Optimisme Penanggulangan Stunting di Indonesia

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Lukman Waris: Alumni Pogram Doktor Epedimologi Universitas Indonesia, Akademi, Praktisi dan Peneliti

Hajinews.id – Stunting adalah kondisi gagal tumbuh kembang anak di bawah usia 2 tahun akibat malnutrisi kronis dan infeksi berulang. Kasus stunting menyebabkan persoalan pada sumber daya manusia dalam jangka panjang sebab akan menciptakan generasi yang mempunyai daya saing yang rendah, meningkatkan beban pembiayaan negara di sektor kesehatan, memperpendek usia harapan hidup (UHH) dan meningkatkan risiko terjadinya mortalitas dan morbiditas.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pengertian Stunting tidak bisa diartikan kerdil atau cebol (stunted). Penderita stunting pasti stunted namun tidak semua stunted adalah stunting. Masih sulit mencari padanan dalam bahasa Indonesia untuk menterjemahkan stunting sehingga memakai kata stunting masih lebih baik. Tidak sedikit tokoh nasional atau dunia dengan tinggi badan dibawah rata-rata namun mempunyai tingkat intelegensi diatas rata-rata. Tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami stunting tetapi hanya stunted. Penderita stunting mengalami gagal tumbuh dan kembang. Gagal tumbuh berkaitan dengan tinggi badan sementara gagal kembang berkaitan dengan perkembangan kognitif kemudian menentukan tingkat kecerdasan. Stunted hanya mengalami masalah gagal tumbuh yaitu tinggi badan dibawah rata tetapi tidak mengalami gagal kembang sehingga kemampauan kognitifnya tidak terganggu.
Pertemuan 189 negara anggota PBB menyepakati Millineum Development Goals (MDGs) tahun 2000 dan berakhir tahun 2015 yang menyisakan “PR” diantaranya belum tercapainya target Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan, Angka Kematian Bayi (AKB), penyakit menular (HIV/AIDS, Malaria). MDGs kemudian dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2015 dimana salah satu target yang akan dicapai pada tahun 2030 adalah memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua dengan target mengurangi rasio angka kematian ibu dan mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan balita. Prevalensi stunting ditargetkan 14% tahun 2024. Saat ini prevelensi stunting di Indonesia sekitar 25% (tahun 2019 sebesar 27,67% dengan asumsi penurunan sekitar 1%) sehingga untuk mencapai target SDGs 2024 diperlukan penurunan stunting rata-rata diatas 3% pertahun.

Pentingnya Penanggulangan Stunting
Mencapai target penanggulangan stunting membawa manfaat yang sangat besar terhadap kehidupan bangsa dan negara. Secara garis besar, penanggulangan stunting akan menciptakan generasi unggul dimasa mendatang sehingga mempunyai daya saing global untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pentingnya penaggulangan stunting akan diuraikan sebagai berikut:

1. Menurunkan risiko kematian anak dan ibu
Kesakitan dan kematian di Indonesia sejak tahun 1990 ke 2017 dipengaruhi oleh perubahan transisi demografi dan teknologi menyebabkan terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Transisi epidemiologi penyakit dikenal dengan triple burden disease yaitu penyakit menular (communicable disease) masih menjadi masalah, penyakit tidak menular (non communicable disease) semakin bertambah dan penyakit infeksi baru (new emerging disease) atau penyakit yang pernah dinyatakan hilang (re-emerging disease) muncul kembali.

Kematian pada anak dan ibu masih didominasi oleh penyakit menular, masalah gizi dan KIA. Angka kematian bayi dan balita telah berkurang dari separuh antara tahun 1990 sampai 2017 namun masih dianggap masih menjadi masalah karena menyebabkan kesakitan dan kematian. Penyakit penyebab kematian pada bayi dan balita adalah pneumonia, penyakit bawaan, diare (19% dan komplikasi neonatal, cedera, campak dan malaria di daerah endemis akibat dari risiko hidup di kondisi lingkungan yang buruk dan perilaku yang tidak sehat). Sementara penyebab kematian ibu hamil karena terinfeksi HIV.

Tingkat kerentanan anak mengalami infeksi sangat dipengaruhi oleh tingkat imunitas. Stunting menurunkan tingkat imunitas sehingga lebih mudah mengalami penyakit infeksi. Kejadian stunting diawali pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). 1000 HPK meliputi 270 hari usia janin di dalam kandungan (usia 9 bulan) dan 730 hari setelah lahir (usia 24 bulan). Bayi dari seorang ibu yang mendapatkan asupan gizi yang cukup dan seimbang cenderung akan melahirkan bayi terhindar dari stunting. Pada masa ini perkembangan organ-organ tubuh sudah mulai terbentuk dan terus kembang menjadi optimal. Anak yang sehat tidak mengalami stunting mempunyai rsiko mengalami infeksi lebih kecil sehingga menurunkan risiko terjadinya kematian anak dan ibu akibat penyakit infeksi.

Stunting membawa konsekuensi risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi. Kehidupan selanjutnya skor kognitif yang rendah, dan dalam jangka panjang mempunyai risiko terjadinya sindrom metabolik berdampak pada meningkatkan prevalensi diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, kanker, stroke, ginjal, dan penyakit tidak menular lainnya.

Berdasarkan Riskesdas 2018, masalah gizi yang dihadapi adalah gizi buruk (3,9%) dan kurang (13,8%), balita pendek (18%) dan sangat pendek (19,2%). Masalah KIA dalah ANC (96%), K4 (74%), kunjungan neonatal pertama yaitu 6-28 jam (84,1%, imunisasi dasar lengkap (59,2%) dan masih ada 9,2% tidak imunisasi, pemberian ASI (50%) dengan ASI ekslusif (37,3%), obesitas 21,8%, overweight 13,6% dan BBLR (6,2%). Angka-angka yang berkaitan dengan stunting mengisyaratkan kita bahwa masih yang banyak perlu dilakukan dalam rangka mengurangi prevalensi stunting.

2. Menciptakan generasi yang unggul
Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal hanya akan dicapai bila anak tidak stunting. Perkembangan diterjemahkan kemampuan kognitif anak mencapai tingkat kecerdasan maksimal yang berdampak pada kemampuan menyerap ilmu dan mengikuti pelajaran selama di sekolah. Anak yang cerdas mempunyai daya saing yang tinggi sehingga menjadi generasi unggul pada tingkat global.

Prevalensi stunting yang rendah bukan hanya menciptakan generasi unggul namun akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia/IPM (human development index). IPM ditentukan oleh 3 faktor yaitu ekonomi, pendidikan dan Usia Harapan Hidup (UHH). Menanggulangi stunting akan memberikan konstribusi besar terhadap peningkatan UHH, melahirkan anak yang cerdas sehingga mengurangi tingkat buta huruf dan mengurangi beban ekonomi keluarga yang pada akhirnya memberikan manfaat terhadap peningkatan IPM.

UHH Indonesia masih dibawah Singapura, Thailand, Malasyia dan Vietnam yaitu sebesar 71,4 tahun. Selain UHH masih rendah, heal adjusted life expectancy (HALE) juga rendah yaitu 62,65 tahun sehingga disability adjusted life year (DALYs) atau usia produktif yang hilang sebesar 8,83. DALYs adalah jumlah tahun yang hilang untuk hidup sehat karena kematian dini, penyakit atau disabilitas. Keberhasilan pengobatan memperpanjang UHH bagi penderita penyakit dislipidemia memperpanjang usia penderita namun kehilangan usia produktif.

3. Mengurangi beban negara
Kita ketahui bersama bahwa JKN saat ini mengalami beban dalam membiayai penyakit-penyakit katastropik. Penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke adalah penyakit yang menempati urutan teratas dalam menyerap biaya pengobatan dan perawatan yang lama dan berbiaya tinggi. Suatu dilemma yang dihadapi oleh negara, satu sisi negara terbebani biaya pengobatan dan perawatan, sisi lain dampak pengobatan dan perawatan meningkatkan UHH dibarengi dengan peningkatan DALYs.

Timbulnya penyakit-penyakit katastropik berawal dari tingginya kasus stunting. Anak yang stunting selain mempunyai skor kognitif yang rendah pada kehidupan selanjutnya juga akan meningkatkan risiko terjadinya sindrom metabolik yang berdampak pada risiko meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM). Saat ini, prevalensi DM berdasarkan hasil Riskesdas 2018 sebesar 2% (2013, 1,5%), gagal ginjal salah satu komplikasi DM: 3,8% (201, 2,%), stroke: 10,9 %o (2013, 7%o) dan penyakit jantung: 1,5%. Keadaan ini menyebabkan banyak usia dewasa produktif mengalami disabilitas prematur bahkan kematian dini. Dampak jangka panjang dari penyakit tersebut menyebabkan negara harus mengeluarkan biaya pengobatan dan perawatan yang berakibat kerugian ekonomi sebanyak rata-rata 300 Trilyun per tahun.

4. Memperpanjang Usia Harapan Hidup (UHH)
Hakekat dari tujuan pembangunan kesehatan nasional adalah meningkatkan UHH yang maksimal dengan tetap sehat dan produktif. UHH maksimal akan dapat tercapai apabila bebas dari penyakit yang menyebabkan kematian dan produktif akan tercapai apabila bebas dari penyakit yang menghilangkan produktifitas dampak dari penyakit yang diderita oleh masyarakat. Dengan demikian akan dicapai masyarakat yang sehat dan unggul sebagai pilar Negara yang unggul.

II. Mengatasi stunting
Stunting tidak bisa lagi dianggap sebagai persoalan kesehatan semata tetapi sudah persoalan multikompleks yang membutukan tindakan extra ordinary dengan pemikiran yang out of the box. Dibutuhkan pendekatan spesifik dan sensitif. Spesifik adalah pendekatan dengan program-program kesehatan yang tajam. Sensitif dengan pendekatan program-program diluar kesehatan yang mempunyai nilai ungkit terhadap penanggulangan stunting.

1. Memperkuat UKBM
Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKMB) adalah sarana yang sangat strategis dalam mengatasi stunting. Pendekatan upaya kesehatan promotif dan preventif yang dilakukan di UKBM baik di posyandu maupun posbindu untuk mengatasi stunting merupakan upaya yang tepat karena lebih mudah, murah dan efektif. Upaya ini menyentuh langsung masyarakat di komunitas.

Pengalaman penulis sejak menjadi petugas puskesmas sampai menjadi peneliti menilai bahwa, keberadaan posyandu dan posbindu sebagai UKBM semakin diterima dan diminati oleh masyarakat. Kegiatan UKBM selain mengukur dan mencatat ukuran-ukuran kesehatan misalnya berat-badan, panjang badan, tinggi badan dan lain-lain perlu dilanjutkan dengan analisa dan ditindak lanjuti berupa intervensi bagi yang berisiko. Anak yang tidak mengalami kenaikan berat badan atau ibu hamil dengan lingkar lengan atas (LILA) kurang dari 23,5cm harus diketahui penyebabnya untuk dilakukan penanggulangan.

Melakukan pengukuran mungkin bisa dilakukan oleh seorang kader yang selama ini menjadi tumpuan UKBM, namun menganalisa dan mencari solusi hanya bisa dilakukan oleh tenaga professional kesehatan masyarakat. Sebenarnya analisa penyebab terjadinya masalah kesehatan di UKBM adalah tanggung jawab puskesmas namun dengan perbaikan sistem JKN saat ini dengan meningkatnya coverage peserta JKN membuat puskesmas terbebani tugas yang berat di pelayanan klinik.

Kita dapat menyaksikan puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) setiap hari melayani pasien yang membludak untuk mendapatkan pelayanan pengobatan. Sebagian besar sumber daya puskesmas terkuras dalam menjalani tanggungajwab ini. Padatnya pelayanan di dalam gedung berdampak pada “tersingkirnya” salah satu tugas utama puskesmas yaitu pelayanan kesehatan preventif dan promotif di komunitas. Untuk menanggulagi kondisi tersebut dibutuhkan kehadiran tenaga professional kesehatan masyarakat dalam membantu puskesmas menangani tugas di luar gedung termasuk di UKBM.

2. Tenaga Kesehatan Masyarakat Desa (TKMD)
Tugas kader yang selama ini banyak membantu dan menjadi tumpuan puskesmas di UKBM sudah saatnya bertransformasi dan ditangani oleh tenaga professional. Kehadiran kader tetap dibutuhkan namun dibutuhkan pendampingan untuk menjalani tugas yang semakin vital di komunitas. Dibutuhkan Tenaga Kesehatan Masyarakat Desa (TKMD) yang mempunyai keahlian dalam pendekatan upaya preventif dan promotif. TKMD adalah alumni Fakultas Kesehatan Masayarakat baik yang sarjana maupun yang magister (latar belakang dokter, dokter gigi, SKM, gizi, sanitarian,epidemiologi, promosi) yang secara keilmuan dibekali cara-cara untuk melakukan pelayanan kesehatah dibidang preventif dan kuratif. TKMD mempunyai kompetensi dalam membaca indikator-indikator dan hasil pengukuran yang berkaitan dengan gizi dan dapat melakukan pendekatan, penyuluhan, promosi dan advokasi kepada masyarakat dalam mengubah perilaku.

3. Biaya kapitasi
Melakukan pelayanan kesehatan masyarakat di komunitas pada dasarnya adalah tugas dan tanggungjawab puskesmas. Suatu kenyataan bahwa saat ini, puskesmas menghadapi tugas berat memberikan pelayanan pengobatan kepada pasien BPJS yang membludak. Dibutuhkan TKMD yang dapat menjalankan tugas puskesmas di komunitas sekaligus sebagai gate keeper di hulu agar dapat menekan arus masyarakat yang berobat ke puskesmas karena sakit.

Pelimpahan tugas dan tanggungjawab puskesmas kepada TKMD di komunitas disertai dengan hak-hak berupa pembayaran. Anggarannya dapat diambil dari dana kapitasi BPJS yang diterima oleh Puskemas. Mekanisme pembiayaan ini tidak membebani keuangan negara namun justru dalam jangka panjang menguntungkan negara karena dengan tugas TKMD dengan pendekatan preventif dan promotif akan mengurangi prevalensi stunting. Kelak, 50 tahun kemudian negara akan menghasilkan generasi-generasi sehat dan unggul, generasi yang mempunyai daya saing ditingkat global.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *