Modernisasi memang telah mengubah segala hal hampir di semua lini, termasuk tingkah laku, pola pikir dan hal lainnya. Tentu, modernisasi sebagai suatu proses dan keadaan sangat tergantung dari pelakunya, entah diarahkan kepada hal positif atau ke hal yang negatif. Hanya saja di tengah gempuran modernisasi agaknya banyak yang terlena dan terjerumus ke dalam bayang-bayangan kesesakan modernisasi. Bagaimana tidak, realita yang terjadi saat ini menjadikan banyak manusia kehilangan jati dirinya, nilai-nilai luhur dan tata krama mulai terkikis pasar-pasar tradisional mulai hilang. Terlebih di kota Kendari sudah mulai masuk Indomaret yang bisa saja menggempur dan menggulung pasar-pasar tradisional. Dalam hal ini masalahnya adalah modernisasi disalahpahami menjadi westernisasi (pembaratan). Segala hal yang datang dari Barat atau kebiasaan barat itulah kebiasaan tertinggi, itulah kemajuan, itulah peradaban tertinggi. Padahal, sekali lagi, modernisasi tidak identik dengan westernisasi. Miss perception ini telah melanda hampir semua angkatan usia.
Begitu pun yang terjadi kepada angkatan muda kita. Permainan-permainan tradisional yang menanamkan keramahan, tata krama, nilai-nilai persaudaraan mulai senyap dan terdegradasi perlahan oleh game on line hingga berjam-jam lamanya. Dampaknya adalah merusak mata, menumbuhkan sikap individualis (apatis, eksklusif), boros (tidak efisien dan efektif) waktu, juga menjadikan generasi muda kita menjadi malas belajar. Begitulah pada umumnya, meski masih ada segelintir angkatan muda yang tepat guna merayakan teknologi. Begitupun juga pada generasi Islam, muslim dan muslimah kita. Khususnya muslimah sudah banyak menggunakan hijab-hijab yang mengikuti trend. Hijab dengan mode bervariasi sehingga hijab dijadikan sebagai trend, tetapi melupakan esensi hijab itu sendiri yaitu untuk menutup aurat dan sebagai pakaian takwa. Demikian juga kehidupan sosial masyarakat, sebut saja gotong-royong.
Budaya ini secara perlahan mulai tergerus. Sebabnya antara lain individualisme dan eksklusivitas, kesibukan pribadi untuk mengumpulkan pundi, silaturahmi via elektronik yang tidak membangun keakraban dan saling mengerti. Sungguh modernisasi tidak dapat dicegah. Ia adalah keharusan zaman dalam silih bergantinya peradaban manusia di muka bumi ini. Namun, mestinya kita (pribadi, keluarga dan masyarakat) lebih bijak dalam merayakan teknologi. Tata krama, gotong-royong, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa mesti disemarakkan dan terus dihidup-hidupkan. Ini mesti tercipta tidak hanya kesadaran personal, melainkan harus terjaga dalam kesadaran kolektif masyarakat. Peran ini dapat digalakkan oleh lembaga masyarakat atau lembaga adat atau wadah lainnya yang bertugas menyosialisasikan nilai-nilai luhur budaya itu.