Fragmen Kaum Fundamentalis

Fragmen Kaum Fundamentalis
Emha Ainun Nadjib. foto/dok
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Emha Ainun Nadjib

Sekitar 400 orang duduk bersila, berpakaian sangat melambangkan model dan warna Islam. Suasana sepi dan tegang. Penuh duka dan keperihan. Tidak ada senyuman, apalagi suara tertawa. Mereka sedang tegang menghitung jam demi jam sampai besok pagi mereka mendengar apa keputusan hakim atas Ustadz mereka.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saya diundang untuk berbicara dan ditugasi untuk meredakan amarah orang-orang itu. Meneduhkan hati mereka, menawarkan kepada mereka langkah-langkah yang tingkat kemudharatan politiknya ditekan serendah mungkin tanpa kehilangan prinsip dan militansi.

Sebagaimana lazimnya orang Islam berpidato, saya memulai dengan salam, shalawat kepada Nabi Muhammad dan mengutip satu dua firman Allah. Kemudian saya memberanikan diri memulai dialog:

“Apakah kesunyian suasana di forum ini disebabkan karena Anda semua merasa tidak punya teman dalam perjuangan Anda?”

Seseorang spontan menjawab: “Allahu Akbar!”. Kemudian disusul serempak mereka semua meneriakkan: “Allahu Akbar!”

Saya tahu “Allahu Akbar” dalam nuansa itu berarti “Ya”.

“Berarti Anda Muslim sejati”, kata saya, “Rasulullah Muhammad SAW mengatakan Islam dimulai dari keterasingan dan akan kembali dan kembali lagi ke keterasingan. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing dan kesepian, karena itu pertanda Tuhan dekat di sisi mereka”

“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Saya meneruskan pertanyaan: “Apakah Anda semua berwajah tegang karena Anda sedang menemukan diri Anda berada di bawah tekanan dan penindasan?”

“Allahu Akbar!”

“Di bawah suatu kekuasaan yang lalim?”

“Allahu Akbar!”

“Yang memperlakukan Anda secara sangat tidak adil?”

“Allahu Akbar!”

“Penuh kebohongan dan manipulasi?”

“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Kemudian sengaja saya diam sejenak, suasana saya biarkan tanpa suara. Sampai kemudian tatkala saya merasa sudah saatnya harus diberi suara lagi, sayapun meneruskan:

“Demi Allah perkenankanlah saya memberi saran kepada Anda semua, hendaklah Anda mencintai orang-orang yang menindas Anda, yang melalimi Anda, yang berbuat tidak adil kepada Anda….”

Sampai di sini tidak saya dengar “Allahu Akbar”. Saya teruskan:

“Saudara-saudaraku, hanya orang yang lemah yang merasa perlu menindas orang lain, karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa ia kuat. Hanya orang yang merasa dirinya tidak aman yang berbuat lalim kepada orang lain, karena ia meyakini bahwa orang yang berhasil dilaliminya pastilah tidak mampu membuatnya tidak aman. Demi Allah cintailah dan kasihanilah orang-orang semacam ini, karena hanya itu cara untuk menunjukkan bahwa Anda semua berjiwa besar….”

Terdengar “Allahu Akbar!”, kemudian bersusul-susulan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Terus terang saya merasa lega dengan jawaban itu.

Saya coba meneruskan: “Orang yang berjiwa besar tidak akan membiarkan dirinya ditekan oleh kesedihan, ketegangan atau rasa frustrasi. Bukankah benar demikian, saudara-saudaraku?”

“Allahu Akbar!”

“Saudara-saudaraku tegakkan kepala karena Allah menganugerahi kalian jiwa besar!”

Astaga – meskipun tidak serempak, mereka benar-benar menegakkan kepala.

“Acungkan tangan ke atas untuk menunjukkan kegembiraan dan rasa syukur saudara-saudaraku kepada Allah yang menganugerahi kalian kebesaran jiwa!”

Allahu Akbar, sekarang saya yang bilang Allahu Akbar – mereka benar-benar mengacungkan tangan mereka ke atas,

“Farhan!” teriak saya selanjutnya.

“Farhaaaan!”, semua menirukannya.

Farhan artinya gembira bahagia.

Saya terus mengejar: “Besok Ustadz Anda divonis oleh Pengadilan Negara. Apakah Anda menyongsongnya dengan menundukkan kepala ataukah menegakkan kepala?”

“Allahu Akbar!”, serempak mereka sambil menegakkan kepala.

“Dengan rasa frustrasi atau semangat juang?”

“Allahu Akbar!”

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *