Aneh tapi Nyata! Pemerintah Hapus Data Kematian dari Indikator Penanganan Covid, Ahli: Ngaco

Foto: Politik Today
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



 

Jakarta, Hajinews.id – Keputusan pemerintah untuk menghapus data kematian pasien corona dari indikator penanganan COVID-19 dinilai “ngaco” oleh ahli epidemiologi. Pemerintah didesak untuk memperbaiki data kematian pasien corona, alih-alih menghapusnya dari indikator evaluasi penanganan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kritik ini bermula ketika Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui bahwa pihaknya telah menghapus angka kematian pasien corona dari indikator penanganan COVID-19. Dia menjelaskan, keputusan itu diambil karena data kematian pasien corona memiliki masalah input hingga bisa menimbulkan distorsi penilaian.

“Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian,” kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin (9/8) malam.

Pengakuan Luhut ini muncul tatkala pemerintah melonggarkan level PPKM di 26 kabupaten/kota dari Level 4 menjadi Level 3 pada 10 hingga 16 Agustus 2021. Luhut mengatakan, pelonggaran level PPKM di 26 kabupaten/kota tersebut “melanjutkan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup signifikan.”

Meski demikian, kematian akibat COVID-19 di Indonesia masih yang tertinggi di dunia dalam sepekan terakhir dan konsisten di atas 1.000 per hari. Luhut menyebut bahwa diakibatkan oleh adanya kesalahan pada saat memasukkan data kematian, sehingga keputusan selanjutnya yakni dengan meniadakan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19.

Keputusan tersebut disebut “ngaco” oleh ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Jika pemerintah punya masalah input data kematian hingga menimbulkan akumulasi data yang bisa mendistorsi penilaian, mestinya yang dilakukan adalah perbaikan data, bukan indikatornya yang dihapus.

Ngaco. Semua indikator itu dikembangkan melalui suatu proses. Kalau tidak bisa diinterpretasikan, bukan berarti dihapus.- Pandu Riono, ahli epidemiologi Universitas Indonesia –

“Yang menjadi pertanyaan, kalau masalahnya di data, datanya diperbaiki. Bukan indikatornya yang dihapus. Itu cara berpikir yang salah,” katanya kepada kumparanSAINS, Selasa (10/8). Kalau kita tidak tahu kematian, apa yang terjadi? Bagaimanapun juga indikator ini mengindikasikan suatu fenomena. Kalau kematiannya masih tinggi, itu artinya ada suatu masalah yang mesti diatasi.”

Senada dengan Pandu, epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman juga menilai bahwa pemerintah tak bisa menjadikan alasan sengkarut data sebagai dalih menghapus data kematian dari indikator evaluasi.

Dicky menjelaskan, indikator wajib dalam pengendalian pandemi itu ada indikator awal dan indikator akhir. Indikator awal termasuk kasus harian, test positivity rate, angka reproduksi. Selain itu, ada pula indikator akhir yang mencakup keterhunian rumah sakit dan data kematian.

“Dampaknya sangat serius, ya. Artinya, kita menjadi buta terhadap situasi. Karena indikator kematian adalah indikator wajib dalam memantau,” ucap Dicky dilansir kumparanSAINS, Selasa (10/8), menanggapi keputusan pemerintah menghapus data kematian sebagai indikator evaluasi penanganan.

“Kalau tidak ada, ya kita kehilangan (arah). Seperti mobil kehilangan kaca spion. Kita enggak bisa melihat kebelakang. Dan ini berbahaya banget.”

Hingga kini, tidak jelas apakah pemerintah akan tetap menghapus data kematian dari indikator penanganan pandemi untuk evaluasi PPKM pada tanggal 16 Agustus nanti. Sebelumnya, data kematian merupakan salah satu indikator penetapan level PPKM.

Perlu dicatat, apa yang dipermasalahkan para ahli adalah tidak dimasukkannya data kematian pasien corona dalam evaluasi penanganan pandemi di Indonesia. Bagaimanapun, data kematian corona masih di-update secara berkala oleh pemerintah.

Dicky menegaskan, pemerintah perlu memperbaiki input data ketimbang menghapus indikator kematian. Sebab, indikator kematian merupakan salah satu indikator wajib dalam evaluasi penanganan.

“Kalau alasannya adalah masalah sengkarut data, ya tidak bisa,” ujar Dicky. “Bukan menjadi alasan kita hilangkan, tapi harus kita perbaiki. Data itu begitu. Kalau kita punya masalah kan, bukan dihindari, tetapi diperbaiki.”

Dihapusnya data kematian dari indikator evaluasi penanganan juga disayangkan oleh koalisi masyarakat LaporCovid-19.

Menurut Irma Hidayana, co-initiator LaporCovid-19 sekaligus seorang konsultan independen kesehatan masyarakat, data kematian merupakan salah satu indikator terpenting untuk melihat seberapa buruknya dampak pandemi bagi masyarakat.

“Angka kematian yang selama ini ada di Indonesia pun sebenarnya belum cukup untuk mengetahui dampak pandemi,” tutur Irma dilansir kumparanSAINS, Selasa (10/8).

“Mestinya pemerintah justru menyempurnakan data statistik COVID-19-nya dengan data angka kematian probable dan akibat pandemi, di samping angka kematian terkonfirmasi COVID-19. Bukan malah menghilangkan indikator kematian.” (dbs).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *