Panteisme & Fatalisme

Panteisme & Fatalisme
Panteisme & Fatalisme
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Irawan Santoso Shiddiq

Hajinews.id – Peradaban, kerap berganti dan berputar karena urusan aqidah. Tak ada peradaban bermula dari “perdagangan” ataupun soal pergantian uang. Karena soal uang, itu buah dari “pergantian aqidah”. Emas dan perak berubah menjadi kertas, itu buah perjalanan aqidah manusia. Ini catatan dari jejak sejarah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Romulus dan kembarannya, mendirikan Romawi, karena menolak penyembahan api. Dia percaya pada Tuhan Yang Tunggal. Perbuatan baik dan perbuatan buruk, datang dari Tuhan. Romulus menolak “upacara tolak bala” ke dewa api, demi menghindari perbuatan buruk.

Romawi berdiri. Peradaban pun berganti. Hingga Romawi kokoh dengan aqidahnya. Hingga melebar menguasai negeri Alexandria. Peradaban Chartago di Libya dikalahkan. Hingga Romawi kemudian terserang virus filsafat. Doktrin ‘ketunggalan’ mulai ‘dipikir ulang’. Thales (4 SM), sang filosof, menyebarkan ajaran. Tuhan, katanya, merupakan domain yang harus bisa dijamah akal. Rasio. Lalu disambut Parmeidas (540-475 SM). Tuhan, bukanlah lagi kemanunggalan. Melainkan ada jarak ‘keterpisahan.’ Karena Tuhan haruslah yang bisa dijamah rasio. Akal.

Hingga hadir Socrates yang melegenda. Dia mengembangkan filsafat. Tentang akal sebagai parameter. Termasuk dalam menentukan Tuhan. Dari situlah filsafat makin mengakar. Segala sesuatunya adalah ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘perbuatan Tuhan.’ Ini berefek pada pemahaman tentang takdir. Karena ‘wujud’ merupakan suatu yang berasal dari akal. Plato menyebutnya dengan ‘idea’. Tuhan memberikan ‘akal’, dari sana muncul ‘idea’. Manusia bertugas menggali ‘idea’. Aristoteles menyebutnya ‘substansie’. Maka, takdir pun dianggap sebagai ‘perbuatan manusia.’ Bukan lagi ‘perbuatan Tuhan.’ Dari rasio, kemudian hadirlah ‘being’. Inilah filsafat. Akal sebagai punggawa. Dan cara berpikir ini, yang menurut Hujjatul Islam, Imam al Ghazali, disebut sebagai filosof illahiyyun (filsafat Ketuhanan).

Dan ajaran ini mempengaruhi Romawi.

Berabad kemudian, model kekuasaan Romawi berganti. Dari republik menuju kerajaan. Polybios, sejarahwan Romawi mencatatkan. Dia punya siklusnya. Dikenal siklus Polybios. Kekuasaan akan berganti model. Dari Monarkhi-tirani-aristokrasi-oligarkhi-demokrasi-okhlokrasi- kembali lagi ke monarkhi. Ini bergantung pada aqidah juga. Karena Ibnu Khaldun bilang, agama suatu pemimpin, mempengaruhi masyarakatnya. Aqidah suatu kepemimpinan, mempengaruhi bagaimana ‘civil society’ itu. Ini gambarannya.

Masa Cicero, Romawi pun berubah. Paham filsafat menyeruak. Kaum Romawi mulai terperangah bahwa segala sesuatunya merupakan ‘perbuatan manusia’. ‘Perbuatan Tuhan’ mulai ditanggalkan. Alhasil mengubah pola kekuasaan Romawi. Takdir, dianggap sebagai buah dari ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘perbuatan Tuhan.’ Alhasil Julius Caesar pun dibunuh di depan Senator. Karena Caesar dianggap bukan lagi ‘wakil Tuhan.’ Kaisar bukan lagi buah ‘perbuatan Tuhan.’ Karena Kaisar Romawi, hanya sebatas ‘perbuatan manusia.’ Brutus pun menikamnya. Cicero menyaksikannya, dan mengutuknya.

Penikaman Caesar, dianggap bencana republik. Dan Romawi pun, harus kembali pada model republik, kata Cicero. Sebagaimana dulu Romulus mendirikan peradaban itu dari tepi sungai Tiberias.

Abad 4 M, Romawi barat runtuh. Bubar. Nasrani memegang kendali. Tapi dogma telah bergeser. Ajaran Isa Allaihisalam, diterjemahkan banyak versi. Di barat, ajaran itu dikooptasi Gereja Roma. Mereka mengendalikan ‘imperium’ bekas Romawi di Eropa. Di Timur, Romawi tetap berdiri. Dengan ajaran unitarian, Satu Tuhan. Bukan Trinitas. Peradaban Nasrani abad pertengahan pun terbelah: antara ajaran Trinitas dan Unitarian. Keduanya masih mengambil simbolisasi Romawi. Tapi Kaisar Justianus, menutup akademi Plato. Ajaran filsafat dilarang. Illegal. Karena filsafat dianggap momok bagi ajaran agama.

Abad 7 M, Rasulullah Shallahuallaihiwassalam menyebarkan Islam. Madinah menjadi sentral penegakan Tauhidullah. Kemudian melebar dan membesar. Islam berada diantara dua ‘aqidah’ besar yang bersarang pada Romawi dan Persia. Romawi dengan ‘fatalisme’-nya. Dan Persia dengan ‘ateisme’nya. Karena Persia kembali menyembah api. Karena ‘perbuatan buruk’ datang dari dewa api. Maka tolak bala dilakukan dengan menyembah api. Disinilah dualisme tentang aqidah. Ini yang disebut menduakan Tuhan. Karena dua sisi perbuatan: perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Qudrah dan Iradah berada pada sisi yang berbeda. Persia mengadopsi total filsafat, peninggalan Yunani dan Romawi. Sementara sebaliknya, fatalisme, menganggap manusia tak memiliki ‘kehendak’ dan daya. Alhasil berujung pada fatalisme. Manusia seolah tak berdaya pada ‘tragedi’, dan menerima begitu saja. Tanpa bisa melakukan usaha.

Fatalisme ini merebak seantero Eropa. Masa sebelum rennaisance datang. Karena sebelumnya terjadi peristiwa. Belantara Islam sempat terserang virus filsafat. Ini yang disebut era mu’tazilah. Ketika Islam membesar, mengalahkan Persia, kitab-kitab filsafat diadopsi. Muncullah ajaran filsafat merasuki dunia Islam. Al Farabi, Ibnu Sina, Al Kindi sampai Ibnu Rusyd mengumandangkannya. Masa itu, muslimin berjaya dalam soal sains. Karena sains merupakan anak kandung filsafat. Berpikir ala saintifik menjadi trending. Andalusia hingga Baghdad menjadi sentral akademis pembelajaran filsafat. Hingga Hulagu Khan diutus Allah, untuk membakar seluruh buku-buku filsafat di sungai Nil. Masa mu’tazilah membesar itulah, muslimin kali pertama kehilangan Al Quds. Kejayaan saintifik tak berbanding lurus dengan kekuatan dan kejayaan Islam. Itu terbukti.

Dan Hujjatul Islam, Imam Ghazali memberikan bantahan dan pelurusan. “Tahafut al Falasifah” menjadi titik awal penyerangan pada filsafat. Muslimin kembali pada aqidah Tauhidullah yang benar. Setelah sebelumnya Imam Asyari memberikan rumusan. Tentang bagaimana aqidah ahlul sunnah waljamaah. Disitulah Imam Asyari memberikan batasan: manusia bisa melakukan usaha, tapi Tuhan yang menentukan. Aqidah ini membelah dan meluruskan fatalisme dan panteisme. Shaykh Abdalqadir al Jilani, memberikan lagi ajaran tassawuf, jalan aman memahami dan mengamalkan Tauhidullah. Agar tak terjerambab pada fatalisme dan panteisme. Tassawuf itulah yang membendung agar paham “kemenyatuan” ala panteisme tak membabi buta. Dan “keterpisahan” ala filsafat, tak berujung pada ateisme. Namun jamak terkecoh, seolah tassawuf itu serupa dengan ‘wahdatul wujud’ ala al Hallaj. Dan fitnah pada Ibnu Arabi, tassawuf falsafati yang identik dengan panteisme. Disitulah kekeliruan dalam membaca Muhyiddin al Akbar Ibnu Arabi.

Masa itu, filsafat pun meredup. Tapi kaum Eropa memungutnya. Thomas Aquinas mengambil ajaran Ibnu Rusyd. Di sana filsafat digunakan untuk melawat fatalisme. Karena dogma Gereja Roma, berkembang ‘bak’ fatalis. Manusia seolah tak berdaya melawan takdir. Ini termasuk dalam perihal kekuasaan. Dokrin ‘Vox Rei vox Dei’ tak boleh disanggah. Suara Raja Suara Tuhan. Kaum bangsawan dan Agamawan menjadi strata tertinggi. Mereka bebas pajak. Disinilah penentangan terjadi. Magna Charta , abad 13, di Inggris, memberikan perlawanan. Kaum Kesatria, pemegang ajaran Isa Allaihisalam, melawan. Mereka mendobrak fatalisme tentang Raja. Bahwa Raja bisa saja salah. Makanya Raja John dipaksa menandatangani kesepakatan ulang, tentang hukum. Disitulah Magna Charta tertera. Fatalisme mulai goyah.

Muncul lagi doktrin filsafat yang menggema-gema. Mulailah rennaisance berkumandang. Mencuatlah beragam pandangan lagi soal aqidah. Serangan pada fatalisme menyeruak. Tapi panteisme kemudian muncul. Baruch Spinoza dianggap mengumandangkan. Dia berteori bahwa Tuhan dianggap sama dengan semesta alam. Ajaran ini seolah “wahdatul wujud” versi Eropa. Hanya, panteisme ala Spinoza tak membesar. Karena kalah dengan pengaruh filsafat yang membahana. Dari Aquinas, Francis Bacon hingga melahirkan Rene Descartes. Disinilah titik lahirnya modernitas. Cogito ergo sum ala Descartes, inilah titik mula manusia modern terperangah tentang “keterpisahan” antara manusia dan Tuhan. Karena sejak itu manusia didoktrin bahwa Tuhan hanya bak pembuat jam. Ketika jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Modernitas pun menyala.

Sejak itulah manusia, seolah berkuasa dalam ‘qudrah dan iradah’. Descartes mengatakan, manusia berhak menyelidikan tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan lainnya. Inilah kategori yang menurut Imam Ghazali, sebagai filosof dahriyyun. Filsafat ateisme.

Sejak itulah fatalisme mengalami perlawanan. Paham ‘keterpisahan’ menyeruak. Manusia dianggap sebagai penentu. Qudrah dan Iradah sepenuhnya dianggap sebagai domain manusia. Bukan domain Tuhan. Karena “cogito ergo sum,” hingga teori relativitas-nya Einstein hanya menteorikan bahwa manusia yang berhak atas ‘being’. Klimaks dari paham ini memunculkan pemberontakan pada ‘kekuasaan’ fatalisme yang telah bersarang berabad-abad. Revolusi Perancis, 1789, menjadi titik mula manusia yang ‘berkuasa.’ Doktrin ‘Vox Rei Vox Dei’ dikudeta. Menjadi ‘vox populi vox Dei.’ Manusia yang berhak membuat hukum. Manusia yang berhak mengatur kehidupan dunia, dari berbagai sisi. Pemimpin, atau penguasa, bukan lagi dianggap sebagai Kehendak Tuhan. Melainkan berlandaskan kehendak manusia. Dan hukum, eliminasi terhadap Kebenaran Tuhan, yang selama ini diwujudkan dalam kitab suci. Manusia melahirkan konstitusi, sebagai buah dari ‘perbuatan manusia’.

Sejak itulah, teori Cartesius hingga Immanuel Kant mempengaruhi modernitas. Dan, memaksa manusia untuk meyakini bahwa “segala sesuatu adalah materi”. Inilah ajaran Newton hingga Einstein. Dan periode inilah lebih kejam dibanding masa mu’tazilah –yang notabene—masih membawa manusia pada Tuhan. Sementara modernitas, mengeliminasi Kebenaran Tuhan. Panteisme yang berujung pada ateisme. Manusia seolah menjadi Tuhan. Nietszche menyebutnya sebagai “psikosis manusia modern”. Ian Dallas, pemikir besar Eropa kini, mengistilahkannya dengan sindrom Oedipus. Karena “manusia yang hendak menjadi Tuhan.” Modernitas bukan lagi menjadi panteisme, melainkan manusia seolah “menggantikan” peranan Tuhan.

Karena modernitas melahirkan positivisme. Tentang hukum dan kekuasaan yang bersandar pada Qudrah dan Iradah manusia semata. Maka lahirlah teori Rosseau, yang merujuk pada ‘le contract sociale”. Kekuasaan ditentukan oleh manusia sendiri. Kekuasan tak bersumber dari Tuhan. Tak ada lagi duel contract, sebagaimana disebutkan John Locke. Dari Tuhan dan dari manusia. Melainkan dieliminasi, hanya berasal dari manusia. Inilah positivistik yang kemudian disambut oleh John Austin. Maka lahirlah peradaban modernisme. Dan soal uang, manusia yang berhak menentukan. Yang berujung pada lahirnya rezim imperium bankir. Mereka yang seolah mendapat “kontrak” dari state untuk menentukan alat tukar, yang notabene merupakan Kehendak Tuhan.

Inilah yang diwanti Imam Ghazali dulu, tentang bahayanya filsafat. Karena Nietszche telah menyebutkan: “Filsafat adalah berhala.” Nietszche dengan tegas menyerang teori ala Socrates sampai Aristoteles. Puncaknya, Martin Heidegger mengingatkan tentang filsafat yang tak lagi menemukan Kebenaran. Karena filsafat, katanya, hanya melahirkan ‘kebenaran essensialisme’, bukan kebenaran eksistensialisme. “Dan itu bukan Kebenaran,” katanya.

Dari gambaran, dogma fatalisme yang kembali digelontorkan kepada kaum muslimin. Bentuk fatalisme inilah yang diwujudkan kaum modernis Islam. Yang kemudian mengubah fiqih, yang disesuaikan dengan modernitas. Itulah fiqih kontemporer. Alhasil muncullah “pembaruan Islam’, yang berbentuk Islam yang telah diperbarui.

Fatalisme ini tentu berbeda dengan ajaran ahlul sunnah waljamaah. Dan ini bukan inti dari ajaran tassawuf. Karena tassawuf memberikan jalan menuju Tauhidullah pada yang benar. Dalam tassawuf, “being” itu merupakan Qudrah dan Iradah dari Allah Subhanahuwataala. Manusia berupaya untuk memahaminya, dengan tingkatan mahqam. Sementara ajaran filsafat membaliknya. Seolah “being” muncul dari akal, yang kemudian diturunkan pada jiwa. Batin. Tassawuf merupakan rangkaian dari “down to top.” Bukan ala filsafat: “top to down”. Makanya, sebagaimana ajaran Imam Asyari, manusia boleh melakukan kaysab (usaha), tapi Allah yang menentukan. Dan Tauhidullah itulah yang tersimpan dalam ajaran tassawuf.

Sebagaimana Allah Subhanahuwataala berfirman dalam Al Quran Surat As Shaffat (96):
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَما تَعْمَلُون
“Dan Allah menciptakan perbuatanmu dan apa yang kalian perbuat.”

Ini pertanda bukanlah panteisme maupun fatalisme. Apalagi ateisme. “Being” merupakan Qudrah dan Iradah dari Allah Subhanahuwataala. Sementara manusia, sebagaimana Imam Asyari, hanya bisa melakukan usaha (kasyab). Dan manusia dibatasi oleh syariat-Nya. Dalam syariat, Allah memerangi riba, membenci zina dan judi.

Sementara jika merujuk pada positivistik, maka segala sesuatunya menjadi boleh, jika telah ada “kesepakatan manusia bersama dalam “le contract sociale.” Tentu ini bukanlah maqashid syariat, sebagaimana pembelokan modernis Islam.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *