Webinar LP3ES: Mengawal Reformasi Partai Politik : Peluang Dan Tantangan”

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Baik buruknya demokrasi di suatu negara ditentukan oleh partai politik (parpol) di negara tersebut, dan parpol adalah institusi yang sah untuk mengikuti pemilu sesuai mandat rakyat, hal ini dijelaskan Debhy Mayangsari ketika membuka webinar LP3ES dengan tajuk Mengawal Reformasi Partai Politik : Peluang dan Tantangan”

Masalahnya, di Indonesia kini tingkat kepercayaan publik terhadap parpol menjadi semakin rendah. Paling rendah dibanding lembaga publik lainnya. Oligarki politik, patriarki, feodalisme, kaderisasi dan buruknya pengelolaan keuangan parpol menjadi masalah besar.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Padahal, parpol adalah jantung dari demokrasi. Ironisnya, kondisi yang terjadi saat ini parpol menjadi institusi yang paling tidak demokratis. Mengapa terjadi demikian? Dapatkah reformasi parpol dilakukan kepada parpol yang ada, atau berharap lahirnya partai baru.

Menurut Dr Wijayanto dalam pengantar diskusi menyebutkan latar belakang dari diadakannya diskusi kali ini adalah ihwal kecenderungan putar-balik (reverse) sistem politik ke arah otoriterisme, seperti yang juga disitir oleh almarhum Daniel Dakhidae.

Pada Sekolah Demokrasi LP3ES angkatan pertama, telah diambil kesimpulan terjadinya pembalikan ke arah otoriterisme. Dari analisa situasi, disimpulkan bahwa pembenahan sistem politik dan partai politik tidak mungkin dapat dibenahi tanpa merangkul parpol yang ada.

Dari survei kecil-kecilan kepada peserta sekolah demokrasi untuk menginventarisi masalah demokrasi di Indonesia, diketahui bahwa saat ini parpol adalah institusi publik yang paling tidak dapat dipercaya. Kalah jauh dari institusi pemerintah, KPK bahkan dibandingkan dengan instansi militer sekalipun.

Parpol menjadi lembaga yang paling rendah kepercayaan publik. Suvei LSI menyebutkan parpol hanya memperoleh tingkat kepercayaan 39% saja (2019), sementara KPK malah mendapat 63 %.

Masalah-masalah yang disepakati masih menjerat parpol adalah oligarki politik, oligarki media, rendahnya kualitas pemilu, macetnya kaderisasi, feodalisme, masalah keuangan, parpol yang tidak lagi memilii ideologi yang jelas, korupsi, dan politik dinasti. Malah terjadi hal yang lebih buruk, yakni disinyalir semua kader parpol telah ada yang terciduk KPK.

Peneliti politik Aisah Putri Budiarti dalam paparannya mengajukan pertanyaan menarik, masih mungkinkah mereformasi parpol di Indonesia? Lalu bagaimana caranya?

Setelah mengalami pengekangan di era orba dengan reformasi politik kepartaian yang serba terbatas dan penuh intervensi eksernal, di era awal refomasi, ruang partisipasi politik dibuka luas. Muncul puluhan partai, dan pemilu bebas. Ada jaminan independensi parpol. Terdapat juga perluasan peran fungsi parpol tidak hanya sekadar kendaraan politik electoral tetapi juga non electoral.

Namun, parpol kemudian menjadi kendaraan politik di pemilu untuk posisi-posisi eksekutif (Presiden) dan kepala daerah. Mereka yang duduk di parlemen menjadi pihak yang menentukan posisi strategis dan penting di lembaga-lembaga publik eksekuti seperti KPK, dan lain-lain. Terlihat jelas adanya peran dan perubahan fungsi parpol di banding era orba.

Regulasi hukum telah direformasi untuk mereformasi parpol. Namun dengan itu reformasi kemudian menjadi stagnan dan perubahan justru menjadi problem baru. Dengan adanya amandemen konstitusi Pasal 6A (2) dan Pasal 22 E (3), UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada (+Keputusa MK), parpol harus mengadopsi berbagai hal perubahan regulasi politik. Diperlemah oleh tidak adanya evaluasi dan revisi terhadap UU Parpol yang terhenti sejak 2011, padahal parpol sedang mempunyai banyak masalah.

Salah satu masalah besar adalah adanya personalisasi parpol. Personalisasi terjadi ketika muncul individu-individu yang punya pengaruh atau kekuasaan besar terhadap partai politik dan cenderung menjadi identitas yang membangun image partai. Hal Itu berlangsung di empat partai besar (Gerindra, PDIP, Demokrat, Nasdem).

Di satu sisi, personalisasi memang punya dampak terhadap soliditas, stabilitas partai dan usia yang panjang. Tapi yang perlu diperhatikan adalah dampak jangka panjang yang berbahaya, karena individu/elit partai tidak selamanya bisa memimpin partai karena faktor tertentu sakit, dan sebagainya. Ketika parpol kehilangan tokoh personal, maka parpol akan menjadi bermasalah. Apalagi insitutionalisasi partai yang berbasis personal, dan bukan ideologi.

Sementara itu Direktur Eksekutif Djayadi Hanan menyatakan, Reformasi parpol adalah keharusan kecuali negara tidak lagi memilih sistem demokrasi. Demokrasi workable jika ada parpol, demokrasi tidak bisa bekerja tanpa partai. Namun, menguatkan partai sering disalahpahami sebagai dapat menguasai semuanya, tanpa bisa diawasi oleh kekuatan yang lain.

Memperkuat parpol adalah membuat partai menjadi sehat sesuai kaidah-kaidah parpol dalam demokrasi.
Konstitusi Indonesia sudah memilih sistem demokrasi. Komitmen masyarakat pada demokrasi cukup stabil sekitar 70 % sejak 2004. Namun, masyarakat juga melihat praktik demokrasi yang cenderung naik turun. Praktik demokrasi dinilai semakin jelek dalam setahun terakhir. Tingkat kepuasan negatif makin meningkat, sementara kepuasan positif makin menurun.
Hal itu akibat problem dan praktik politik dalam negeri selama ini.

Parpol di Indonesia terbelenggu pada tiga masalah utama, Pertama, Oligarki partai, Kedua, Tidak adanya transparansi. Parpol di Indonesia beroperasi seperti black box. Serba misteri dan masyarakat seperti dipaksa untuk tinggal menerima saja. Ketiga, Hubungan parpol dengan masyarakat cukup jauh dan lemah. Hal itu ditandai dari tingkat identifikasi parpol di masyarakat hanya 10-15 % saja. Parpol tidak mampu menarik masyarakat untuk mengidentifikasi dirinya dengan partai-partai politik. Hampir 92% lebih masyarakat tidak merasa punya keterikatan dengan parpol. Hanya sekitar 12 % saja masyarakat yang merasa terikat. (Indicator, Februari 2021).

Direktur Eksekutif LP3ES Fajar nursahid dalam diskusi tersebut menyatakan, Partai Politik di Indonesia mempunya skor buruk di bawah angka 60 untuk indeks pembangunan demokrasi. Ditingkahi oleh kaderisasi yang tidak pernah mencapai kinerja baik.

Kaderisasi hanya intens menjelang pemilu atau hanya sebatas indikator musiman. Capaian kinerja grafik kaderisasi akan kembali turun ketika politisi telah sibuk dalam kompetisi elektoral. Amat volatile, dan tidak concern dalam kaderisasi untuk memperkuat kelembagaan politik internal partai.

Terlihat tren dari sisi aritkualasi, parpol lebih cenderung memikirkan aspek-aspek internal organisasi ketimbang memenuhi peran dan fungsi kepentigan publik seperti budgeting, legal drafting, dan SAR. Untuk kegiatan-kegiatan itu, Parpol tidak cukup berminat kecuali untuk pengembangan diri. Sibuk dengan dirinya sendiri.

Terdapat gap Kaderisasi yang cukup memprihatinan. Seberapa sering parpol mengadakan pendidikan poitik ke konstituennya. Pendidikan visi misi partai menjadi lebih penting ketimbang pendidikan kewarganegaraan, terutama menyangkut hal hal kepentingan publik. (Nenden).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *