Hanya dalam Sistem Partai Tunggal (One Party System) suara Partai adalah suara Rakyat. Karenanya jika seorang Presiden itu menjadi petugas Partai maka hal Ini akan menjadi karakter dari perwujudan dari Sistem Partai Tunggal yang sekaligus menjadi jalan atau arah menuju negara totaliter.
Negara yang rakyatnya berfikir sehat tentu tidak ingin memiliki Presiden yang kelak setelah dipilih oleh rakyat lalu bekerja di Istana bukan sebagai petugas Rakyat tetapi petugas Partai.
Dalam kaitan dengan PDIP nampaknya perlu evaluasi serius terutama pada tugas Partai yang mau tidak mau harus diemban oleh petugas Partai sebagaimana amanat Pasal 10 butir g AD PDIP yang berbunyi :
“mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, bersih dan berwibawa”.
Petugas Partai yang menjadi pejabat publik termasuk Presiden tentu harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Jika perjuangannya “mempengaruhi” dan “mengontrol” dengan Pancasila 1 Juni 1945, maka masuk kategori makar atau subversi kah hal ini ?
Bahwa PDIP sekedar menjalankan “politik identitas” yang justru diharamkan di rezim ini sudahlah pasti dan sangat jelas.
Rezim Jokowi ini memang lucu, pandai berteriak untuk melarang apa-apa yang dikerjakannya sendiri.
Bandung, 26 April 2023