Berpolitik Untuk Menyempurnakan Tujuh Kewajiban Kepada Al-Qur’an

Berpolitik Menyempurnakan Kewajiban Kepada Al-Qur’an
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ, Jakarta.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Baladena: “Motif berpolitik itu sebenarnya apa?”

Abana: “Di dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa fungsi kekuasaan adalah menolong. Bisa dilihat di QS. al-Isra’: 80. Nah, caranya adalah kekuasaan itu benar-benar digunakan untuk mentransformasikan ajaran-ajaran Allah Swt.. Prasyaratnya adalah jangan sampai menuruti hawa nafsu. Baca QS. Shad: 26. Dan masih banyak lagi ayat lain yang ujungnya sesungguhnya ya mirip dengan dua ayat ini. Jadi saya sebut dua ayat ini cukup. Nah, di antara ajaran yang muncul dari hasil perenungan saya kepada al-Qur’an, ada tujuh kewajiban kita kepada al-Qur’an, yaitu: membaca, mengartikan, menghafalkan, merenungkan, mengerjakan, mengajarkan, dan memperjuangkannya. Alhamdulillah membaca sudah, mengartikan sudah, menghafalkan ya sudah, merenungkan sepertinya tiada hari tanpa melakukannya karena selalu merasa ada sesuatu dalam ayat-ayat tertentu, mengerjakan ya sedikit-sedikit dan terus berusaha memperbaiki kualitas dan kuantitasnya, mengajarkan tadi sudah saya sebutkan dan sampai hari ini tiada hari tanpa mengajar  tafsir dan menyimak hafalan para santri-murid di Monasmuda Institute, Planet NUFO, juga anak-anak saya sendiri. Nah, memperjuangkannya ini saya belum punya alatnya. Saya belum pernah punya kekuasaan yang riil dan signifikan. Kalau jadi tukang bisik saja ya sudah. Kan saya punya banyak teman elite politik, baik anggota DPR maupun menteri. Presiden yang belum temenan. Hahaha. Banyak orang bilang, bahwa tukang bisik bisa lebih berpengaruh. Tapi itu tidak selamanya benar. Yang pasti bisa mempengaruhi keadaan adalah yang punya kekuasaan secara riil dan signifikan. Saya pernah jadi staff ahli di Fraksi PAN DPR RI. Pada akhir tahun 2012, saya mengusulkan kepada Pimpinan Fraksi PAN DPR RI, waktu itu ketuanya Mas Tjatur Sapto Edy untuk membuat kebijakan cuti hamil, melahirkan, dan menyusui selama setidaknya dua tahun sebagaimana dalam QS. al-Baqarah: 233. Waktu itu saya ngajar mata kuliah ‘Negara, Politik, dan Perempuan’ di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan saya baca beberapa referensi ada beberapa negara Skandinavia yang memberikan cuti lebih dari dua tahun. Kanada belasan bulan. Terus terang kaget. Ini kan yang diinginkan al-Qur’an. Saya kan jadi mikir. Indonesia ini mayoritas penduduknya muslim. Tapi kok tidak punya perhatian kepada masalah ini? Maka saya usulkan”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Baladena: “Tapi sampai sekarang kok tidak ada?”

Abana: “Nah itu dia masalahnya. Pada saat saya mengusulkan dua tahun, tidak langsung diterima karena berbagai macam pertimbangan. Saya harus bernegosiasi. Sampai kemudian pimpinan Fraksi PAN mau memulai dari 9 bulan dulu. Ini sudah luar biasa juga lo. Sebab cuti yang ada di Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan saat itu hanya 3 bulan. Saya diminta membuatkan argumentasi yang ‘seolah-olah rasional’. Ya saya buatkan. Ibu hamil bisa melahirkan anak prematur pada usia kanduang 6 bulan. Berarti saat usia kandungan masuk bulan ke-7 harus sudah diberi cuti. Kalau ternyata lahir normal, maka berarti sudah terpakai 3 bulan. Nah, setelah anak lahir, ibu harus memberikan asi eksklusif selama 6 bulan. Setidaknya dengan asi eksklusif ini, anak-anak akan mendapatkan asupan nutrisi paling berkualitas. 3 ditambah 6 bulan sama dengan 9. Bisa dicek berita tentang ini di google.com. Gampang membuktikannya. Nah, kemudian saya dan teman-teman pada saat itu secara lebih gencar mensosialisasikan dalam diskusi-diskusi Fraksi PAN. Tapi kan perlu dukungan dari fraksi-fraksi lain di DPR. Sampai sepuluh tahun ide itu muncul sebagai inisiatif politik dari sebuah fraksi di DPR, ternyata sampai sekarang belum terwujud sebagai kebijakan politik. Penyebabnya, tentu saja kurang dukungan politik. Bisa saja kurang desakan. Nah, saya punya kepentingan untuk itu. Kalau hanya saya titipkan kepada orang lain, tidak ada jaminan. Kalau anda menitipkan sesuatu kepada orang lain, bisa saja orang itu lupa kalau dia sudah punya banyak agenda lain tidak sempat menyampaikannya. Kalau kita yang membawa ide kita sendiri, tentu saja itu yang akan jadi prioritas kita. Akan kita usahakan dengan sepenuh daya upaya dan jadi pertaruhan hidup kita.”

Baladena: “Sejak kapan berpikir untuk jadi politikus?”

Abana: “Bapak saya kepala desa. Kades kan politikus, walaupun paling bawah. Karena bapak saya berpengaruh cukup besar pada diri saya, maka awalnya, saat masih usia sekolah, saya ingin jadi kepala desa juga. Bapak saya dengan berbagai kualitas yang melekat pada dirinya, layaklah dijadikan sebagai role model. Bapak saya sarjana pertama di kampung saya, di Mlagen sana. Hafal al-Qur’an dan istrinya atau ibu saya hafal al-Qur’an juga. Punya usaha mandiri dengan menanam tebu puluhan hektar. Kepala madrasah diniyah dan juga kepala MTs. di kampung saya. Ketua perkumpulan hafidh/ah level kecamatan lah, JQH (Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadh) Kecamatan Pamotan al-Falah itu pendiri untama dengan penggeraknya adalah bapak saya. Jadi ketua terus sampai meninggal tahun 1994. Saya kan melihat, dengan pandangan anak kecil yang belum banyak melihat dunia luar bahwa bapak saya mantap juga. Tapi setelah masuk HMI, kemudian bergaul dengan banyak senior politisi, saya mulai mereinterpretasi pesan bapak saya ‘jangan menjadi kepala desa’. Mungkin maksudnya levelnya harus dinaikkan. Hahaha. Kan kakek saya kepala desa, bapak saya kepala desa sampai meninggal dunia, masa’ saya kepala desa lagi. Walikota dong minimal. Hahaha. Jadi, walaupun saya kuliah di Jurusan Fisika Unnes, waktu itu ketika saya jalan-jalan Minggu pagi di Simpang Lima Semarang, saya membeli dua buku bekas ‘Dasar-dasar Ilmu Politik’ karya Prof. Miriam Budiardjo dan satu lagi Filsafat Manusia. Pergaulan di HMI yang makin luas, saya jadi Ketua Umum Komisariat Fakultas Ushuluddin IAIN Semarang, Ketua Korkom, Ketua Cabang Semarang, sampai ke PB HMI membuat saya makin tertarik kepada politik. Saya bahkan kemudian banting setir, studi S2 dan S3 ilmu politik di UI. Ketika ada teman saya masuk menjadi staff ahli Fraksi PAN tahun 2005, saya iyakan. Itu awal mulanya.”

Baladena: “Tapi politik ini kan rumit, sulit, dan risikonya besar. Apa tidak jadi bahan pertimbangan?”

Abana: “Jangan lupa, pahala pemimpin yang benar juga besar. Ada di dalam hadits ini. Mana ada imbalan besar tidak sulit, rumit, dan berisiko besar. Kalau tidak sulit, semua orang bisa. Kalau tidak rumit, ya tak perlu mikir. Kalau tidak berisiko besar, imbalannya juga kecil atau tak perlu imbalan pahala. Allah menjanjikan naungan kepada tujuh jenis orang. Salah satunya imaamun ‘aadilun, atau redaksi lain muqsithun.  Pemimpin yang adil. Yang benar. Nah, ini tantangannya sebagaimana tadi di dalam QS. Shad: 26 yang telah saya sebutkan. Biayanya juga besar. Menurut saya, politik itu peperangan. Kalau dulu kan peperangannya di medan perang pakai senjata pedang. Sekarang perangnya di bilik suara, pakai paku coblosan, setelah itu berpindah ke gedung DPR/D dan istana untuk membuat kebijakan politik yang benar dan mengimplementasikannya secara  konsekuen. Ini perlu perdebatan keras, negosiasi yang alot. Perlu orang yang cerdas dan punya kesabaran sampai berhasil. Kalau bisa begitu, baru akan dapat balasan besar dari Allah. Dan untuk bisa melakukan itu, prasyaratnya juga tidak ringan. Al-Qur’an berkali-kali menyebutkan bahwa berjihad itu dengan harta dan jiwa. Disebut harta dulu lo. Maka tidak benar juga kalau berpolitik tidak keluar uang. Merebut kekuasaan sebagai alat perang tadi ya harus keluar uang. Bukan untuk money politik. Tetapi untuk biaya politik yang diantaranya pendidikan politik. Kalau mau ambil jalan pintas itu lebih murah ongkosnya. Tapi kalau melakukan pendidikan politik, itu jauh lebih mahal. Saya bikin rumah perkaderan juga pesantren dengan model yang berbeda, hitung saja itu berapa belas milyar gedungnya saja. Belum lagi saya harus berjibaku di dalamnya. Untung saja saya punya mertua yang mau memberikan support besar. Ditambah dengan teman-teman saya sesama aktivis HMI yang dulu bersama-sama berjibaku dalam dunia perkaderan. Kalau money politic sih 10 M sepertinya sudah cukup. Karena itu, dalam lagu lir-ilir disebut lunyu-lunyu penekno. Walaupun licin, harus tetap dipanjat. Meskipun sulit harus tetap dan terus dijalani. Sebab, tujuannya untuk mewujudkan masyarakat negara yang beriman dan bertakwa. Dan itulah yang akan mendatangkan berkah Allah dari langit dan bumi sebagaimana dipersyaratkan dalam QS. al-A’raf: 96.”

“Jadi, berpolitik ini ternyata berat ya?”

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *