Transformasi Pesantren

Transformasi Pesantren
Transformasi Pesantren
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Keempat, mengakomodasi budaya egaliter. Budaya keilmuan adalah budaya bertanya dan bahkan mempertanyakan dengan pertanyaan filosofis. Bahkan di antara caranya adalah melakukan falsifikasi. Karena itu, diperlukan budaya yang egaliter. Budaya feudal harus segera ditinggalkan. Para santri-murid, sejauh apa pun usia mereka, memiliki kesempatan untuk dialog yang mencerahkan. Seorang guru harus mau memosisikan diri sebagai orang yang memang mengetahui banyak, tetapi lebih pada hal-hal di masa lalu. Sedangkan murid yang belia sekalipun harus dipandang dan diposisikan sebagai pemilik masa depan. Jangan sampai mereka dianggap remeh, karena banyak penemu bidang sains dan teknologi adalah anak-anak di usia belia, karena generasi baru memiliki cara berpikir sendiri yang tidak dimiliki oleh generasi sebelumnya. Justru tugas para pengasuh dan ustadz di pesantren adalah memotivasi mereka dengan dialog keterbukaan untuk menjadi penemu dan pengembang sains dan teknologi. Dan pada umumnya orang-orang cerdas dalam arti yang sesungguhnya lahir, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang egaliter. Lingkungan yang demikian, lebih memungkinkan mereka untuk bertanya dan mempertanyakan, sehingga bisa membebaskan diri dari kungkungan.

Kelima, menguatkan keterampilan hidup santri. Paradigma takdir yang kuat di pesantren telah menyebabkan masyarakat pesantren cenderung bersikap pasif. Sebagian mereka bahkan seolah menganggap bahwa dunia ini tidak penting. Namun, kehidupan riil, memaksa mereka untuk bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan hidup. Di sinilah kemudian terjadi split antara sikap pasrah dan ikhtiar. Ketika kesadaran ikhtiar sudah terlambat, ketrampilan hidup tidak cukup, maka santri tidak bisa berikhtiar secara optimal, disebabkan oleh ketrampilan hidup yang minim. Inilah yang menyebabkan kalangan pesantren bisa dikatakan tidak memiliki kontribusi riil sama sekali dalam pengembangan sains dan teknologi. Paradigma santri tidak boleh jadi keliru karena melihat pengasuh pesantren yang sudah hidup cukup bahkan berlebih tanpa kerja, lalu menganggap bahwa tajrid adalah maqam tertinggi. Ini bisa dijelaskan dengan teoris sosial dan bahkan bisa menjadi kritik terhadap dunia pesantren. Jika yang menjadi teladan adalah Nabi Muhammad, maka mestinya yang harus diajarkan kepada santri adalah memiliki ketrampilan hidup yang menghasilkan materi yang bisa digunakan sebagai sarana dakwah ketika mereka memiliki ilmu yang cukup, bukan menjadikan ilmu agama sebagai bahan jualan. Usaha dengan sepenuh kesabaran dan doa dengan sepenuh ketulisan harus menjadi dua sikap yang berjalin berkelindan pada diri seorang santri sebagai wujud pengamalan al-Baqarah: 45.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jika lima hal tersebut bisa diwujudkan, maka pesantren akan menjadi lembaga pendidikan primadona di masa depan. Jika diakselerasi dengan baik, bisa mengalahkan lembaga-lembaga pendidikan yang saat ini dianggap yang terbaik. Sebab, dengan semuanya itu, pesantren menjadi mungkin untuk melahirkan generasi baru yang tidak hanya fasih berbicara tentang perspektif-perspektif yang bersifat spekulatif, tetapi juga menjadi ilmuan-ilmuan alam dan teknokrat yang keseluruhan basisnya jutru adalah doktrin agama. Jika ini bisa dilakukan, maka umat Islam baru akan mampu menunjukkan bahwa agama yang mereka peluk adalah benar-benar merupakan pendorong kemajuan. Wallahu a’lam bi al-shawab.