Untuk itu neraca negara harusnya tidak hanya mencatat utang untuk keperluan pembiayaan APBN saja tetapi juga utang di buku nya BUMN yang sering disebut sebagai contigency debt, mengingat risiko selalu langsung ke negara ketika BUMN bermasalah. Yang terakhir harus dicatatkan sebagai utang dalam neraca negara adalah utang dana pensiun para ASN, TNI-Polri dan jaminan pensiun yang ditanggung negara lainnya dalam perhitungan aktuaria sesuai masa manfaat dan jatuh tempo nya.
Praktek mencatatkan semua 3 komponen utang pda neraca di atas adalah praktek lazim di negara demokrasi yang maju seperti Amerika, Jepang, Kanada, Negara Eropa, Australia. Makanya negara-negara tersebut ratio utang mereka dari total PDB mencapai hampir 100%, ada yang di atas 100% bahkan ada yang mendekati 200%.
Indonesia tercatat ratio utang nya pada kisaran hanya 41% dari total PDB itu hanya utang dari pembiayaan untuk keperluan di APBN sedangkan contigency debt (utang dalam buku BUMN) belum masuk buku dan utang kewajiban pada dana pensiun juga belum masuk dalam buku neraca negara pada sisi kewajiban atau utang.
Ini persoalan pencatatan utang, karena di dalam utang itu ada risiko kewajiban membayar utang. Baik bunga utang, pokok utang maupun biaya administrasi penerbitan utang berikut risiko denda akibat gagal bayar.