Atas saran ibundanya, Syarif Hidayatullah kemudian diajak untuk napak tilas perjalanan dakwah Syaikh Datuk Kahfi, guru dari Rara Santang dan waknya Pangeran Walangsungsang, di Gunung Jati, seperti dikutip dari buku “Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit”.
Kemudian Syarif Hidayatullah mendirikan pesantren sebagai tempat mendidik dan mengajar kepada para santrinya di Gunung Jati. Karena Syarif Hidayatullah mendirikan pesantrennya di Gunungjati, maka ia kemudian dijuluki sebagai Sunan Gunung Jati.
Selain menjadi ulama, dalam perjalanan waktunya Sunan Gunung Jati juga dinobatkan menjadi Adipati & Caruban Larung bergelar Susuhunan (artinya orang yang dijunjung tinggi). Ia mewarisi takhta tersebut dari Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana yang bergelar Srimanggana.
Ia mendapatkan gelar tersebut karena ia menikahi putrinya Pangeran Cakrabuana yang bernama Pakungwati. Pangeran Walangsungsang sendiri adalah kakak ibundanya Rara Santang.
Setelah menjadi Adipati di Caruban Larung, barulah Sunan Gunungjati kembali pada tujuan awalnya yaitu berdakwah kepada eyangnya. Ia bersilaturahmi kepada eyangnya Prabu Siliwangi, di Pajajaran. Sunan Gunung Jati berdakwah dengan merayu kepada eyangnya agar berkenan memeluk agama Islam.
Tetapi sayang, dakwah Sunan Gunung Jati mengalami kegagalan. Sebab eyangnya, Prabu Siliwangi tetap mempertahankan agama lamanya, yaitu agama Hindu. Meski demikian, Prabu Siliwangi tidak melarang cucunya melakukan syiar dakwah di wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Sunan Gunung Jati pun mengembangkan sayapnya dalam syiar dakwah agama Islam hingga wilayah ke kuasaan Banten. Namun kali ini, usaha dakwah Sunan Gujung Jati mengalami kesuksesan.
Adipati Banten menerima dengan besar hati agama Islam yang dibawa Sunan Gunung Jati. Bahkan ia menikahkan Sunan Gunungjati dengan putrinya yaitu Nyi Kawungten hingga dikaruniai dua orang anak yang bernama Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.