Ma’ruf Amin: Pemahaman Al-Quran secara Tekstual Tanpa Tafsir Bisa Menyesatkan

Ma'ruf Amin: Pemahaman Al-Quran secara Tekstual Tanpa Tafsir Bisa Menyesatkan
Pemahaman Al-Quran secara Tekstual Tanpa Tafsir Bisa Menyesatkan. Foto/unsplash
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan pemahaman terhadap kitab suci Al-Quran harus dilakukan secara mendalam. Pengamalan ajaran secara tekstual tanpa dibarengi pemahaman akan tafsirnya, menurutnya jelas akan memunculkan paham yang menyesatkan.

Hal itu disampaikan Ma’ruf saat menghadiri acara peluncuran buku miliknya berjudul Darul Misaq: Indonesia Negara Kesepakatan yang digelar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (7/6). Acara tersebut merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-57 UNJ.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Pemahaman secara tekstual, yang hanya memahami teks-teks Al-Quran dan Hadis tanpa penafsiran, menghasilkan pemahaman yang statis, karena pemahaman seperti itu tanpa disertai dengan maksud-maksud utama yang terdapat dalam sebuah teks,” ujar Ma’ruf.

“Bahkan pemahaman pada teks-teks tertentu secara literal itu bisa menyesatkan, seperti ayat-ayat yang terkait dengan jihad,” sambungnya.

Meski begitu, hingga kini ia menyebut masih ada sebagian umat Islam yang masih memiliki pemahaman menyimpang akan hal ini. Alhasil muncul gerakan menolak negara Pancasila dengan menggunakan cara kekerasan atau teror dalam perjuangan mereka atas nama jihad.

Ideologi perjuangan yang terbilang intoleran dan disertai kekerasan ini menurutnya dipengaruhi pula oleh gerakan-gerakan Islam transnasional.

“Ideologi transnasional yang keras itu memang tidak terlepas dari pemahaman mereka terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadis secara literal dan kaku, sehingga mereka memiliki sikap yang intoleran dan radikal, bahkan sebagian mereka memiliki sikap ekstrem dan pengkafiran terhadap kelompok lain yang berbeda,” ucap Ma’ruf.

Agar ajaran kelompok tersebut tak makin meluas, ia menjelaskan kerangka metodologis dalam memahami Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai paham yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.

Di samping metodologi yang terdapat dalam ulumul Qur’an, ulumul Hadits, dan ushul fiqh, Ma’ruf juga menggunakan beberapa pendekatan, yakni manhajiyah, tawassutthiyyah (wasathiyyah), tathawwuriyyah, tasamuhiyyah, dan Ishlâhiyyah.

“Penggunaan pendekatan ini diharapkan agar pemahaman Islam dalam konteks masa kini bisa memenuhi tujuan-tujuan syari’ah (maqâshid al-syarî’ah) dan sekaligus solutif (makhârij) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia pada masa kini yang semakin kompleks,” beber Ma’ruf.

Dari sejumlah ajaran itu, pendekatan wasathiyyah, yang kemudian dijadikan sebagai model dalam memahami Islam di dunia, yakni konsep wasathiyyah al-Islâm atau Islam moderat jadi yang paling layak diterapkan saat ini.

Wasathiyyah, kata Ma’ruf, mengandung arti jalan tengah di antara dua sisi atau dua bentuk pemahaman. Menurutnya pemahaman Islam wasathiyah adalah pemahaman yang tidak tekstual dan tidak pula liberal, tidak berlebihan (ifrâth) tetapi juga tidak gegabah (tafrîth), dan tidak pula memperberat (tasyaddud), tetapi juga tidak mempermudah (tasâhul).

“Memang pemahaman tentang wasathiyyah ini tidak seragam antara satu aliran atau organisasi dengan aliran atau organisasi lain, namun hal ini menunjukkan tekad yang kuat untuk memahami Islam jauh dari kesan radikal dan ekstrem,” ungkap Ma’ruf.

“Konsep ini sekarang semakin banyak didiskusikan, sehingga pemahaman tentang konsep ini akan semakin kokoh dan menjadi acuan dalam dakwah dan kajian Islam,” lanjut dia.

Dengan pemahaman moderat tersebutlah, kata dia, ulama dan umat Islam bisa menerima bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus nasional yang telah dibangun dan disepakati bersama oleh founding fathers yang sebagian dari mereka adalah ulama dan tokoh agama.

“Argumentasi ini dimaksudkan juga untuk menjawab keinginan kelompok-kelompok yang menganggap bahwa ideologi dan sistem negara ini tidak sesuai dengan Islam, dan oleh karenanya, mereka ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan negara Islam atau negara khilafah, yang secara historis sudah tertolak (bukan ditolak) karena menyalahi kesepakatan (mukhalafatul mitsaq) karena umat Islam dituntut untuk memenuhi kesepakatan-kesepakatannya,” tutupnya.

Sumber: kumparan

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *