Membangun Kesetaraan Politik

Membangun Kesetaraan Politik
Membangun Kesetaraan Politik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Tidak adanya kajian serius dan keberanian untuk melihat kegagalan sistem demokrasi dalam 20 tahun terakhir ini menyebabkan kita kesulitan menunjukkan bukti kesetaraan politik di lingkungan partai politik. Padahal, sejatinya kesetaraan politik di antara partai-partai politik adalah fitrah yang secara normatif bahkan telah dimuat secara kasatmata dalam UUD 1945, karena sesungguhnya kesetaraan bukan hanya berorientasi kepada akses dan partisipasi semata.

Kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat dari tujuan dan proses politik semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti inilah kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition) di kalangan partai politik sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan sistem demokrasi yang pro terhadap kebutuhan publik.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ilustrasi sederhana tentang pentingnya prinsip kesetaraan diterapkan dalam dunia politik dapat dilihat dari argumen Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action, yang memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi. Dalam equality of condition, fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan politik itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas, dan cinta (love, care and solidarity). Semua jenis kesetaraan ini jelas membutuhkan kecerdasan partai politik sebagai tiang sistem demokrasi kita untuk merealisasikannya.

Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan politik yang lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya politik yang menghargai perbedaan, tetapi juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema perundangan politik yang memadai.

Adapun kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi eksekutif-legislatif-yudikatif yang semakin peduli dengan proses demokrasi yang benar-benar demokratis. Dengan demikian, implikasi dari pandangan ini akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam membangun bangsa. Demokratisasi dalam dunia politik Indonesia merupakan ruang segar yang harus diciptakan sehingga di antara eksekutif-legislatif-yudikatif ada kebebasan untuk menyatakan perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks ini, kesetaraan kondisi-kondisi tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pemilu kita.

Tirani mayoritas

Kemenangan dalam setiap kontestasi politik memang sebuah keharusan. Akan tetapi, kemenangan dalam setiap kompetisi politik tak boleh menciptakan tirani mayoritas, baik karena adanya kerja sama antarpartai maupun tidak. Apa pun ceritanya, kita telah memiliki konstitusi yang secara tegas memuat hak-hak kaum minoritas. Tapi, kelompok mayoritas dapat mengesampingkan rule of law

karena mereka sedang digerakkan kepentingan, yakni meraih sebanyak mungkin kursi atau suara dalam pemilu. Jika dengan posisi mayoritas itu mereka bisa mendapat lebih banyak dana publik, kepentingan tersebut semakin bercokol. Inilah kekhawatiran Surya Paloh yang lain tentang kecenderungan partai atau koalisi tertentu bersinergi dengan kekuasaan.

Apa yang dapat dilakukan untuk menangani masalah yang timbul dari keberlanjutan mayoritas kekuasaan? Salah satu uraian dari Jon Elster bisa diangkat di sini (Elster, 1993). Menurutnya, dalam konteks makro, cara-cara melindungi hak-hak warga negara dari gangguan mayoritas ialah; 1) konstitusionalisme, 2) judicial review, 3) pemisahan kekuasaan, dan 4) checks and balances. Konstitusionalisme yang dimaksud di sini tentu saja yang demokratis. Yang perlu diperhatikan dan dipertanyakan ialah hak-hak apa yang tercakup dalam konstitusi dan seberapa jauh perlindungan yang diberikan kepada hak-hak tersebut. Juga perlu diperhatikan apakah ada peraturan perundangan dan regulasi lain, terutama undang-undang partai politik, memperkuat perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan kesetaraan atau tidak.

Mengenai judicial review, Indonesia sekarang memiliki Mahkamah Konstitusi yang disegani dan keputusan-keputusannya dihormati. Kewenangannya pada prinsipnya adalah menguji undang-undang yang ada (ex-post), bukan me-review rancangan undang-undang (ex-ante). Salah satu ujian terhadap mekanisme judicial review ialah, apakah Mahkamah Konstitusi dapat membela hak-hak minoritas yang diganggu ketentuan perundang-undangan yang tak selaras dengan kebebasan dan kesetaraan di bidang politik.

Yang juga tak kalah penting ialah masalah pemisahan kekuasaan atau separation of powers mengharuskan supaya cabang-cabang kekuasaan negara terpisah satu sama lain. Lembaga yudikatif tak mengurusi kekuasaan legislatif, dan lembaga legislatif tidak bergantung kepada eksekutif. Jika ada media massa, televisi, radio, dan lain-lain milik negara, apakah media tersebut dijamin independensinya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *