Ekonomi Global Hanya Tumbuh 3,2 Persen, Ancaman Resesi Kian Nyata, Bagaimana Nasib Lapangan Kerja Indonesia?

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Ketidakpastian masih menyelimuti ekonomi dunia. Sinyal resesi global pun ramai diperingatkan oleh sejumlah lembaga internasional.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen tahun ini atau turun nyaris separuh dari capaian tahun lalu sebesar 6,1 persen. Sementara, pada 2023, laju ekonomi diperkirakan hanya 2,9 persen.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kondisi ekonomi global yang tak stabil menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya lapangan pekerjaan. Sebab, biasanya, kondisi ekonomi yang rentan membuat pelaku usaha mau tak mau harus melakukan efisiensi demi keberlangsungan usahanya.

Jalan pintas yang biasa diambil untuk efisiensi adalah dengan memutus hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.

Tak ayal, gelombang PHK terus menghantam Indonesia sejak awal 2022. Merunut ke belakang beberapa perusahaan besar yang melakukan PHK tahun ini di antaranya TaniHub, perusahaan jasa kurir SiCepat, fintech LinkAja, perusahaan edtech Zenius, dan platform e-commerce JD.ID, dan lainnya.

Lantas bagaimana nasib lapangan pekerjaan di Indonesia di tengah ancaman resesi global?

Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan ancaman resesi memang tidak hanya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi, tetapi juga penurunan jumlah lapangan kerja. Namun saat ini hal itu disebut belum terjadi, khususnya di Amerika Serikat.

Di AS, pertumbuhan ekonomi memang mengalami kontraksi, tetapi jumlah lapangan kerja masih tinggi karena masih adanya efek dari stimulus yang diberikan pemerintah selama pandemi covid-19.

“Indonesia sekarang malah bisa jadi sebaliknya, sebetulnya dampak resesi global terhadap mungkin tidak terlalu banyak mengoreksi pertumbuhan ekonomi,” kata Faisal dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Selasa (18/10).

Hal itu disebut karena Indonesia memiliki pasar domestik besar yang bisa menggerakkan ekonomi. Dampak resesi global terhadap ekonomi Indonesia tak sebesar yang dialami negara-negara lain yang lebih kecil.

Kendati demikian, Faisal mengatakan resesi global bisa berpengaruh terhadap terciptanya lapangan kerja. Hal ini karena perusahaan cenderung melakukan efisiensi imbas inflasi yang membuat biaya produksi menjadi lebih mahal.

Kondisi itu terjadi tak lepas dari sisi permintaan yang macet karena konsumen menahan belanja.

“Jadi banyak pelaku usaha yang akan melakukan upaya efisiensi, salah satunya dengan cara mengurangi jumlah pegawai,” ujarnya.

Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan tekanan ekonomi saat resesi memang berkaitan erat dengan penurunan jumlah lapangan pekerjaan.

Belum lagi Indonesia sedang mengalami bonus demografi di mana angkatan kerja yang sebagian berasal dari lulusan perguruan tinggi bertambah 4 juta orang setiap tahunnya. Tak heran, orang semakin susah mencari pekerjaan.

Sektor Paling Terdampak Resesi Ekonomi Global

ANALISIS

Ekonom mengingatkan resesi global bisa menekan lapangan kerja di Indonesia. Pasalnya, perusahaan cenderung akan meningkatkan efisiensi.

Sektor Paling Terdampak Resesi Ekonomi Global
Bhima mengatakan sektor-sektor yang paling terpengaruh oleh resesi global memiliki sejumlah ciri. Pertama, sektor yang sensitif terhadap penurunan daya beli masyarakat akibat lonjakan inflasi.

Kedua, sektor yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor. Ini terjadi saat nilai tukar rupiah terus mengalami penurunan.

Ketiga, sektor atau perusahaan yang memiliki beban pinjaman yang cukup besar di tengah ancaman tingginya suku bunga. Hal ini kemudian dapat mengganggu arus kas perusahaan.

“Perusahaan karena bebannya cukup besar harus melakukan efisiensi,” ujar Bhima.

Adapun sektor dengan ciri-ciri tersebut adalah yang berkaitan dengan pakaian jadi atau tekstil. Kemudian sektor yang berkaitan dengan otomotif dan spare part.

Hal ini disebabkan lantaran suku cadang otomotif terdampak oleh kenaikan harga BBM. Sementara dari sisi permintaan menurun karena masyarakat menunda pembelian kendaraan motor baru.

Sektor lainnya adalah yang berkaitan dengan rekreasi atau pariwisata. Masyarakat akan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok sehingga memilih menunda berwisata.

Sektor selanjutnya adalah elektronik maupun peralatan rumah tangga karena kenaikan harga jual tidak diimbangi dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Kemudian, sektor properti akibat kenaikan harga material sekaligus kenaikan suku bunga KPR.

Solusi di Tengah Resesi
Untuk menghadapi kondisi tersebut, Bhima mengatakan ada sejumlah solusi yang bisa dilakukan pemerintah.

Untuk sektor properti, pemerintah bisa menambah subsidi bunga dan subsidi uang muka. Sektor properti perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah karena berkaitan dengan 175 sub sektor, di antaranya keramik, kaca, batu bata dan lainnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong bantalan sosial yang lebih besar untuk UMKM. Pelaku UMKM perlu mendapatkan subsidi KUR.

“Kemudian untuk UMKM kan ada program 40 persen anggaran pengadaan barang dan jasa melibatkan produk lokal UMKM, ini harus segera direalisasikan terutama di level pemerintah daerah,” ujarnya.

Sementara untuk sektor padat karya seperti pakaian jadi perlu mendapatkan insentif perpajakan, diskon tarif listrik, dan subsidi upah yang lebih besar sehingga bisa mencegah perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja.

Sementara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan dampak lanjutan dari lonjakan harga komoditas dan energi adalah tergerusnya konsumsi masyarakat yang kemudian membuat aktivitas industri mengalami perlambatan.

“Sehingga implikasinya memang akan ada risiko terjadinya rasionalisasi atau pun penundaan ekspansi bisnis khususnya dari sektor-sektor yang menjadi tumpuan tenaga kerja,” ujarnya.

Kendari, Abra menyatakan perhatian tidak boleh hanya berfokus pada tingkat pengangguran, tetapi juga pekerja setengah menganggur dan pekerja paruh waktu. Pasalnya jumlahnya juga tak kalah banyak dibandingkan pengangguran.

Menghadapi kondisi tersebut, Abra mengatakan pemerintah bisa mendorong investasi swasta untuk meningkatkan lapangan pekerjaan serta melakukan hilirisasi di berbagai sektor.

Dalam jangka pendek,pemerintah juga bisa melakukan program-program padat karya seperti pembangunan infrastruktur, namun bukan dalam skala megaproyek.

Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan bantuan subsidi upah agar para pekerja yang terdampak lonjakan inflasi bisa menjaga daya beli. Kemudian pemerintah juga bisa memberikan insentif pajak bagi badan usaha yang memenuhi kriteria terhadap kontribusi penyerapan tenaga kerja.

“Jadi sektor atau badan usaha yang memiliki komitmen dan kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja saya pikir dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan insentif perpajakan,” ujarnya. (*).

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *