Orang Buta, Gajah, dan Radikalisme

Orang Buta, Gajah, dan Radikalisme
ilustrasi : stop radikalisme
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Rudi Candra

Hajinews – Hari-hari ini jagad medsos (media sosial) diramaikan dengan pemberitaan tentang “dilaporkannya Pak Din Syamsuddin” terkait tuduhan radikalisme. Fenomena ini tentunya lucu dan menggelikan, sebab selama ini Pak Din adalah tokoh agama yang dikenal di Indonesia bahkan dunia internasional yang mengkampanyekan moderasi beragama sekaligus toleransi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tentunya tuduhan tersebut tidak berdasar, dan mungkin lebih kental dilatar belakangi faktor politik dan kepentingan parsial, dibandingkan usaha melindungi pemikiran umat dan bangsa.

Memang saat ini, terminologi radikalisme ataupun intoleransi seringkali digunakan untuk menghantam lawan politik ataupun mendeskriditkan seseorang. Tidak hanya di Indonesia, di dunia internasional, istilah radikalisme untuk kemudian dikonotasikan dengan terorisme, juga digunakan untuk mengkucilkan sebuah komunitas ataupun negara. Sebuah istilah yang masih abu-abu, dan belum disepakati pemaknaannya.

Mirisnya, istilah ini seringkali ditafsirkan oleh kelompok orang yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memaknainya. Sebagai contoh nyata, jika istilah radikalisme disandingkan dengan Islam, seringkali yang mensandingkannya sebenarnya tidak memahami dengan baik apa itu ajaran Islam. Indikator bahwa “oknum” tersebut tidak memahami Islam seringkali terlihat dari ketidak mampuannya untuk sekadar membaca kitab suci Al-Qur’an terlebih memahami dan memaknainya.

Tentu akibatnya salah paham dan hanya menimbulkan fitnah ataupun tuduhan.

Gambaran yang paling sesuai, bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menilai sesuatu namun memaksakan diri untuk memberikan penilaian, seperti “orang buta yang meraba gajah”, saat yang dipegang adalah ekornya, maka ia akan menilai jika gajah adalah hewan yang kecil, juga jika yang diraba adalah belalainya, maka gajah dianggap hewan yang panjang, ataupun contoh-contoh lain. Ini artinya parsialisme dalam menilai berakibat kesalahan dalam memahami sesuatu.

Semoga kejadian-kejadian ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menilai sesuatu, agar tidak terjebak pada kampanye kedunguan ataupun keluguan pola berfikir.

Ya Allah, lindungilah agama dan umat Mu ini dari otak atik dan rekayasa kaum pembenci…

Ponorogo – Jember, 15-02-2021

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *