Berkhidmat pada NU

Berkhidmat pada NU
Dr. Masmuni Mahatma, S.Fil.I., M.Ag., Ketua Tanfidziyah PWNU dan Wakil Rektor II IAIN SAS Bangka Belitung
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Masmuni Mahatma, S.Fil.I., M.Ag., Ketua Tanfidziyah PWNU dan Wakil Rektor II IAIN SAS Bangka Belitung

Hajinews.id – SEORANG guru mengaji di kampung (Madura) suatu ketika memberikan nasihat cukup menyentuh, “Cong, mon soal agéma la jélles andi’na Allah. Aibédéh kalabén tuntunan bén tojjuén agéma pastena kodu Lillahi Ta’ala. Tape odi’ paggun parlo nyambung khidmat de’ sadéjéna béngsa. Nah, ahidmat se parjugé jéreya lebét organisasina para ulama se e singkat kalabén Nahdlatul Ulama (NU). Areya organisasi se e lahirragi bén erabét para walina Allah. Organisasi ollena istikharah bén atapa. Ta’ bén sarombén.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Terjemahan bebasnya, “Cong, kalau soal agama itu telah jelas kepunyaan Allah. Beribadah lantaran tuntunan dan orientasi agama harus benar-benar karena Allah Ta’ala. Akan tetapi hidup memerlukan interaksi dan berkhidmat juga terhadap sesama makhluk. Nah, berkhidmat yang mulia itu mesti melalui organisasinya para ulama yang sering disingkat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ini organisasi yang dilahirkan dan dirawat oleh wali-wali atau kekasih Allah. Organisasi yang dikonstruksi dari kedalaman istikharah dan tapa (kehambaan). Bukan dari proses sembarangan.”

Nasihat cukup terang, lugas, dan menggugah. Nasihat yang mengiris betapa lahirnya NU bukan dari kehendak kosong, semangat hampa, dan jauh dari empati kemanusiaan maupun kebangsaan. Akan tetapi, dipijakkan atas laku religiositas, spiritualitas, dan bahkan pertapaan berbasis hakikat kehambaan. Proses pendirian yang tak mudah. Penuh liku-liku teramat dinamis sejak era penjajahan sampai kemerdekaan. Sekali lagi, itulah nasihat yang juga menegaskan berkhidmat pada NU sangat memerlukan kesigapan, ketulusan, kesungguhan, kesederhanaan demi kemaslahatan. Dengan demikian, muruah NU senantiasa terjaga dan orientasi sosial keagamaan maupun kemanusiaannya terus menjadi rujukan pengkhidmatan universal berkehambaan.
Ikhlas dan Tawadu

Berkhidmat pada NU, seyogianya dimulai dari “ilmu” ikhlas dan “ilmu” tawadu. Dua “ilmu” ini tampak ringan-ringan saja, gampang, mudah, dan tidak canggih. Ilmu-ilmu ini terlihat biasa-biasa. Terlebih-lebih untuk mendapatkan ilmu ikhlas dan tawadu, memang tidak perlu menempuh jalur pendidikan bertingkat-tingkat atau menderetkan “gelar.” Kedua ilmu ini merupakan “ilmu terapan,” yang menekankan aktualisasi daripada diskusi. Sebab spirit kedua ilmu ini menyangkut kesungguhan dan keterbukaan hati, bukan semata-mata kecerdasan logika, nalar, dan diplomasi. Dalam istilah lain, keduanya adalah ilmu para nabi.

Ikhlas, kata Syaikh Mustofa al-Ghalayani, adalah roh dari segala perbuatan. Sekira kita berbuat sesuatu, terutama menyangkut amal keseharian baik urusan vertikalitas (dari dan untuk Allah) atau berkait horizontalitas (dari dan untuk manusia) supaya menjadi perbuatan berkualitas wajib diwujudkan “berlulur” (ke)ikhlas(an). Lebih dari itu, harus dibaluri spirit dan nilai-nilai ketawaduan, yakni dijauhkan dari kecongkakan, kesombongan, atau ketakabburan. Sebab ketawaduan merupakan bagian integral dari kebersahajaan, kesederhanaan, dan kerendahan hati.

Pengkhidmatan yang dilapisi ilmu ikhlas dan tawadu akan melahirkan kenyamanan, keteduhan, keabadian, minimal bagi diri sendiri dan tentu terhadap mereka yang memaknai. Dengan ikhlas dan tawadu, segala bentuk pengkhidmatan pada NU akan produktif sekaligus menyejarah. Tidak mungkin sia-sia. Akan bernilai abadi, melampaui apa yang menjadi harapan kita sebagai manusia. Sebab Allah sendiri yang melanjutkan makna dan nilai luhurnya. Bahkan keikhlasan, apalagi yang disalurkan melalui pengkhidmatan pada NU, diyakini akan mengantarkan kita bersua dengan para wali Allah dalam surga dunia dan akhirat kelak. Insyaallah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *