ILUSI ‘DAS KAPITAL’

ILUSI ‘DAS KAPITAL’
patung karl marx
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Revolusi Perancis itulah ajang eliminasi ‘kehendak Tuhan’, yang selama ini diyakini. Makanya kaum Gereja Roma dan Raja yang dijungkilkan. Digantungnya Raja Louis XVI di depan penjara Bastille oleh massa aksi, wujud dari menangnya teori ‘kehendak bebas’ itu. Manusia seolah bebas menentukan nasib sendiri, karena seolah dianggap sebagai ‘kertas putih’. Inilah pola dasar yang kemudian membentuk kapitalisme.

Maka, semenjak ‘nation state’ menggema, pasca Revolusi Perancis, kebenaran pun berwujud menjadi tunggal. Kebenaran ala rasio belaka. Itulah yang disebut positivisme. Kebenaran ala rasio ini, merasuki berbagai lini. Hingga kemudian disambut kaum hedonism –para bankir—yang berada dibalik Revolusi Inggris, 1680 dan Revolusi Perancis, 1789. Merekalah yang Berjaya. Kaum bankir ini, yang mayoritas Yahudi, memanfaatkan ‘kehendak bebas’, yang kemudian menunggangi Raja William of Orange, Raja Inggris pertama pasca Revolusi. Dan mendanai Napoleon Bonaperte, sebagai Kaisar Perancis, dengan utang riba. Merekalah para rentenir skala dunia. Yang masa sebelum era ‘kehendak bebas’ dilegalkan, mereka tergolong kaum yang dikejar-kejar. Karena berbisnis dengan riba. Usury.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Modernisme hadir, maka para bankir ini pun merajalela. ‘Kehendak bebas’ ala Hobbes hingga “segala sesuatunya adalah materi’, menjadi batu pijakan untuk membungakan uang, hingga kemudian mengubah emas dan pera sebagai uang, berganti menjadi kertas. Itulah dalih ‘kehendak bebas’ manusia. Maka, kapitalisme tentu bermula dari teori ‘kehendak bebas’, yang manusia seolah berhak melakukan system apapun didunia ini. Karena mendudukkan Tuhan sebagai pembuat jam. Bahkan Voltaire berkumandang, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah dictator. Dan dictator tidaklah wajib dipatuhi.” Teori Voltaire ini disambut gemuruh kaum yang memimpikan ‘kehendak bebas.’ Makanya kemudian Marx makin terjerumus pada teori “segala sesuatunya adalah materi.” Kebenaran, hanya yang Nampak secara materi (dzahir). Akal, menjadi sandaran tunggal untuk menentukan ‘being.’ Disinilah muasal petaka yang melahirkan kapitalisme.

Dari Revolusi Perancis, maka ‘kehendak bebas’ melanda sektor bisnis. Disinilah memunculkan industrialisasi. Dalih ‘kehendak bebas’ itu, manusia berhak membuat aturan ala rasionalitas, dan melegalkan segala bentuk yang dilarang dalam Kitab. Riba tentunya. Karena makna riba, digeser, ditafsirkan oleh “teori”. Tentu yang merujuk akal manusia. Riba, bukan lagi sekehendak apa tafsir agamawan. Melainkan ditafsir ulang. Karena bunga (interest) boleh dipungut, dengan dalih si peminjam uang telah dirugikan dengan ditahannya uang tersebut oleh si pengutan. Maka layak diberikan tambahan (bunga). Dari situlah “kehendak bebas” melahirkan teori pembungaan uang menjadi legal. Dan positivisme membungkusnya dengan aturan legal. Nation state pun menstempelnya sebagai aturan yang wajib layak diikuti. Dari situlah bibit kapitalisme menggeliat. Hingga industrialisasi mewabah. Karena manusia seolah diteorikan Hobbes sebagai ‘homo homini lupus’, yang saling memangsa. Itulah persaingan. Persaingan ini memunculkan superior dan imperior. Dan kaum proletar, tetap berada dalam kubangan imperior. Kaum bankir, dan turunannya, berada dalam lingkaran dalam kapitalisme.

Jalan perlawanan pada kapitalisme itu, bukan dengan ala Marx, yang ilusionis. Karena Marx, masih belum mampu melihat apa yang disampaikan Nietszche. Dia berkata, “Filsafat adalah berhala.” Dari Nietszche, lahir Martin Heidegger yang menegaskan, “Filsafat tak menemukan Kebenaran, karena filsafat hanya melahirkan Kebenaran essensialis, bukan kebenaran eksistensialis.” Inilah faktanya pada modernitas. Sebagaimana dulu Imam Al Ghazali telah mengingatkan. “Akal bisa saja salah, jangan sekali-kali mengambil hakekat ajaran agama darinya.” Dari sana, nampaklah bagaimana akar kapitalisme ini. Rasionalitas, sebagai pijakan tunggal Kebenaran (being), menggeser manusia kepada mesin-mesin. Hasil kalkulasi akal semata. Karena ‘kehendak bebas’ itu yang mendorong terciptanya dominasi atas Kebenaran ala akal semata.

Pijakan awal kapitalisme, tentu merujuk pada syahwati. Kala manusia memenuhi nafsu syahwati belaka. Dan terbukanya syahwati, kemudian menjadi sistem, dimulai kala modernitas menyala. Disitulah, dengan ‘kehendak bebas’, seolah manusia berhak memenuhi nafsu syahwati. Modernitas, dengan rasio sebagai pijakan, menjadi akal dan syahwati berkolaborasi. Dari situlah melahirkan ‘le contract sociale’ hingga ‘Vox Populi Vox Dei.” Dari sana, kapitalisme, yang menampung segala keserakahan, monopoli, hingga homo homini lupus lainnya, menjadi sebuah sistem yang wajib dipatuhi. Disitulah Marx terjebak, karena hanya memahami bahwa “segala sesuatunya adalah materi”. Makanya, lawan kapitalisme tak bisa dengan aksi massa atau massa aksi.

Islam telah memberikan jawaban. Terutama tassawuf yang memberikan gambaran. Karena pijakan manusia, tak sekedar akal dan syahwati. Disitulah adalah qalbu. Tiga struktur itulah yang berada umum pada sisi batin manusia. Karena manusia terdiri dari dzahir dan bathin. Modernisme, meletakkan segala sesuatunya adalah materi, yang merujuk pada pandangan dzahir semata. Filsafat, tentu mengajarkan demikian. Sisi dzahir lebih diutamakan. Dan melupakan sisi batiniah. Alhasil melahirkan ‘kehendak bebas’ berlandaskan akal. Yang sejak modernisme, malah bergeser berlandaskan pada syahwati. Bukan lagi pada akal.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *