Haji Pembela Islam

Haji Pembela Islam
Haji Pembela Islam
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Bagi kaum Muslim, ibadah haji memang istimewa. Bagi sebagian mereka, ibadah haji boleh dikatakan menjadi ‘puncak spiritual’ mereka.

Tidak aneh, meski kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, kerinduan untuk pergi kembali ke Tanah Suci sering hinggap di kalbu setiap Muslim yang pernah merasakan ‘nikmat’-nya beribadah haji. Karena itu, bagi yang punya kemampuan finansial lebih, ia bisa menunaikan ibadah haji berkali-kali. Tentu karena pengalaman ‘puncak spiritual’ ibadah haji yang ingin berkali-kali pula mereka alami.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Yang menarik, dalam beberapa riwayat, keutamaan ibadah haji disandingkan dengan kemuliaan jihad. Baginda Nabi saw., misalnya, pernah bersabda:

وَفْدُ اللهِ ثَلاَثَةٌ : اَلْغَازِي، وَ اْلحَاجُ، وَ الْمُعْتَمِرُ

“Duta Allah itu ada tiga: orang yang terlibat perang (di jalan Allah), orang yang beribadah haji dan orang yang berumrah.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Beliau juga pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.”(HR al-Bukhari dan Muslim).

Dua hadis di atas menyandingkan keutamaan ibadah haji dengan kemuliaan jihad. Hadis pertama sama-sama menyebutkan orang yang pergi berjihad dan yang pergi berhaji sebagai duta-duta Allah SWT. Adapun hadis kedua malah menempatkan jihad di urutan pertama sebelum haji.

Haji dan Aspek Perjuangan

Karena itulah, pada masa lalu, khususnya di Nusantara, sesungguhnya kaum Muslim tidak membedakan antara keutamaan haji dan jihad. Haji dan jihad menjadi dua amalan utama yang sama-sama dirindukan oleh umat. Buktinya, pada era kolonial abad ke-19 dan awal abad ke-20, misalnya, jamaah haji yang kembali ke Tanah Air banyak menginspirasi bahkan memimpin jihad secara langsung melawan para penjajah Belanda di Nusantara. Jamaah haji yang pulang ke Tanah Air tersebut membawa spirit jihad dan perlawanan terhadap penjajah dari para ulama yang tinggal di Makkah, termasuk para ulama Nusantara yang hingga akhir abad ke-19 banyak bermukim di Makkah.

Berbagai perlawanan terhadap para penjajah banyak dipelopori oleh para haji. Di antaranya perlawanan kaum paderi dan adat melawan penjajah Belanda pada tahun 1833. Di Banten, pada tahun 1888 terjadi perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda yang diinspirasi dan dipimpin oleh Haji Wasid, Haji Abdul Karim, Haji Akib dan Ki Tubagus Ismail. Di daerah Jawa Barat lainnya, yakni di Garut, terjadi perlawanan rakyat terhadap penjajah yang zalim dipimpin oleh Haji Hasan pada tahun 1919.

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda juga terjadi di Tambun (Bekasi) dan Tangerang pada 1924. Pemberontakan di Tangerang dipelopori sejumlah tokoh dan haji di Desa Pangkalan Tangerang. Tokoh-tokoh itu berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan ucapan “Allahu Akbar”.

Perlawanan terhadap kezaliman kolonial yang mayoritas diinspirasi dan dipimpin oleh para haji menjadi bukti bahwa pelaksanaan haji pada masa itu sangat kental dengan nuansa perjuangan bahkan sangat ideologis. Mereka melawan dan mengusir penjajah kafir yang zalim dari negeri-negeri kaum Muslim.

Sebaliknya, saat ini, walau Dunia Islam masih terjajah, baik dijajah secara militer maupun politik dan ekonomi, perlawanan jihad terhadap penjajah tidak pernah kita dengar digaungkan oleh para haji dan para ulama.

Yang Setara dengan Jihad

Di sisi lain, benar bahwa di negeri ini jihad dalam arti perang tidaklah berlaku, karena Indonesia bukan wilayah perang. Namun, sebetulnya ada amalan yang pahalanya menyamai amalan jihad, bahkan dinyatakan sebagai ‘jihad’ paling utama. Amalan ini sekaligus berarti setara bahkan lebih utama daripada ibadah haji. Baginda Rasulullah saw. bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Beliau pun bersabda:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَاَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Pemuka para syuhada (mujahid yang wafat fi sabilillah) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa lalim, kemudian ia memerintah dan melarang penguasa tersebut, lalu penguasa itu membunuh dirinya.” (HR at-Tirmidzi)

Untuk aktivitas mulia di atas—menasihati penguasa lalim dan menyatakan kebenaran di hadapannya—sebetulnya tak perlu mengorbankan harta yang besar, sebagaimana dalam menunaikan ibadah haji. Tinggal kemauan dan keberanian menanggung risiko. Di antaranya kematian (mati syahid). Sayangnya, justru tidak banyak orang, termasuk para haji, yang merindukan aktivitas mulia ini, apalagi merindukan mati syahid sebagai ”cita-cita besar” hidupnya. Padahal di antara tanda haji yang mabrur, kata Imam al-Hasan, adalah, “Ia yang kembali dari berhaji menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia dan merindukan akhirat.” (As-Suyuthi, Dûrr al-Mantsûr, I/473; al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, II/408).

Bahkan ulama, yang sejatinya memiliki peluang besar untuk itu, juga tak banyak yang menunaikan ‘jihad’ terhadap penguasa lalim ini. Buktinya, saat banyak penguasa lalim berdiri langsung di hadapan mereka—dengan terus menzalimi rakyat; tetap menerapkan hukum-hukum kufur dan enggan menerapkan hukum-hukum Allah SWT secara kâffah—sedikit sekali ulama yang secara berani, terus-terang dan tegas menasihati serta meluruskan penguasa lalim itu. Kebanyakan justru tetap diam membisu. Bahkan ada di antara mereka malah dengan sukarela menjilat penguasa zalim.

Aspek Politik Haji

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *