Berpolitik Untuk Menyempurnakan Tujuh Kewajiban Kepada Al-Qur’an

Berpolitik Menyempurnakan Kewajiban Kepada Al-Qur’an
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ, Jakarta.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Abana: “Sering saya bilang kepada para santri-murid, baik di Monasmuda Institute Semarang maupun di Planet NUFO Rembang, juga dalam diskusi-diskusi saya. Di pesantren saya kan ada motto ‘berilmu berharta berkuasa’. Kalau mau pinter, itu hanya tergantung kita mau atau tidak belajar keras? Orang lain bisa dikatakan sama sekali bukan penentu. Atau setidaknya bukan penentu utama. Kalau mau jadi doktor seperti saya ini, setelah ujian skripsi di depan dua-tiga penguji, jadi sarjana. Lalu tinggal kuliah lagi S2. Setelah ujian di depan 3 penguji untuk mempertahankan tesis, kita jadi master. Tinggal kuliah lagi S3 dan mempertahankan disertasi di depan 9 profesor, kita lulus jadi doktor. Kalau mau kaya, orang lain dengan jumlah lebih banyak menjadi penentu. Kalau kita jualan, harus ada yang mau beli. Kalau usaha kita mau besar, harus ada orang yang mau bekerja untuk kita. Pengusaha besar di Indonesia dengan harta triliyunan itu karyawannya belum sampai 100.000 orang kayaknya. Tapi kalau mau jadi anggota DPR RI, kita harus mempengaruhi 200.000 orang untuk mau nyoblos kita. Untuk mempengaruhi 200.000 orang ini, dalam sistem Pemilu yang liberal seperti sekarang, biayanya besar. Tapi sekali lagi, perjuangan memang harus dengan pengorbanan. Bi amwaalikum, bukan bi aabaabikum. Dengan harta, bukan hanya abab saja. Abab tahu kan? Ngomong doang. Abab itu udara yang keluar dari mulut, yang kadang bau juga. Hahaha.”

Baladena: “Kalau sampai kekuasaan sudah menjadi salah satu target dalam dua pesantren, berarti cara merebut kekuasaan jadi bagian dalam kurikulum dong?”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Abana: “Pertanyaan bagus. Memang begitu. Anak-anak di Monasmuda Institute dan Planet NUFO semuanya memiliki kesempatan berlatih berorganisasi. Bahkan difasilitasi agar benar-benar terbiasa. Agar punya uang, mereka dibiasakan berwirausaha. Nah, berpolitik juga saya jadikan sebagai alat ukur; seberapa banyak sebenarnya orang yang sudah cerdas atau saya cerdaskan.”

Baladena: “Maksudnya bagaimana ini, Bah?”

Abana: “Maksudnya, untuk jadi politisi, bisa disebut juga pemimpin politik, fase pertama harus punya ide berbasis kebenaran. Tak cukup hanya itu, harus diajarkan kepada banyak orang sampai mereka juga punya kesadaran bahwa harus ada orang yang benar yang bisa memperjuangkan ide yang benar itu. Bahasa dalam disiplin ilmu politik adalah kemampuan mengonsolidasikan dukungan, sehingga kekuasaan bisa direbut oleh orang-orang yang benar. Banyak orang salah paham lo. Dikiranya orang yang merebut kekuasaan itu jahat semua. Nabi Daud, Sulaiman, dan juga Nabi kita Muhammad itu penguasa. Nabi Muhammad presiden di Madinah lo. Tapi umat Islam ini banyak yang terpengaruh oleh paradigma Eropa yang disebabkan oleh praktek politik menyimpang Eropa zaman kegelapan. Sejarah di Eropa saat itu mereka menyatukan agama dengan politik. Makanya sistem ini disebut dengan religio-integralisme Catholic. Namun, apabila doktrin gereja diselisihi, maka negara dijadikan sebagai alat untuk menghukum orang-orang yang dianggap berpaham menyimpang. Padahal kemudian ternyata yang keliru gerejanya. Kasus Copernicus dan Galileo Galilae kan terkenal sekali. Nah, pemahaman bengkok ini kan harus diluruskan dengan membangun paradigma yang benar. Alat ujinya ya kita yang mengajarkan ini terjun langsung ke dalam politik.

Umat ini mau milih atau tidak? Mestinya, umat yang tercerahkan mampu berpikir bahwa yang seharusnya memimpin mereka adalah para pendidik yang mencerahkan mereka. Kalau politik diserahkan kepada para preman kan kebijakan politiknya akan berbeda bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran yang diajarkan. Jadi, ini benar-benar tantangan. Ini adalah kewajiban yang untuk bisa melakukannya perlu  pikiran cerdas untuk membangun strategis merebut kekuasaan dan merancang kebijakan politik, perlu tenaga besar untuk melakukan kerja-kerja politik mulai dari kampanye sampai melakukan negosiasi membangun kebijakan saat sudah berkuasa, juga perlu uang besar untuk biaya politik. Ingat, kekuasaan bukan untuk mencari uang. Kekuasaan adalah alat untuk melipatgandakan manfaat yang telah kita lakukan. Seperti saya ini, kalau hanya dengan uang saya sendiri, bahkan sudah ditambah dengan uang teman-teman, mertua, istri, dan ipar saya hanya bisa memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa. Tapi kalau saya punya kekuasaan, tanda tangan saya bisa membuat jutaan anak Indonesia mendapatkan pendidikan gratis, bahkan mendapatkan support lebih yang diperlukan. Uangnya dari mana? Ya APBN atau APBD-lah. Kalau bisa begini, sempurna sudah tujuh kewajiban yang ke mana-mana saya sampaikan. Jadi kalau saya ditanya Allah nanti di akhirat, jawaban saya lengkap. In syaa’a Allah.” ***