Nikmat Berupa Jalan

Nikmat Berupa Jalan
Nikmat Berupa Jalan. Foto/ilustrasi unsplash
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – “Nikmat” adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia. Nikmat menghasilkan suatu kondisi yang menyenangkan serta tidak mengakibatkan hal-hal yang negatif, baik materiil maupun immateril. Kata ini mencakup kebajikan duniawi dan ukhrawi. Sementara para ulama menyatakan bahwa pengertian asalnya berarti “kelebihan” atau “pertambahan”. Nikmat adalah sesuatu yang baik dan berlebih dari apa yang telah dimiliki sebelumnya. Demikianlah penjelasan yang disampaikan oleh Prof Quraish Shihab dalam risalah beliau “Kitab Al-Misbah”, sehubungan dengan pembahasan ayat ke-7 Surah Al-Fatihah berikut ini:

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

ṣirāṭallażīna an‘amta ‘alaihim, gairil-magḍūbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Q.S Al-Fatihah [1] : 7

Nikmat pada ayat ini dikaitkan dengan kata shirat yang terdapat pada ayat ke-6 Surah Al-Fatihah “ihdina shiratal mustaqiim”.

Kata ash-shirat terambil dari kata saratha (سر ط) dan karena huruf س (sin) dalam kata ini bergandengan dengan huruf (ر) Ra, maka huruf (س) sin terucapkan (ص) shad sehingga menjadi ( صراط ) shirat atau ز (Zai) (زراط). Asal katanya sendiri bermakna “menelan”. Jalan yang lebar dinamai shirat karena sedemikian lebarnya sehingga ia bagaikan menelan si pejalan.

Kata shirath ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali semuanya dalam bentuk tunggal (mufrad), 32 kali di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqim, selebihnya dirangkaikan dengan berbagai kata seperti as-sawiy, sawa, dan al-jahim. Selanjutnya bila shirath dinisbahkan kepada suatu maka penisbahannya adalah kepada Allah SWT. Seperti kata shirataka (jalan-MU) atau shirathi (jalan-KU), atau shirath al-azis al-hamid, (jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji), dan kepada orang-orang mukmin yang mendapat anugerah nikmat Ilahi.

Hal ini berbeda dengan kata sabil yang juga sering diterjemahkan dengan “jalan”. Kata sabil ada yang berbentuk jamak seperti subulus salam (jalan-jalan kedamaian), ada pula yang tunggal, dan ini ada yang dinisbatkan kepada Allah seperti sabilillah, atau kepada orang bertaqwa seperti sabil at-muttaqiin, dan ada juga yang dinisbahkan kepada setan dan tirani, seperti sabil at-thaghut atau orang-orang berdosa seperti sabil al-mujrimiin.

Keadaan Umat Islam

Umat Islam sudah barang tentu hafal dan setiap kali melaksanakan salat senantiasa membaca surah Al-fatihah, dimana didalamnya termaktub untaian doa dan pengharapan agar dikaruniai dengan “ash-shirat”, dan bukan “ash-sabil”.

Sebagaimana telah dikemukakan pengertian secara etimologi diatas, bahwa ash-shirat hanya satu (mufrad) dan senantiasa bersifat benar dan hak, berbeda dengan Sabil yang bisa benar, bisa salah, bisa merupakan jalan orang bertaqwa dan bisa pula menjadi jalanan orang durhaka. Maka sudah sepatutnya kita melakukan muhasabah, bertanya kenapa situasi umat Islam umumnya dan khususnya ditanah air seolah masih diselimuti “awan tebal”, dengan berbagai indikator yang masih terus memerlukan peningkatan secara kualitas. Belum ada survey yang telah dilakukan perihal apa hubungan antara bacaan surah Al-Fatihah (dengan berbagai Fadhila dan karomahnya) dengan kondisi umat Islam. Dugaan kami, adalah pada umumnya umat Islam belum memahami baik isi dari kandungan “Ummul kitab” demikian luas dan mendalam seperti Samudera ini.

Oleh karena itu, catatan ini kami maksudkan semoga dapat menjadi bahan renungan kaum muslimin terutama para pembaca, dengan harapan semoga Allah SWT memberikan bimbingan-Nya, sehingga tergerak untuk lebih mendalami kandungan makna surah Al-fatihah.

Surah Al-fatihah bukan hanya kesimpulan global dari isi kandungan Al-Qur’an secara keseluruhan, namun juga bacaan wajib bagi umat Islam dalam setiap salat. Menunjukkan betapa penting posisi surah Al-fatihah ini dalam mempengaruhi keseluruhan aktifitas umat Islam.

Nikmat jalan berupa shirat (jalan yang lapang, luas, lebar, bebas hambatan) yang senantiasa dimintakan dalam salat, adalah janji Allah kepada umat Muhammad SAW, dimana melalui implementasinya umat Islam diberi jaminan untuk memimpin peradaban manusia. Jika janji Allah ini belum nampak terlihat dalam kehidupan sehari-hari, maka sekali lagi sudah sepatutnya lah umat Islam melakukan muhasabah sejauh mana isi kandungan “Ummul Al-Qur’an” ini telah mampu diaplikasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dikatakan nikmat berupa jalan yang luas, karena jalan yang telah ditunjukkan bagi umat Muhammad SAW itu, hanya dapat dilalui oleh mereka yang “berserah diri kepada Allah” atau muslimuun”, dan tidak akan dilalui oleh mereka yang durhaka atau dholim. Sehingga yang melalui jalan itu jumlahnya tidak banyak, karena telah terseleksi. Berbeda dengan jalan “Sabil” dikatakan sempit karena semua karakter manusia dapat melalui jalan-jalan itu, sehingga terjadi antrian, kemacetan di sana-sini, dikarenakan banyaknya orang yang melaluinya.

Jalan ash-shirat itu tiada lain adalah jalan orang-orang yang bertauhid. Jalan orang yang hanya berserah diri kepada Allah semata.

Dan inilah yang semestinya hadir dalam gerak langkah kaum Muslimin, senantiasa berserah diri semata hanya kepada Allah SWT. Dan karena itu, ayat ini dikaitkan dengan keteladanan dari umat yang telah terlebih dahulu melakukan penyerahan diri kepada Allah SWT, dan bukan jalan dari mereka yang melakukan pembangkangan, atau enggan berserah diri.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua.

Depok, Sabtu 31 Juli 2021

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *