Bukan Tradisi Muhammadiyah, Haedar Nashir: Merengek-rengek atau Memaksa untuk Dibantu

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Usai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi mengungkap tiga etos dasar Bermuhammadiyah, dia menambahkan empat etos dalam konteks yang sudah jadi tradisi.

Kata Prof Haedar, Muhammadiyah maju karena ada etos kemandirian. Saat ada bencana, Muhammadiyah pasti datang ke setiap tempat untuk berbagi. Bukan hanya untuk Muhammadiyah tapi juga untuk orang banyak. “Itu kalau diakumulasi sudah triliunan rupiah,” ungkapnya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Etos ini berprinsip tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. “Etos ini harus terus kita bangun!” imbaunya dalam pengajian Penguatan Kemuhammadiyahan di lantai 8 Hall Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Senin (11/7/2022).

Etos Kemandirian

Dengan etos mandiri itu, lanjut Prof Haedar, Muhammadiyah bisa maju, bahkan memancing orang lain, termasuk pemerintah untuk membantu. “Tidak mungkin pemerintah bantu kita kalau kita tidak layak dibantu,” ujarnya.

Dia menekankan, “Layak dibantu itu karena kita jujur, insyaallah amanah, dan tidak pernah merengek-rengek, tidak pernah memaksa orang untuk bantu, apalagi mengancam. Itu bukan tradisi Muhammadiyah.”

Prof Haedar pun kembali menegaskan, Muhammadiyah layak dibantu pemerintah. “Karena apa yang bapak ibu pemerintah beri kepada Muhammadiyah itu akan kami kembalikan untuk masyarakat luas,” imbuhnya.

Muhammadiyah Hadir sebelum Pemerintah

Di daerah terjauh di Jawa Timur maupun Indonesia, kata Prof Haedar, selama ini sudah banyak yang Muhammadiyah dan Aisyiyah lakukan. “Di saat pemerintah saat itu belum hadir, kita hadir!” ungkapnya di hadapan sivitas akademika UMG, termasuk kontributor PWMU.CO.

Dia mencontohkan situasi di pulau Ara, Papua Barat, yang masyarakat sulit mengenyam pendidikan karena jauhnya sekolah. ‘’Di sana hanya ada SD Inpres warisan Pak Harto, lalu Aisyiyah mendirikan TK ABA yang siswanya ada yang Muslim, ada yang nonmuslim,” tambahnya. Selain itu, Muhammadiyah mendirikan SMP dan SMA. “Alhamdulillah masyarakat tidak perlu repot ke luar pulau.

Dia menekankan, itulah bukti Muhammadiyah membangun dengan semangat kemandirian. “Harapan kita, biar pun mandiri, kalau mau membantu (Muhammadiyah) jangan ragu-ragu! Jangan yang mandiri tidak dibantu, yang minta-minta malah dibantu,” tuturnya.

“Negara harus adil. Karena, kata Bung Karno, negara didirikan untuk semua, tidak untuk satu golongan,” tambahnya.

Dia yakin, Insyaallah para pejabat negara dari pusat sampai bawah paham tata cara memimpin negara seperti itu.

Etos Membangun Sistem

Alumnus S3 dari Universitas Gadjah Mada ini kemudian menjelaskan etos membangun sistem. Dia mengisahkan, saat membangun persarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan belajar pada organisasi Budi Oetomo.

Sehingga lahirlah organisasi (Muhammadiyah). Waktu itu belum ada tradisi membangun organisasi. Bahkan ada paham di tubuh umat Islam, kalau organisasi itu bid’ah.

Dia lantas bercanda, “Memang benar bid’ah karena bikinan. Tapi kan bukan urusan ibadah dalam arti ibadah mahdhah. Itu urusan muamalah.”

Akhirnya, Rumah Sakit (RS) Muhammadiyah hadir di Jawa Timur tahun 1924, setahun setelah RS Muhammadiyah di Yogyakarta berdiri. “Dr Soetomo yang meresmikan rumah sakit tersebut, menyampaikan Muhammadiyah punya prinsip welas asih,” ungkapnya.

Welas asih yakni menanamkan ajaran cinta kasih kepada orang-orang yang berkekurangan dengan teologi al-Maun. Di mana orang-orang yang punya akses pada kekuasaan itu justru membuka akses dan tangannya untuk memberi kepada pihak yang memerlukan.

Suami dari Noordjannah Djohantini ini meluruskan, itu berbeda dengan ajaran Darwinisme yang berprinsip siapa yang kuat pasti menang. “Itulah yang dipakai kapitalisme, maka yang lemah tidak pernah menang! Karena yang menang akan mengakumulasikan kemenangannya tidak untuk orang lain, tapi untuk dirinya,” imbuhnya.

Dalam membangun sistem, lanjutnya, Muhammadiyah telah menerapkan semua aset atas nama organisasi. Sehingga ketika tidak lagi menjabat maupun dipanggil Allah maka sudah lepas urusan dan tidak ada sangkut paut dengan urusan pribadi.

Dia mengingatkan, “Sekarang sistemnya harus good governence. Yang harus shiddiq, amanah, tabligh, fathanah. Tata kelola yang baik. Insyaallah Muhammadiyah ini membangun sistem yang good governence.”

Dia berharap, negara harus lebih mengajarkan kepada Muhammadiyah perihal good governence. “Karena negara mengelola seluruh Tanah Air dan segala urusan rakyat harus dikelola sebaik-baiknya,” ujarnya.

Maka, kata Prof Haedar, alangkah mulia petinggi negara jika shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Sebaliknya, kalau korupsi, menyalahgunakan kekuasaan secara terbuka maupun tersembunyi, apalagi kalau bersama-sama sehingga lebih kuat, kata Prof Haedar bisa menimbulkan disorder atau ketidakpastian hidup dalam berbangsa dan bernegara.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *