 Jam
Menghafal Al-qur'an
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Menghafal Al-Qur’an dalam 10.000 Jam

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang, Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI. ( Redaktur Ahli Hajinews.id )

Sewindu lalu, setiap ada calon mahasiswa yang mengajukan beasiswa Monash Institute, melalui jalur hafal al-Qur’an, langsung saya terima. Logika saya sederhana; tidak mungkin penghafal al-Qur’an bohong, atau tidak mungkin ada orang yang berani menggunakan al-Qur’an sebagai alat untuk meraih sesuatu dengan cara bohong.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Namun, sejak empat tahun lalu, saya menjadi lebih selektif. Sebab, tidak kurang dari 80 persen yang mendaftar melalui jalur tahfidh itu, ternyata tidak benar-benar hafal 30 juz. Bahkan, saat saya menerapkan test secara langsung, banyak yang tidak mampu membuktikan hafalan yang lancar walaupun hanya satu juz. Bahkan, kemudian saya menggunakan cara yang sangat sederhana untuk memastikan benar-benar hafal atau tidak.

Saya hanya bertanya: “Berapa juz Anda muraja’ah (membaca dan menelaah ulang) dalam sehari?” Kadang saya tambahi: “Berarti berapa lama Anda melakukan muraja’ah?”. Rerata mereka menjawab 3 juz. Dan karena muraja’ah per-juz dengan tartil membutuhkan waktu hanya 30-45 menit, atau paling lama 1 jam, maka berarti per-hari mereka bergelut dengan al-Qur’an hanya 3 jam saja. Ini yang membuat saya sadar bahwa mereka sesungguhnya tidak hafal, tetapi mungkin pernah menghafal per-halaman, kemudian hilang. Namun mereka tidak menyadari bahwa hafalan mereka telah luntur karena tidak pernah melakukan semacam check and recheck dengan cara sima’an gelondongan 30 juz, atau 15 juz, atau 10 juz sekali duduk.

Lalu, bagaimana sesungguhnya cara untuk menghafalkan al-Qur’an sampai benar-benar lancar dengan jalan yang benar-benar realistis dan rasional?

Di dalam buku berjudul The Outliers, Malcolm Gladwell menyatakan: “Seseorang akan menjadi ahli dalam suatu bidang tertentu yang diinginkan setelah dia melakukan atau mempelajarinya dalam waktu 10.000 jam”. Namun, untuk bisa hafal al-Qur’an, teori Gladwell ini harus saya tambahi dengan “dalam rentang waktu maksimal 3 tahun”. Makin panjang rentang waktunya, walaupun sudah menghabiskan waktu 10.000 jam maka kemungkinan untuk menjadi penghafal al-Qur’an total 30 juz akan makin kecil dan bahkan jadi mustahil.

Karena itu, sejak 3 tahun lalu, setiap santri atau mahasantri yang menyatakan tekad ingin menghafal al-Qur’an, saya uji dengan hitungan matematis yang konkret. Jika sanggup, maka boleh menghafal, jika tidak, maka lebih baik angkat koper, “pulang kampung”.

Saya perkenalkan teori 10.000 jam dalam rentang waktu 3 tahun di atas. Saya menanyakan kesanggupan mengalokasikan waktu untuk menghafal al-Qur’an dengan segala prasyarat untuk itu. Karena pada umumnya mereka juga kuliah, ada yang menjawab 3 jam perhari. Maka kemudian saya minta menghitung dengan menggunakan aplikasi kalkulator yang ada di HP mereka. 10.000 dibagi 360, dibagi 3 muncul angka 9,26. Berarti untuk hafal 30 juz, mereka butuh waktu hampir 10 tahun. Jelas ini tidak realistis. Terutama mereka yang mondok di Monash Institute dengan tujuan awal untuk kuliah berarti punya waktu hanya 8 semester atau 4 tahun.

Setahun terakhir pun digunakan untuk aktivitas lapangan, di antaranya PPL, KKN, penelitian skripsi, dan lain-lain. Maka saya ingatkan bahwa mereka punya waktu hanya 3 tahun. Sebenarnya ini adalah sebuah kebetulan saja bahwa mereka yang kuliah memiliki waktu praktis hanya 3 tahun saja. Namun, dalam menghafalkan al-Qur’an memang jangan sampai memakan waktu terlalu lama. Ibarat lari, yang harus dilakukan adalah sprint, bukan marathon.

Dan saya mensyaratkan harus hafal sampai 30 juz. Sebab, saya menemukan ibarat penting, bahwa menghafal al-Qur’an mirip panjat pinang. Berapa pun capaian panjatan, jika tidak sampai puncak, tapi sudah berhenti, maka tinggal menunggu saat melorot ke titik terbawah. Berapa pun capaian hafalan, jika tidak sampai 30 juz, maka tinggal menunggu hilang, mungkin hanya tinggal sisa-sisa hafalan.

Karena itu, saya menantang mereka untuk mengalokasikan waktu 10 jam dalam sehari semalam untuk bergelut dengan al-Qur’an, mulai dari memahami artinya. Jika berani, maka saya minta menghitung lagi. 10.000 dibagi 360 dibagi 10, muncul angka 2,7. Berarti mereka akan hafal al-Qur’an dalam waktu kurang dari 3 tahun. Dan jika ingin hafal dalam waktu hanya 2 tahun bahkan akan jadi kurang dari itu, maka harus mengalokasikan waktu kira-kira 14 jam setiap sehari samalam.

Untuk bisa menjalani aktivitas berjibaku dalam waktu 10-14 jam itu, diperlukan daya tahan tinggi. Daya tahan itu hanya mungkin didapatkan apabila ada rasa cinta didukung oleh fisik yang sehat agar kuat. Memang rasa cinta bisa berpengaruh kepada kekuatan. Namun, jika sebelumnya sudah tidak sehat, sedikit banyak akan tetap mengganggu perjalanan menghafal karena dibutuhkan konsistensi tinggi dari titik start sampai finish.

Kecintaan itu bisa dibangun dengan berbagai cara. Di antaranya memahami arti al-Qur’an. Sekedar arti literal bahkan akan bisa membangkitkan semangat. Sebab, ada banyak hal baru yang terkandung di dalam al-Qur’an yang pasti akan membangkitkan rasa senang, haru, dan juga penasaran. Dan jika dibaca ulang, dengan penguasaan bahasa Arab yang lebih baik, juga tambahan hafalan yang ada di dada, maka akan muncul pemahaman baru yang lebih komprehensif yang makin membangkitkan adrenalin.

Kalau semua itu sudah muncul, bergelatut dengan al-Qur’an selama 14 jam pun pasti terasa masih kurang. Dan makin bertambah waktu untuk bergelut dengan kalam Tuhan ini, maka waktu untuk bisa menghafal total 30 juz akan makin pendek, tidak sampai 2 tahun, bahkan dalam hitungan saya, 10 bulan menjadi bisa. Dengan menghafal 2 halaman perhari, maka dalam 10 bulan 30 juz hafalan akan khatam.

Di antara faktor yang sangat mendukung kecepatan menghafal adalah:

Pertama, kecerdasan linguistik, termasuk di dalamnya kecepatan menguasai bahasa yang bukan bahasa ibu bagi orang non-Arab. Dan bahasa Arab yang digunakan oleh al-Qur’an, bukan bahasa Arab pasaran, melainkan bahasa Arab fushhah. Penguasaannya sangat membantu untuk menangkap makna permukaan yang sangat penting untuk membayangkan pesan teks yang sedang dihafalkan.

Sederhananya, menghafalkan kalimat yang tidak diketahui artinya secara faktual lebih sulit sampai rata-rata 7 kali lipat. Jika saat menghafal merasakan kesulitan yang luar biasa, maka akan muncul potensi besar putus asa. Namun, jika merasakan kemudahan, maka akan muncul semangat untuk menghafalkannya secara cepat.

Kedua, logika yang kuat. Kalimat-kalimat di dalam al-Qur’an sangat logis. Secara umum, setiap mubtada’, ada khabarnya. Setiap syarath ada jawabnya. Kecuali dalam kalimat-kalimat tertentu yang terdapat kalimat yang disembunyikan atau dibuang, tetapi dengan logika yang kuat jadi mudah ditangkap. Ini juga membuat menghafalkan al-Qur’an menjadi sangat menyenangkan. Sebab, setiap ayat melahirkan pengetahuan. Dikoneksikan dengan ayat lain, akan lahir pemahaman baru.

Ketiga, memiliki partner untuk melakukan check and recheck dengan cara simaan sampai hafalan benar tanpa kesalahan. Dengan cara ini, membaca al-Qur’an akan bisa dilakukan di mana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, baik berdiri, duduk, maupun berbaring. Makin sering diulang, maka akan semakin lancar seolah otak berada di atas bibir. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *